Budaya

RAMADHAN DI KAMPUNG KAMI (bagian 7)

Diceritakan Tagor Lubis dari Pojok Kedai Lontong Medan (kenangan masa kecil di Mandailing 1970 – 1980)

Kampung kami itu diapit oleh dua buah gunung merapi aktif, sebelah utara oleh Gunung Sorik Marapi dan Gunung Kulabu di bagian Selatan, Gunung Kulabu itulah yang menjadi hulunya Sungai Batang Gadis yang indah itu.

Dalam seminggu kampung kami  ada satu hari yang disebut hari pasar yaitu hati Sabtu. Kami menyebutnya ari poken. Pada hari pekan itu para pedagang dari berbagai desa sekitar bahkan dari tempat yang sangat jauh, ikut mengais rejeki. Para saudagar datang dengan kenderaan sendiri,  sementara barang dagangan diangkut oleh kuda dan pedati.

Sehari menjelang hari pasar sudah mulai terasa. Satu dua pedati mulai berdatangan. Menjelang subuh makin meriah dengan bunyi tilnong tilnong suara kalung kerbau membangunkan warga yang berdiam sepanjang kiri kanan jalan menuju pasar.

Mereka memarkirkan pedati tidak jauh dari pasar. Aroma  kerbau dan sapi mulai terasa. Beberapa sais pedati duduk duduk berkelompok di kolong pedati, mereka menunggu nasi yang sedang ditanak. Sebentar lagi mereka akan makan bersama.  Sebuah keakraban dan persaudaraan telah mereka perlihatkan.

Selesai makan, kerbau mereka giring ke sungai untuk dimandikan dan sekaligus menyabit rumput.  Tak perlu menambah solar dan ganti oli kawan, cukup memenuhi keranjang rumput saja untuk bekal pulang atau melanjutkan perjalanan menuju pekan berikutnya.

Menjelang siang pasar makin ramai, pengunjung mulai menggumpal. Angkutan Sinar Kota, Rosliana,  Usaha Keluarga, Sanggarudang,  Lubuk Raya dan Adianbania tak pernah kosong membawa penumpang.

Hari pekan di bulan Ramadhan memang berbeda dengan bulan bulan biasa. Toko toko kain dan pakaian meraup untung besar.  Maklum untuk persipaan menjelang hari raya. Lebih menyemut lagi nanti pas hari pekan terakhir, sepertinya tak ada ruang untuk bergerak. Disini perlu kewaspadaan, para gerombolan maling pun ambil kesempatan. Sekali waktu ada ibu ibu menangis meraung menjerit jerit, kehilangan dompet. Katanya uangnya yang hilang hasil penjualan kopi yang ia kumpul kumpulkan selama setahun. Eehhh, padahal dompetnya terselip indah di ketiaknya.

Buat kami hari pekan itu adalah hari yang menyenangkan, hari dimana kami mendapatkan uang jajan. Sore nanti kami bisa beli kue bongko untuk bukaan. Hari-hari biasa kami tidak mendapatkannya. Sekedar  untuk ngemil. Cukup kami pergi ke hutan kecil di Bukit Siojo mencari ringkanang atau nangka hasil peraman. Itu pun kalau tidak diambil orang lain lebih dahulu. 

Untuk menghabiskan hari di hari pekan ini, cukup kami bersila di bawah pohon mahoni di depan Pasanggerahan mendengar ocehan tukang obat cacing.  Kami menjadi pendengar terbaik.

Menurutnya tanda tanda anak yang cacingan itu, bila di pagi hari sebelum bangun, kepala si anak ke bawah menempel di kasur,  knalpotnya menghadap ke atas, itu menjadi bukti bahwa si anak sedang cacingan. Jangan lama lamain lagi, segera minum obat. “Cukup makan satu tablet pagi, satu siang dan satu malam, besok pagi cacing akan keluar, kalau tidak keluar berarti bukan cacing, tapi tali timba”, ia menambahkan.

Kaki bisa semutan hanya sekedar ingin mendengar ia mendendangkan lagu “Bujing bujing Panyabungan”.  Bibirna merah rambutna kariting, ise namangida rohana pe mar.…Kalangan sesepuh pasti ingat lagu itu.

Huuuhhh, belum selesai ia berdendang, sudah lanjut lagi jualan obat. Usai jualan, lagupun tidak pernah tuntas.  Dasar tukang obat…

Ada secuil cerita tentang hari pekan di kampung kami di bulan puasa dengan munculnya pasar tandingan yang berlokasi di belakang rumah pemotongan hewan. Orang orang menyebutnya pasar bawah. (bersambung)

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.