Dakwah

Ramadhan: Saatnya Mewujudkan Islam Kaffah

solat di hari Ramadan
solat

Ramadhan sudah sepatutnya menjadi momentum penting bagi kaum Muslim untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT dengan cara melaksanakan syariah-Nya secara kâffah (total). Tentu taqarrub itu tidak hanya terkait dengan amal-amal ritual-spiritual, semata seperti ibadah mahdhah dan akhlak, namun juga mencakup amal-amal politik dalam makna mengurusi urusan umat dengan syariah Islam. Islam tidak mempertentangkan antara amal spiritual dan amal politik.

Ramadhan, Spiritual dan Politik

Seiring dengan kedatangan bulan Ramadhan kali ini, ada dua hal yang sangat penting untuk dipahami. Pertama: Islam menolak sekularisme karena Islam bersifat menyeluruh; mengatur semua aspek kehidupan. Sekularisme memisahkan agama (Islam) dari kehidupan publik/negara (fashl ad-dîn ’an ad-dawlah). Sekularisme sebenarnya berakar dari peradaban Barat-Kristen, yang memisahkan agama (Kristen) dari negara. Tentu hal ini tidak sesuai dengan realita syariah Islam.

Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dirinya dan sesamanya. Syariah Islam yang terkait pengaturan manusia dengan Tuhannya (seperti ibadah ritual) dan dirinya sendiri (seperti akhlak) ini bisa dilaksanakan oleh individu. Meski demikian, untuk kesempurnaannya harus ada peran negara di dalamnya. Adapun syariah yang terkait pengaturan hubungan manusia dengan sesamanya (muamalah dan ‘uqûbât/sanksi hukum) harus dilaksanakan oleh negara. Misalnya muamalah yang terkait pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik, keamanan dan sebagainya. Hanya sebagian kecil aktivitas muamalah yang bisa dilaksanakan tanpa peran negara. Syariah Islam yang mengatur masalah ‘uqûbât (sanksi hukum) seperti hukum hudûd, jinâyât, ta’zîr dan mukhâlafât, mutlak harus dilaksanakan oleh negara, tidak boleh dilaksanakan oleh kelompok apalagi individu.

Faktanya, rangkaian proses sekularisasi pemikiran Islam di Indonesia telah berjalan sejak beberapa dekade lalu. Penyebaran ide sekularisme itu berjalan seiring dengan penyebaran ide pluralisme dan liberalisme (kebebasan) serta menjadi bagian penting dari demokratisasi di negeri ini. Perlu dicatat, sekularisasi di negeri ini dan di negeri-negeri Muslim lainnya didukung oleh negara-negara Barat, khususnya AS. Pasalnya, mereka berkepentingan untuk melanggengkan ideologi Kapitalisme di negeri-negeri Muslim, sekaligus menyingkirkan ideologi Islam sebagai rival dan ancaman utamanya.

Karena itu pada bulan Ramadhan ini, selain perlu dibahas masalah ibadah dan akhlak, perlu pula disampaikan dan dikampanyekan secara gencar penerapan syariah Islam yang bersifat menyeluruh. Hal ini sebagai upaya membersihkan pemikiran umat dari ide sekularisme, sekaligus menyelamatkan umat dari bahaya propaganda sekularisme yang bermuara pada kepentingan negara-negara kapitalis, penjajah di negeri-negeri Muslim.

Kedua: Islam tidak memisahkan urusan spritual dengan politik karena keduanya diatur dalam syariah Islam. Politik Islam adalah pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri menurut syariah Islam. Karena itu dalam Islam politik merupakan perkara yang mulia. Politik dilaksanakan oleh negara dan umat. Negara secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis, sedangkan umat mengawasi negara dalam pengaturan tersebut. Pengaturan urusan umat di dalam negeri dilakukan oleh negara dengan menerapkan ideologi Islam dengan syariahnya secara kâffah. Pengaturan urusan umat di luar negeri dilakukan dengan cara mengadakan hubungan dengan berbagai negara, bangsa dan umat lain dalam rangka menyebarluaskan ideologi Islam ke seluruh dunia.

