Berita Nasional

Radiasi Nuklir Picu Eksodus WNI


JAKARTA-
Gelombang pemulangan Warga Negara Indonesia (WNI) ke Tanah Air terus mengalir. Hingga tadi malam puluhan WNI terus berdatangan baik dengan penerbangan reguler dari Jepang. Sebagian ikut dalam rombongan evakuasi Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) namun ada juga yang pulang dengan biaya pribadi.

Salah seorang WNI bernama Susi misalnya, dia mengatakan bahwa banyak WNI yang panik dengan kabar bocornya PLTN Fukushima. Bahaya radiasi didukung kondisi yang kian sulit mendapatkan bahan makanan membuat banyak WNI yang memilih untuk pulang ke Indonesia. Bahkan tak sedikit yang memilih menggunakna penerbangan umum dan pulang dengan dana pribadi agar terhindar dari ancaman radiasi nuklir. “WNI banyak yang panik karena pemerintah Jepang tampak kesulitan mengatasi problem nuklir ini,” kata dia.

Para WNI yang baru tiba di Bandara Soekarno-Hatta harus melewati pemriksaan radiasi nuklir oleh tim dari Badan Pengawasan Tenaga Nuklir (Bapeten). WNI yang tiba dari Jepang harus melewati pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi kemungkinan mereka terkena radiasi nuklir.

Kecemasan dunia terhadap dampak radiasi akibat ledakan empat unit reaktor nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi semakin berlipat. Jepang dianggap dalam keadaan darurat nuklir. Karena itu, beberapa negara maju menginstruksi warganya untuk segera eksodus dari Jepang. Sebagian negara lain juga memblokir dan mengetes ulang makanan dan minuman yang diimpor dari Nippon.

Kemarin (17/3) pemerintah Inggris mencarter pesawat khusus untuk mengevakuasi warganya dari Tokyo ke Hongkong agar terhindar dari bahaya radiasi nuklir. “Warga Inggris yang sedang di Tokyo dan menuju utara Tokyo diminta meninggalkan area. Pesawat itu disediakan gratis,” kata pejabat luar negeri Inggris seperti dikutip Daily Telegraph.

Pemerintah Swiss juga mengimbau warganya untuk meninggalkan ibu kota dan wilayah timur laut Jepang. Sebelumnya, pemerintah Australia, Korea Selatan, dan Prancis meminta warganya segera pergi dari negeri yang menderita kerugian material hingga Rp 1.800 triliun akibat bencana tsunami dan gempa 8,9 skala Richter tersebut.
Amerika Serikat juga menyerukan warganya yang berada dalam radius 80 kilometer dari PLTN Fukushima untuk meninggalkan zona tersebut. Peringatan radius evakuasi dari AS itu lebih luas daripada seruan evakuasi yang dikeluarkan Jepang.

Sebelumnya, Jepang mengimbau warga yang berada dalam radius 20 kilometer dari PLTN Fukushima untuk mengungsi. Jepang juga meminta warga dalam radius 32 kilometer dari Fukushima untuk tidak keluar rumah. Selain menambah zona evakuasi, AS memutuskan memantau langsung tingkat radiasi di Negeri Sakura itu.
Mereka bahkan menggunakan peralatan dan memboyong para pakarnya untuk menghentikan krisis nuklir tersebut. Duta Besar (Dubes) AS untuk Jepang John Roos mengatakan, 34 pakar telah tiba di negeri itu dengan membawa peralatan pemantau darat dan udara.

Para pakar itu akan bergabung dengan tujuh pakar dari Komisi Regulator Nuklir AS, dua teknisi dan pakar-pakar bahaya kesehatan dari Departemen Energi AS yang berada di Jepang sejak terjadi tsunami pekan lalu. “Kami mengerahkan semua kemampuan karena ada krisis yang tengah berlangsung,” ujar Roos seperti dilansir AFP kemarin.

Dubes AS membantah mengambil langkah tersebut karena kurang percaya akan kemampuan Jepang dalam mencegah radiasi nuklir.

“Kesehatan dan keselamatan warga negara AS di Jepang menjadi perhatian terbesar kami,” tegas Roos.

Militer AS hari ini juga menerbangkan sebuah pesawat tanpa awak untuk membantu meneliti reaktor-reaktor nuklir yang rusak. Pesawat itu dilengkapi sensor inframerah yang bisa mengambil gambar di reaktor Fukushima.
Rabu lalu (16/3) Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Yukio Edano memang menegaskan bahwa dampak radiasi tidak akan sampai ke zona lain yang jaraknya melebihi 30 kilometer dari reaktor nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi. Namun, beberapa pakar nuklir dunia berpendapat berbeda.

