Budaya

RAMADHAN DI KAMPUNG KAMI (bagian satu)

Diceritakan Tagor Lubis dari Pojok Kedai Lontong Medan (kenangan masa kecil di Mandailing 1970 – 1980)

 

Ramadhan bulan penuh rahmat,  bulan penuh berkah, serta bulan penuh ampunan. Dan banyak lagi sebutan untuknya.

Dahulu, waktu kami masih kanak kanak, saat saat seperti ini adalah hari hari yang sangat menyenangkan, bagaimana tidak sebentar lagi kami akan menerima raport untuk kenaikan kelas dan vakansi di depan mata selama satu bulan penuh telah pula menunggu.

Tidak main main kawan, satu bulan penuh. Kemudian di penghujung puasa nanti disambut oleh hari raya Idul Fitri. Hari Raya kemenangan tuan guru menyebut. 

Tentang  hari raya di kampung kami, nanti akan kuceritakan pada engkau kawan. 

Aku tahan napas dulu… Kalau ingat hari raya, terasa rinduku makin membuncah, ingat sama ayah yang sudah lama tiada dan mak yang digerogoti usia senja.

Hawa dan angin angin bulan Ramadhan makin terasa. Obrolan tentang hal hal yang membatalkan puasa mengalir dari mulut mulut polos kami. Ada yang bilang menelan ludah pun bisa membatalkan puasa, ada yang bilang kentut dengan suara keras bisa membatalkan puasa, tapi kalau hanya mendesis saja tidak. Guru mana pula yang mengajarkannya.  Entahlah.

Kemudian kawan lain juga tak mau kalah untuk ikut berkomentar,  “tidak boleh marlubuk terlalu lama”, air masuk kedalam telinga juga bisa membatalkan, sok tau.  Pokoknya Seru. Tidak sedikit diantara kami  bertengkar dan berakhir tidak bertegur sapa karena mempertahankan argumen masing masing,  hari raya nanti akan bersalaman dan baikan kembali. Asyiiikkk, berteman kembali.

Ada banyak kegiatan kami di bulan penuh berkah ini. (bersambung)

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.