Politik Islam, yakni pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri dengan hukum Islam, tidak dapat dipisahkan dengan aspek ritual-spiritual Islam. Keduanya merupakan satu-kesatuan dalam struktur sistem Islam. Pengertian politik seperti itu disandarkan pada hadis-hadis yang menunjukkan aktivitas penguasa, kewajiban mengoreksi penguasa serta pentingnya mengurus kepentingan kaum Muslim. Politik Islam itu dijalankan langsung oleh para nabi, termasuk Nabi Muhammad saw. Sepeninggal Nabi Muhammad saw., politik Islam secara praktis dijalankan oleh para khalifah. Karena itu realisasi politik Islam pasca Nabi Muhammad saw. itu terkait erat dengan keberadan para khalifah dengan sistem Khilafah, seperti yang tampak sejak masa Khulafaur Rasyidin. Hal itulah yang diisyaratkan oleh Rasul saw. dalam sabdanya:

«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»

Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, dia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Yang ada adalah para khalifah yang banyak (yang datang silih berganti, red.) (HR Muslim).

Itulah pengertian politik yang syar’i karena diambil dari dalil-dalil syariah. Karena itu kaum Muslim semestinya tidak memisahkan urusan spiritual dengan politik Islam. Pemisahan keduanya, selain melanggar syariah, juga akan menjauhkan umat dari upaya penerapan syariah secara kâffah. Menerima sebagian syariah Islam (spiritualitas dan moralitas semata) dan menolak sebagian yang lain (politik, pemerintahan, ekonomi, dan lain-lain) merupakan penyimpangan dari Islam. Ini adalah kebiasaan Bani Israel yang dicela dan diancam oleh Allah SWT, dan tentu kita umat Islam sangat tidak layak melakukan hal yang sama. Allah SWT berfirman:

﴿أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ﴾

Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab (Taurat) dan mengingkari sebagian lainnya? Tidak ada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat (TQS al-Baqarah [2]: 85).

Ramadhan: Momentum Penyadaran Umat

Ramadhan dapat menjadi momentum penting untuk: Pertama, meningkatkan ketakwaan dan ketaatan kepada Allah SWT secara total; dalam aspek ibadah spiritual maupun aspek politik, pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Allah SWT telah menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang sempurna (QS al-Maidah [5]: 3) dan mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia (QS an-Nahl [16: 89). Karena itu tidak ada yang layak untuk mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat kecuali Islam dengan syariahnya. Allah SWT berfirman:

﴿فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ﴾

Jika kalian berlainan pendapat tentang suatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan hari akhir (TQS an-Nisa’ [4]: 59).

Imam Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm menjelaskan bahwa segala perkara yang diperselisihkan oleh manusia, baik perkara pokok (ushûl) maupun cabang (furû’) agama, harus dikembalikan pada al-Quran dan as-Sunnah. Ini sebagaimana juga firman Allah SWT dalam surat asy-Syura ayat 10 (yang artinya): Tentang apapun yang kalian perselisihkan, putusan (hukum)-nya dikembalikan kepada Allah.

Sangat jelas, ayat ini memerintahkan kaum Muslim untuk berhukum pada al-Quran dan as-Sunnah. Artinya, kaum Muslim diperintahkan untuk menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Karena itu ketakwaan harus diwujudkan melalui ketundukan pada syariah Islam secara menyeluruh.

Kedua: Ramadhan seharusnya mampu memperkuat dakwah untuk menegakkan Khilafah Rasyidah sebagai institusi untuk menerapkan syariah secara totalitas tersebut. Sebagaimana diketahui, sejak Khilafah diruntuhkan pada 28 Rajab 1342 H/3 Maret 1924 M oleh Musthafa Kamal at-Taturk, umat Islam kehilangan institusi pelaksana syariah itu. Akibatnya, di negeri-negeri Muslim hukum Islam disingkirkan, digantikan dengan hukum dan undang-undang warisan kafir penjajah.

Ketiadaan Khilafah juga menyebabkan umat ini tidak lagi memiliki institusi pemersatu mereka. Padahal dengan Khilafah umat Islam akan dipersatukan dalam satu negara dan satu kepemimpinan menjadi umat yang kuat.

Ketiadaan Khilafah juga menyebabkan umat ini kehilangan institusi yang melindungi agama, harta dan darah mereka, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

«إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»

Sesungguhnya seorang pemimpian itu laksana perisai; orang-orang berperang di belakang dia dan berlindung kepada dirinya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Karena itu ketiadaan Khilafah ini harus diakhiri dengan jalan menegakkan kembali Khilafah Rasyidah yang akan menerapkan kembali syariah Islam secara menyeluruh. Hal itu merupakan keniscayaan untuk mengakhiri berbagai problem dan keburukan yang diderita umat saat ini dan untuk mengembalikan kejayaan dan kemuliaan ke tangan umat Islam. WalLâh a’lam bi ash-shawâb.

Sumber : Al Islam/HTI

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.