Budaya

QURBAN KABUR

Cerpen: Rina Youlida Nurdina

Alloooohuakbar…. Alloooohuakbar…… Alloooohuakbar…..

Suara takbir berkumandang di seluruh penjuru dunia menyambut hari raya  Idul Adha atau Qurban bagi seluruh ummat muslim. Merinding dan terharu adalah perasaan yang muncul dari hati, baik itu disebabkan karena di hari raya tahun ini mampu untuk turut serta atau justru juga sedih karena belum mampu untuk turut serta berqurban karena berbagai alasan.

Tidak terkecuali Ucok, pria paruh baya yang sangat beruntung karena sudah dua kali menikah. Dengan istri pertama ia dikaruniai 6 anak, namun hidup dengan kesulitan ekonomi yang berat. Setiap hari ia tidak lelah bekerja serabutan apapun itu. Jangankan beli baju baru, bisa makan sekali sehari saja sudah sangat hebat. Namun pun demikian mereka hidup dengan bahagia, saling menyayangi dan mengasihi hingga tak sedikit tetangga yang julid dan kepo suka sirik dengan kebahagiaan mereka. Sungguh rezeki yang sangat nikmat.

Suka maupun duka adalah dua hal yang selalu berdampingan. Saat menyambut kelahiran anak ke enamnya, Ucok harus rela kehilangan istri tercinta untuk selamanya menghadap sang pencipta. Sungguh satu luka yang sangat dalam yang Ucok rasakan. Membesarkan dan merawat keenam anaknya seorang diri bukan hal yang mudah bagi seorang laki-laki apalagi harus mencari nafkah setiap hari hingga akhirnya Ucok disarankan oleh keluarga  untuk beristri lagi agar setidaknya ada yang bisa merawat anaknya yang masih kecil-kecil.

Memang dasar Ucok yang yang garis tangannya bagus, tidak butuh waktu lama ia sudah dapat mempersunting seorang gadis yang siap menjadi ibu sambung dari keenam anaknya dan mau berbagi susah dengan Ucok.

Bermodalkan mahar sebesar dua juta hasil meminjam dari beberapa saudara, Ucok melepas status dudanya dan memulai hidup baru. Lebih beruntungnya lagi Ucok mempersunting gadis yang bijak dan cerdas. Uang mahar yang ucok berikan pada istrinya digunakan sebagai modal berjualan peralatan dapur lima ribuan yang makin hari semakin berkembang dan kini mereka sudah memiliki omset diluar perkiraan Ucok selama ini. Walau tidak berezeki anak dengan istrinya yang kedua, namun ia berezeki dalam ekonomi. Ucok memang beruntung.

Di tahun ke empat  mereka berumahtangga, anak-anak sudah baik sekolahnya dan bagus ekonominya juga. Bukan hanya rumah, mereka juga sudah bisa memiliki beberapa kendaraan yang digunakan sebagai angkutan untuk berjualan lima ribuannya.

Malam ini adalah malam yang sangat spesial bagi Ucok karena untuk pertama kali dalam hidupnya ia ikut berqurban. Ucok sempat berpikir apakah dia bermimpi dengan turut sertanya ia berqurban tahun ini karena sedari kecil bisa makan daging dari hasil kupon yang dibagikan masjid untuk mendapatkan jatah bagian qurban untuk masyarakat jadi hal yang selalu dinantikan.

Satu dari tujuh bagian sapi yang akan diqurbankan oleh Ucok ditambat tepat di halaman rumah Ucok yang luas. Bangga sekali hati Ucok melihat sapi itu. Sering Ucok sekedar mondar-mandir memperhatikan sapinya dan sesekali ia mengelusnya dan mengajaknya berbicara.

“ Besok kau dipotong. Kau ingat wajahku ya. Nanti di akhirat jangan lupa kau bantu aku ya.”

Demikian sedikit kalimat yang Ucok sampaikan ke sapinya yang terlihat manggut-manggut tidak mengerti.
Sambil duduk di akar pohon kelapa tempat si sapi ditambatkan, Ucok yang menikmati isapan rokok Sampoerna-nya tiba-tiba tersentak dengan suara teriakan dari arah berlawanan ia duduk.

“ Toloong….toloong, tangkap, hadang duluuu, hadaaang…hadaang…”.

Seketika Ucok menghambur dari duduknya dan melihat sesosok sapi yang berlari ke arahnya. Ucok bingung dan jantungnya hampir copot karena syok menatap pandangan sapi yang tepat ke arahnya. Namun karena Ucok sudah terbiasa bekerja keras dari kecil, ototnya sudah terlatih menjadi kuat. Ia mengelabui si sapi dengan berputar mengitari pohon kelapa tempat ia duduk dan tempat sapinya ditambat hingga si sapi yang stres berlari melewati Ucok. Melihat tali sapi yang kabur itu, Ucok pun dengan gesit menariknya dari belakang hingga ucok turut terjerembab dan terseret si sapi yang ketakutan. Untung saja banyak pohon besar di sekitar sapi kabur itu, saat sapinya kebingungan mau kabur kemana lagi, Ucok dengan sigap menambatkan tali yang Ucok genggam denga erat ke sebuah pohon kedondong tua.

Akhirnya, meski dengan beberapa luka memar dan lecet tambah lagi keringat yang bercucuran Ucok berhasil megamankan sapi yang kabur dari tambatannya itu. Meski perih karena lukanya, Ucok banyak mendapatkan ucapat terimakasih dari warga yang sudah kewalahan mengamankan si sapi itu.

Masih dalam keadaan suka cita dengan keberhasilan Ucok mengamankan sapi yang akan diqurbankan besok, tiba-tiba terdengar lagi suara teriakan yang sama seperti Ucok dengar tadi.

“Tooolooong…. Kaabuuuuur, qurbannya kabuuuur….Toloooong…..”.

Warga dan Ucok yang masih ngos-ngosan mengejar sapi tadi, sontak berbalik arah melihat ke belakang. Ternyata sapi yang Ucok sedari tadi jaga dengan penuh kasih sayang telah lepas dari tambatannya dan kabur tak tentu arah karena ketakutan melihat ramainya dan  guduh suara warga yang berteriak-teriak mengejar sapi itu.

Seketika Ucok lemas dan tersungkur berlutut tak sanggup berdiri lagi.

“Tolong kalian tangkap dia. Aku mau berqurban,” teriak Ucok dengan memelas dan berharap penuh pada warga yang ramai.***

Rina Youlida Nurdina adalah cerpenis / tinggal di Panyabungan, Mandailing Natal, Sumatera Utara / guru Bahasa Indonesia

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.