Kemarin (17/3) Associated Press melaporkan bahwa krisis nuklir di Jepang berada pada level serius. Sampai-sampai, Utusan Khusus Jepang pada Badan Energi Atom Internasional, Yukiya Amano, berkunjung ke reaktor yang menjadi pembangkit energi listrik tersebut Rabu lalu (16/3). “Saat ini, kami berada dalam situasi yang cukup genting,” katanya sebagaimana dilansir The Telegraph.

Kepala badan pengawas nuklir PBB itu membenarkan bahwa reaktor No 1, No 2, dan No 3 dari PLTN Fukushima Daiichi telah meledak. Sementara, unit reaktor keempat sempat terbakar hebat. Akibatnya, zat radioaktif kadar tinggi terbang ke udara, bahkan hingga ratusan kilometer jauhnya. Zat radioaktif itu juga sampai ke Tokyo.
Menurut kantor berita Kyodo, pascaledakan hidrogen pada unit reaktor nomor dua, tingkat radiasi di sekitar lokasi mencapai 965,5 mikrosievert per jam. Puncaknya, radiasi mencapai hingga 8.217 mikrosievert per jam. Angka ini jauh berkali lipat di atas batas radiasi normal yang bisa ditolerasi tubuh manusia.

Itulah sebabnya, Perdana Menteri Jepang Naoto Kan mengimbau warga dalam radius lebih dari 30 km dari lokasi agar berdiam di rumah dan memakai masker.

Presiden AS Barack Obama kemarin kembali menelepon Naoto Kan. Dia mengatakan siap membantu apa pun yang dibutuhkan Jepang dalam pemulihan pascabencana gempa dan tsunami.

“Intinya, presiden menegaskan akan membantu Jepang keluar dari krisis ini,” begitu bunyi pernyataan resmi Gedung Putih. Termasuk, membantu menerjunkan tentara yang memiliki kemampuan khusus menangani krisis nuklir dan pemulihan bencana alam?

Keadaan darurat nuklir di Jepang juga diungkapkan Kepala Komisi Regulasi Nuklir Amerika Serikat Gregory Jaczko. “Saya rasa, tingkat radiasinya sudah masuk kategori serius,” ungkapnya. Pendapat yang sama diungkapkan Komisioner Energi Uni Eropa (UE) Guenther Oettinger. Menurut dia, pemerintah Jepang sedang dihadapkan pada dua pilihan yang sama buruknya. Yakni, bencana atau malapetaka.

Kendati demikian, para pakar Barat itu mengaku salut dengan upaya Jepang meredam dampak radiasi. “Para pakar nuklir Jepang terus memantau perkembangan yang terjadi di Fukushima. Mereka juga terus menggali informasi soal radiasi,” ungkap Fred Mettler, utusan komite khusus PBB yang bertugas menganalisis dampak radiasi terhadap kesehatan.

Menurut dia, upaya para pakar nuklir Jepang meredam kepanikan masyarakat sudah maksimal. “Mereka memonitor, mengevaluasi, dan memantau ketat cuaca di sekitar reaktor,” ujar Mettler kepada USA Today. Kendati demikian, mereka tidak bisa memastikan tingkat radiasi di beberapa tempat berbeda sekaligus. Sebab, semuanya sangat bergantung pada arah dan penyebab radiasi itu sendiri.

Ya, hingga kemarin Jepang terus fokus untuk mendinginkan batang-batang bahan bakar nuklir yang kepanasan di reaktor Fukushima. Helikopter militer Jepang telah dikerahkan untuk menyiramkan air ke reaktor yang telah meledak empat kali itu. “Kepolisian Tokyo juga menggunakan meriam air untuk mencegah terulangnya kecelakaan nuklir Chernobyl pada 1986,” demikian berita News.com.au, Kamis (17/3).

Sementara itu, partikel-partikel radioaktif konsentrasi rendah diduga sedang menuju ke arah timur, ke Amerika Utara. Hal itu disampaikan Lars-Erik De Geer, direktur riset Institut Riset Pertahanan Swedia, seperti dilansir kantor berita Reuters, kemarin. De Geer menyampaikan hal tersebut mengutip data dari jaringan pusat monitoring internasional.
Namun, dia menekankan bahwa level radiasi tersebut tidak berbahaya bagi manusia. Bersamaan dengan itu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) merilis panduan resmi terkait dengan dampak radiasi nuklir Jepang. Dalam rilisnya, WHO menegaskan bahwa manusia tidak pernah lepas dari radiasi, baik itu radiasi alami maupun radiasi akibat perbuatan manusia. Setiap tahun tiap orang terpapar sekitar 3 milisievert (msv).
Sievert adalah satuan untuk menyatakan dosis radiasi. Sebanyak 80 persen dari paparan radiasi itu berasal dari alam. Sebanyak 19,6 persen lainnya muncul dari efek medis dan sekitar 0,4 persen sisanya karena radiasi buatan manusia.

