Artikel

PERANAN GORDANG SAMBILAN DALAM KEGIATAN UPACARA HORJA GODANG DI KOTANOPAN (Bagian 1)

Pertunjukan Gordang Sambilan Maninggung Gordang untuk membuka upacara Horja Godang (Foto: Abdul Majid. 25 Maret 2011)

Oleh :

Abdul Majid (Mahasiswa Pascasarjana ISI Padangpanjang)
Nursyirwan   (Dosen Jurusan Seni Musik dan Pascasarjana ISI Padangpanjang)
Febri Yulika  (Dosen Jurusan Seni Musik dan Pascasarjana ISI Padangpanjang)

 

 

ABSTRAK

Upacara Horja godang merupakan upacara adat perkawinan pada etnik Mandailing, dilaksanakan setelah seminggu acara akad nikah. Upacara Horja Godang dilaksanakan oleh masyarakat keturunan raja-raja di Kecamatan Kotanopan yang mayoritas penduduknya adalah etnik Mandailing. Menurut tradisinya upacara Horja Godang berlangsung selama tiga hari, lima hari, atau satu minggu, sesuai dengan ketentuan adat. Pada upacara Horja Godang ditampilkan Gordang Sambilan sebagai musik pendukung upacara. Secara turun-temurun masyarakat Kotanopan berpendapat bahwa musik Gordang Sambilan merupakan musik adat dan Gordang Sambilan diyakini sebagai alat musik milik raja-raja mereka secaran turun temurun.

Fungsi musik Gordang Sambilan sangatlah menentukan pada rangkaian upacara Horja Godang. Fungsi musik tersebut meliputi (1) Fungsi Ekspresi Emosi, (2) Fungsi Reaksi Jasmani, (3) Fungsi Hiburan, (4) Fungsi Representasi Simbolis, (5) Fungsi Komunikasi, (6) Fungsi Identitas Etnik.

 

PENDAHULUAN

Kotanopan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal. Mayoritas masyarakat kotanopan adalah etnik Mandailing, yang merupakan salah satu etnik yang terdapat Sumatera Utara. Masyarakat Kotanopan memiliki stratifikasi sosial yang berlangsung secara turun temurun. Z. Pangaduan Lubis (1986: 71) menyatakan bahwa masyarakat Kotanopan dibedakan atas tiga golongan yaitu; (1) lapisan bangsawan yang disebut namora. Lapisan sosial inilah berasal raja-raja dan keturunannya di Kotanopan; (2) lapisan rakyat biasa yang dinamakan alak na jaji; (3) golongan natoras adalah golongan yang tercipta dari kelompok-kelompok kerabat yang anggotanya pernah melakukan perkawinan dengan keluarga dekat raja atau anggota kerabat mora. Horja Godang adalah upacara adat perkawinan yang besar.

Upacara ini hanya boleh dilakukan bagi keturunan raja-raja Kotanopan dengan memenuhi segala persyaratan yang telah ditentukan oleh adat. Rabiathul Adawiyah (2008:1) menyatakan bahwa upacara tersebut memakan waktu selama satu sampai tujuh hari, sesuai dengan kemampuan dan ketentuan adat. Sejak dulu sampai saat ini upacara Horja Godang merupakan lambang kebesaran rajaraja Kotanopan.

Pada upacara Horja Godang digunakan Gordang Sambilan sebagai musik pendukung upacara. Gordang Sambilan merupakan ansambel perkusi yang hampir seluruh alat musiknya bersifat ritmik ini telah menjadi musik tradisi di Kotanopan dalam kurun waktu yang cukup lama. Keberadaan ansambel Gordang Sambilan dalam upacara Horja Godang sebagai musik pendukung upacara, merupakan elemen yang sangat menentukan terhadap jalannya upacara dan kualitas upacara. Musik Gordang Sambilan disajikan dalam beberapa bagian upacara Horja Godang, seperti pembukaan dari beberapa rangkaian upacara, penyambutan tamu adat dan penutupan upacara. Gordang Sambilan juga berfungsi untuk membangkitkan semangat bagi pendukung upacara Horja Godang.

