JAKARTA – Kewenangan proses seleksi CPNS 2013 yang ditangani pemerintah pusat membuat sebagian besar pemerintah daerah (pemda) kecewa. Kekecewaan ini dilampiaskan dengan caranya sendiri, yakni tidak serius memproses lanjutan tahapan seleksi, yakni penetapan, pengumuman, dan pengusulan pemberkasan Nomor Induk Pegawai (NIP) bagi peserta yang lulus CPNS.
Demikian disampaikan Koordinator Sentra Advokasi untuk Pendidikan Rakyat (Sahdar), Alan Darmawan, kepada JPNN kemarin (5/1). Sahdar merupakan salah satu dari 12 konsorsium LSM yang secara resmi digandeng Panselnas CPNS 2013 untuk memantau proses seleksi.
“Pusat dianggap merampas kewenangan daerah. Dampaknya, daerah main-main, tidak serius, karena sakit hati,” ujar Alan kemarin.
Pimpinan LSM yang berkantor di Jalan Bilal, Medan, Sumut, itu mengatakan hal tersebut berdasar hasil evaluasinya ketika melakukan pemantauan. Dia cerita, pelaksanaan seleksi CPNS di Pemprov Sumut misalnya, juga cenderung tertutup, tidak mau diawasi. Panitia lokal, lanjutnya, menolak kehadiran LSM Sahdar yang sudah mendapat mandat untuk melakukan pengawasan dari Panselnas.
“Kita datang, ditanya “mau tanya apa?”. Tampak sekali ada konflik pusat dengan daerah. Kalau instansi pusat cenderung terbuka, seperti Kemenkum-HAM yang pelaksanaan tesnya juga kita awasi,” beber Alan.
Berkali-kali Alan mengatakan, sebagian besar pemda tidak suka dengan mekanisme seleksi CPNS 2013, dimana pemda hanya diberi kewenangan menetapkan dan mengumumkan hasil seleksi, yang harus berpatokan pada hasil yang sudah dibuat Panselnas.
“Masalah ini harus segera dicarikan solusinya agar ke depan bisa lebih baik lagi,” urainya.
Sementara, terkait pengaduan yang masuk dari peserta, Alan menyebutkan, masalah yang diadukan bervariasi. Dari masalah teknis pendaftaran online, hingga pengumuman hasil tes CPNS dari honorer kategori dua (K2) yang diulur-ulur. Sulitnya mengakses data pengumuman di website-website resmi yang ditunjuk Panselnas, juga banyak dikeluhkan peserta.
Saat pendaftaran online, ambil contoh di Kemenkum-HAM, satu peserta bisa mendaftar tiga hingga empat kali. Hal ini, lanjut Alan, karena saat menginput data, peserta tidak yakin apakah datanya itu sudah masuk atau belum. “Sehingga diulang-ulang. Ini kelihatan sekali, jumlah pendaftar di Kemenkum-HAM itu sekitar 12 ribu, tapi yang menyerahkan berkas hanya 4 ribuan,” kata Alan.
Yang juga banyak diadukan peserta adalah pengumuman yang tidak disertai nilai sehingga tidak bisa diketahui rankingnya. “Intinya, peserta itu siap untuk tidak lulus tapi harus transparan, nilai harus dicantumkan,” imbuhnya.
Bagaimana soal percaloan? Alan mengatakan, pihaknya belum menerima pengaduan soal percaloan. Hal ini, lanjutnya, juga dibahas secara khusus oleh konsorsium LSM pemantau. Ada dugaan, pengaduan percaloan baru akan muncul setelah pengumuman kelar.
“Karena kami yakin, percaloan tetap ada. Masalahnya, bagi yang lulus, dia akan diam saja. Juga, bagi yang tidak lulus tapi uangnya dikembalikan oleh calo, dia juga akan diam saja,” pungkasnya. (jpnn)