Lantas, apa yang menyebabkan manusia terpapar radiasi? Menurut WHO, ada dua faktor yang membuat manusia terkena radiasi. Pertama, faktor internal, yaitu menghirup atau menelan zat radioaktif. Kedua, faktor eksternal, yakni terdapat zat radioaktif yang menempel pada pakaian atau kulit. Jika seorang individu terpapar radiasi dalam waktu relatif lama, zat-zat radioaktif itu akan merugikan kesehatan.

“Jika kadar radiasinya di atas normal, individu bersangkutan akan menunjukkan sindrom radiasi akut alias ARS. Gejalanya, mulai ruam merah pada kulit, kerontokan rambut dan timbul seperti luka bakar pada kulit,” terang WHO dalam pernyataan tertulisnya. Tapi, lanjut lembaga PBB itu, gejala semacam itu biasanya hanya dialami para pekerja di reaktor atau tim penyelamat yang cukup lama berada di reaktor yang bocor.

Karena itu, WHO mengimbau masyarakat tidak panik. “Ikuti petunjuk yang diberikan pemerintah Anda dan teruslah mengikuti perkembangan yang terjadi,” lanjut WHO. Terkait dengan pil potasium iodida yang konon bisa meredam dampak radiasi, WHO memberikan keterangan lain. Menurut mereka, pil tersebut hanya akan diberikan jika dampak radiasi sudah dirasa membahayakan. Sebab, pil tersebut tidak bisa dikonsumsi secara sembarangan.
“Pil tersebut meningkatkan kadar jenuh kelenjar tiroid dalam tubuh sehingga bisa mencegah pembentukan iodin radioaktif. Pembentukan iodin radioaktif karena paparan radiasi nuklir inilah yang bisa memicu kanker,” papar WHO. Pil tersebut, lanjut organisasi yang dipimpin Margaret Chan itu, bukan antidot radiasi, apalagi antikanker. Tapi, itu hanya salah satu faktor yang bisa meredam dampak buruk radiasi dalam tubuh.

Sementara itu, beberapa negara kini mulai menguji berbagai produk makanan asal Jepang, menyusul kekhawatiran adanya kontaminasi zat radioaktif pascaledakan reaktor nuklir Fukushima Daiichi. Badan Pengawas Makanan Hongkong, dilansir dari CNN, telah melakukan tes radiasi terhadap 34 contoh sayuran segar, daging, dan ikan yang diimpor dari Jepang. “Jika kami mendeteksi hal tersebut, tentu saja, kami akan melarang produk itu dijual di Hongkong,” ujar Menteri Makanan dan Kesehatan Hongkong, York Chow.

Selain Hongkong, pemerintah Tiongkok, Thailand, Singapura, dan India melakukan tes serupa. Negara-negara tersebut dilaporkan telah memerintahkan badan pengawas obat dan makanan untuk menguji makanan asal Jepang di pelabuhannya, gerbang pertama masuknya makanan impor.

Warga AS dan Tiongkok juga gelisah. Meski terpisah ribuan kilometer, mereka berlomba-lomba memborong potassium iodide dan yodium untuk melindungi diri dari efek negatif radiasi nuklir pada kelenjar tiroid. Orang-orang yang tak kebagian potassium iodide dikabarkan menangis. “Mereka dilanda kecemasan sejak para ahli menganalisis bahwa radiasi Fukushima bisa menyebar ke negeri Paman Sam itu,” tulis Daily Mail kemarin.

Secara terpisah, jumlah resmi korban tewas dan hilang akibat gempa dan tsunami yang meratakan pantai timur laut Jepang telah melampaui 13.000 orang. Data ini diungkapkan pihak kepolisian Jepang kemarin. Namun, itu bukan merupakan angka final. Laporan-laporan mengisyaratkan bahwa jumlah korban masih akan bertambah.

Jumlah korban tewas yang telah dipastikan dari bencana itu adalah 5.178 orang. Kemudian, korban hilang 8.606. Demikian kata kepolisian nasional Jepang dalam data terbarunya. Sementara, korban luka mencapai 2.285 orang. Namun, laporan-laporan terus berdatangan yang menunjukkan bahwa jumlah akhir akan jauh lebih tinggi.
Kyodo News melaporkan, wali kota di kota pesisir Ishinomaki di Prefektur Miyagi, kemarin mengatakan, jumlah korban hilang di tempatnya diduga akan mencapai 10.000 orang. Sabtu lalu, sehari setelah bencana, NHK melaporkan, sekitar 10.000 orang menjadi korban tewas dan hilang di Minamisanriku. (afp/ap/rtr/jpnn)
Sumber : Sumut pos

Comments

Komentar Anda