Melihat fungsi Gordang Sambilan dalam kapasitasnya sebagai musik pendukung upacara Horja Godang Merriam mengatakan, “I should like to propose ten such major and over-all function, as opposed to uses, of music: (1) The function of emotional exspression; (2) The function of aesthetic enjoyment; (3) The function of entertainment: (4) The function of communication: (5) The function of symbolic representation, (6) The function of physical response; (7) The function of enforcing conformity to social norms; (8) The function of validation of social institutions and religious rituals; (9) The function of contribution to the continuity and stability of culture;, and (10) The function of contribution to the integration of society”.(Merriam, 1968: 219-227).

Berdasarkan sepuluh teori fungsi musik yang ditawarkan Merriam, terdapat enam fungsi ansambel Gordang Sambilan dalam upacara Horja Godang. Adapun enam fungsi tersebut adalah fungsi ekspresi emosi, fungsi reaksi jasmani, fungsi hiburan, fungsi representasi simbolis, fungsi komunikasi, dan fungsi identitas etnik.

Ansambel Gordang Sambilan sebagai musik pendukung dalam upacara Horja Godang secara keseluruhan. Pertunjukan musik tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan, antara upacara Horja Godang dengan musiknya Gordang Sambilan adalah merupakan dua komponen yang saling terkait posisi Gordang sambilan dalam upacara Horja Godang digunakan sebagai pengabsahan pada beberapa rangkaian upacara Horja Godang. Keberadaan ansambel Gordang Sambilan dalam upacara Horja Godang sebagai musik pendukung upacara, selain merupakan elemen yang menentukan terhadap jalannya upacara, musik tersebut juga menentukan kualitas upacara, oleh karena belum bisa upacara tersebut dinamakan Horja Godang tanpa adanya pertunjukan musik Gordang Sambilan. Begitu juga dengan adanya upacara Horja Godang yang pada saat ini merupakan momentum pertunjukan musik ansambel Gordang Sambilan yang terkait dengan ketentuan adat, oleh karena upacara adat secara turun-temurun yang masih bertahan sampai saat ini adalah Horja Godang.

Gordang Sambilan adalah sembilan buah gendang yang masingmasingnya memiliki ukuran berbeda yang merupakan simbol sembilan tokoh dalam struktural masyarakat. sesuai dengan fungsi dan tingkatannya. Para tokoh tersebut, masing-masingnya disimbolkan dengan satu buah gordang yang ukuran besarnya sesuai dengan tingkatan dan fungsi tokoh tersebut dalam masyarakat.

Selain sembilan gordang, ansambel Gordang Sambilan dilengkapi dengan alat musik yang dinamakan uning-uningan yaitu alat musik yang terdiri dari jenis alat musik pukul dan tiup. Ansambel Gordang Sambilan dimainkan dalam bentuk interloking dan dalam bentuk serempak (unisono). Musik ini termasuk pada jenis musik yang berkarakter keras dan enerjik, walaupun ia dimainkan dalam tempo lambat dan cepat dengan bunyi suara yang keras, oleh sebab itulah pertunjukan ansambel Gordang Sambilan hanya disajikan di arena atau lapangan terbuka saja.

 

METODE

Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan menggabungkan pendekatan musikologi, etnomusikologi, antropologi, sosiologi, dan sejarah. Dalam menghasilkan penulisan ini diperlukan suatu metode yang sistematis dalam pembahasan objek penelitian, dan kemudian menyusunnya dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, teknik pengumpulan data disesuaikan dengan sifat penelitian ini, yaitu penelitian kualitatif yang merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif.

Penelitian ini dikerjakan dalam bentuk penelitian lapangan dan penelitian di perpustakaan untuk mendapatkan data-data tentang objek yang diteliti melalui pengamatan, pencatatan, dan melakukan wawancara dengan informan dan nara sumber. Instrumen utama dalam penelitian ini adalah orang, atau human instrumen, yaitu peneliti sendiri.

