Oleh: Dewi Soviariani
Pemerhati Umat
“Amin kita sama, tapi iman kita berbeda”, begitu kira-kira semboyan generasi milennial dan generasi z dalam mewacanakan kehidupan mereka dalam bingkai liberalisasi beragama. Bebasnya interaksi pergaulan lawan jenis menempatkan hubungan perasaan pada batasan yang sudah melewati rambu rambu akidah. Tak sedikit dari milenial maupun gen z menyatukan perbedaan keyakinan tersebut dengan hidup bersama dan kini sahnya undang undang pernikahan beda agama menjadi angin segar bagi mereka yang ingin menyatukan perasaan dalam perbedaan keyakinan dengan ikatan pernikahan.
Seperti dilansir berita dari ANTARANews, PN Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pernikahan beda agama melalui putusan yang disebutkan bahwa calon mempelai laki-laki, JEA, adalah seorang Kristen dan calon mempelai wanita, SW, adalah seorang muslimah. Pengadilan Negara Jakarta Pusat menyatakan bahwa pengabulan permohonan pernikahan beda agama sepenuhnya bergantung pada kebijaksanaan hakim. Perwakilan Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Jamaludin Samosir mengatakan bahwa pasangan beda agama memang bisa mendaftarkan pernikahannya di PN Jakarta Pusat dengan mengajukan permohonan izin nikah.
Putusan yang mengabulkan keduanya menikah tertuang dalam nomor 155/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Pst. Pernikahan dilakukan antara perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non-muslim dan sebaliknya laki-laki muslim menikah dengan perempuan non-muslim. Beberapa pengadilan di Indonesia sudah mulai mengizinkan pernikahan beda agama berdasarkan UU Adminduk hingga alasan sosiologis. Sebelumnya PN Jakarta Pusat, beberapa pengadilan di daerah lain telah lebih dulu membolehkan nikah beda agama. Yakni PN di Surabaya, Yogyakarta, Tangerang hingga Jakarta Selatan. Dirangkum detikcom, Minggu (25/6/2023).
Dikabulkannya nikah beda agama (laki-laki non muslim dengan muslimah) menunjukkan pelanggaran terhadap hukum agama. Regulasi yang masih berlaku di Indonesia mengenai Perkawinan adalah UU 16/2019 tentang perubahan atas UU 1/1974. Dalam pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Bahkan, MUI telah mengeluarkan fatwa haram dan tidak sahnya pernikahan beda agama. Negara tidak berfungsi dalam menjaga tegaknya hukum Allah dan melindungi rakyat untuk tetap dalam ketaatan pada Allah Swt.
Dalam hukum Islam pernikahan beda agama adalah dilarang, namun faktanya di lapangan sangat problematis. Baik di Indonesia maupun di negara-negara lain, sudah banyak terjadi praktik-praktik pernikahan beda agama di masyarakat. Hal ini satu keniscayaan dalam negara yang terpengaruh sekularisme. Dalam kehidupan sekularisme, dimana agama tidak boleh campur tangan dalam mengatur kehidupan. Telah melahirkan hidup dengan aturan kebebasan (liberalisme) tentunya akan terus membawa ide ide sesat agar diadopsi oleh kaum muslimin. Dengan kampanye culture global yang saat ini sedang digunakan untuk mentransfer ide Barat, pernikahan beda agama menjadi salah satu poin yang dipaksakan untuk mengganti hukum Islam yang selama ini dipertahankan umat muslim.
Atas nama hak asasi manusia, upaya legalisasi pernikahan beda agama terus diupayakan dan disahkan, padahal yang demikian itu merupakan bentuk pencederaan terhadap syariat Islam. Liberalisme, sebuah paham kebebasan yang menyingkirkan fungsi agama sebagai pedoman hidup manusia. Individu-individunya merasa bebas melakukan apa pun sesuai keinginannya. Tidak peduli menabrak syariat atau tidak, selama ia merasa puas dan senang, mengejar hawa nafsu dan syahwat pun dianggap sah-sah saja. Pernikahan beda agama merupakan satu dari sekian banyak contoh bahwa agama seolah dicampakkan di negeri ini. Jika sekularisme masih menjadi pijakan, kaum muslim akan terus menyaksikan satu per satu hukum Allah Swt dicampakkan.
Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 221:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَ مَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰٓئِكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّا رِ ۖ وَا للّٰهُ يَدْعُوْۤا اِلَى الْجَـنَّةِ وَا لْمَغْفِرَةِ بِاِ ذْنِهٖ ۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّا سِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ
Artinya: “Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman! Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Jangan pula kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang beriman) hingga mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”
Islam mempunyai aturan yang jelas dalam menyikapi pernikahan beda agama. Dalam penerapan Islam melalui institusi negara permohonan pernikahan beda agama tidak mungkin dikabulkan. Hal ini bertentangan dengan tujuan diterapkannya syariat dalam aturan bernegara. Negara berfungsi menjaga akidah umat untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT. Pernikahan dalam Islam mempunyai tujuan yang penting dan akan mempengaruhi hukum hukum yang lain jika dilakukan tidak berdasarkan petunjuk Al Qur’an dan as-sunah. Seperti hadanah (pengasuhan), birrul walidain (berbakti pada orang tua), kewajiban suami istri, hukum waris, dll. Seseorang yang menikah karena agama akan mencari pahala dengan mengoptimalkan berbagai kewajiban yang datang padanya. Islam memiliki aturan tertentu dalam berbagai persoalan manusia, yang semuanya bersumber pada aturan Allah dan RasulNya.
Negara mempunyai tanggung jawab yang besar terkait hal ini. Negara dalam Islam melahirkan para penguasa yang akan benar-benar memastikan bahwa aturan yang ditetapkan adalah sesuai aturan Islam. Begitu pun para hakim, akan memutuskan semua perkara berlandaskan syariat-Nya. Salah satu tugas negara menurut Islam adalah menjaga tegaknya hukum Allah dan menjaga rakyatnya agar tetap dalam ketaatan kepada Allah. Pelegalan pernikahan beda agama adalah bentuk pengabaian atas perintah dan larangan Allah SWT oleh negara. Kegagalan menjaga ketaatan masyarakat terhadap syariat akan membuahkan maksiat dan membawa mudarat. Sebagai negeri mayoritas muslim, sudah saatnya kita menentukan sikap. Menolak pelegalan pernikahan beda agama dan terus melakukan upaya untuk kembali melanjutkan kehidupan Islam, menyelamatkan generasi. Wallahu A’lam Bishshawwab