Budaya

RAMADHAN DI KAMPUNG KAMI (bagian empat)

Diceritakan Tagor Lubis dari Pojok Kedai Lontong Medan (kenangan masa kecil di Mandailing 1970 – 1980)

Cara lain kami menikmati sungai Batang Gadis yang indah itu dengan memanfaatkan arus derasnya. Kami susun dan kami satukan beberapa batang pisang, kami jadikan sebagai rakit. Satu rakit ditumpangi dua orang. Uji nyali kawan.  Siapa yang tidak kenal dengan jeram asak dua belas. Dengan perhitungan matang dan cermat kami bisa melewatinya. Tak ada yang kami dapatkan selain merasakan sensasi yang luar biasa. luar biasa kawan. 

Biar tau kau kawan, jeram asak dua belas itu tempat bersarangnya ikan mera, ikan yang menjadi primadonanya sungai Batang Gadis. Tidak mudah untuk mendapatkanya, hanya orang yang berilmu tinggi saja yang bisa membawanya pulang. Harganya bisa lebih mahal dari daging sapi.

Sebelum ada perahu karet untuk arung jeram, kami di kampung sudah melakukan arung jeram dengan cara kami sendiri. Tak ada pelatihan khusus, karena  kami diajari oleh alam.

Ya, kami adalah anak anak yang dibesarkan di kaki bukit Siojo dengan lembah sungai Batang Gadis-nya. Kami banyak belajar dari alam. Tak ada pendidikan khusus berenang,  tapi lihatlah anak anak sebaya kami sudah terbiasa melompat dari tebing dengan ketinggian dua sampai tiga atau yang lebih ekstrim lagi naik ke pohon kelapa baru menceburkan diri ke sungai.

Siapa yang tidak kenal dengan pemandian lubuk Kandang Kudo,  lubuk Gala Gala, lubuk Pasaman, lubuk mangga dan lubuk Jorbin yang legendaris itu.  Ditakut takuti sama orang orang tua ada jin penunggu pun, terkadang kami tidak perduli.

Puas kami dengan permainan hari itu, haripun beranjak petang. Magrib segera menyambut, bukaan di rumah sudah menunggu. (bersambung)

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.