Di samping itu instrumen penelitian adalah kamera foto, kamera video, laptop, dan peralatan alat tulis. Dalam penggunaan instrumen penelitian, maka peneliti menyelaraskannya dengan bekal teori dan wawasan. Hal inilah kiranya dapat mendukung terhadap materi instrumen penelitian yang dihubungkan dengan; kemampuan bertanya, menganalisis, memotret, merekam, dan mengkonstruksi situasi sosial yang diteliti menjadi jelas dan bermakna.

 

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Asal-Usul Gordang Sambilan

Rizaldi Siagian (1990: 44) menyatakan bahwa istilah Gordang Sambilan, pada etnik Mandailing umumnya dan masyarakat Kotanopan khususnya, mempunyai dua pengertian. Pertama, Gordang Sambilan sebagai nama gendang yang berukuran besar. Kedua, merupakan ansambel musik yang terdiri dari sembilan buah gendang dengan ukuran berbeda dan dilengkapi dengan alat musik Uning-uningan, terdiri dari alat musik pukul dan tiup.

Perbedaan pengertian tersebut tidak begitu prinsipil. Masyarakat Kotanopan bisa memahaminya dan tidak pernah diperdebatkan secara lebih dan yang mereka pahami sekarang ini tentang istilah Gordang Sambilan tersebut adalah ansambel Gordang Sambilan.

Juniar Girsang (2007: 31) menyatakan bahwa Gordang Sambilan sebagai musik tradisi yang mengakar kuat di Mandailing khususnya di Kotanopan. Awalnya musik ini digunakan untuk upacara ritual dan adat, selanjutnya fungsinya berkembang menjadi musik pendukung pada acara seremonial. Satu-satunya upacara adat yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Kotanopan yang masih keturunan raja-raja adalah upacara Horja Godang.

Pertunjukan Gordang Sambilan memiliki peran penting dalam upacara Horja Godang. Bagi masyarakat Kotanopan Gordang Sambilan memiliki makna dan nilai yang khusus yang berhubungan dengan fungsionaris masyarakat yang bahu membahu dalam menjalankan adat Kotanopan dan meluaskan wilayah desa. Adapun Gordang Sambilan adalah sembilan buah gendang yang masing-masingnya memiliki ukuran berbeda yang merupakan simbol sembilan tokoh dalam struktural masyarakat. sesuai dengan fungsi dan tingkatannya. Para tokoh tersebut, masing-masingnya disimbolkan dengan satu buah gordang yang ukuran besarnya sesuai dengan tingkatan dan fungsi tokoh tersebut dalam masyarakat.

Adapun urutan gordang dari yang paling besar sampai yang terkecil dan sembilan tokoh fungsionaris masyarakat tersebut adalah; (1) Gordang Sambilan yang paling besar adalah simbol untuk Raja Panusunan Bulung, gelar untuk seorang raja terbaik yang telah membangun beberapa desa. Raja tersebut dipilih oleh tokoh masyarakat dari beberapa raja yang memimpin desa-desa di Mandailing; (2) Satu gordang merupakan simbol dari Datu yaitu pembantu penting seorang raja untuk melakukan komunikasi dengan alam gaib atau roh leluhur; (3) Natoras yang merupakan wakil datu; (4) Raja Pamusuk adalah pimpinan adat yang mengepalai satu desa; (5) satu gordang untuk Kepala Ripe yaitu wakil Raja Pamusuk; (6) Uluan yaitu seorang yang mewakili mora yaitu seorang yang berasal dari pihak keluarga istri; (7) Talaga yaitu seorang yang mewakili anak boru yaitu kerabat yang mengambil istri; (8) satu gordang mewakili Ulubalang yaitu penjaga keamanan desa; (9) Suruonkonon adalah pembantu dari raja. (bersambung)

dicopy dari : https://journal.isi-padangpanjang.ac.id/index.php/Bercadik/article/view/19

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.