Reinventing Government: Saatnya Pemkab Madina Menjadi Motor Kebangkitan Ekonomi Daerah

Oleh: Irwan Daulay
Pemerhati Pembangunan Daerah
Ekonomi nasional tengah mengalami kelesuan yang serius. Dalam situasi seperti ini, Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal (Madina) harus lebih sigap membaca kondisi perekonomian warganya, kelesuan ekonomi harus segera diantisipasi.
Solusi tercepat tidak sekedar menunggu uluran tangan dari pemerintah pusat, melainkan dengan menciptakan produktivitas dan ekspansi pasar baru di tingkat lokal dan regional. Sudah saatnya pemerintah daerah menempatkan diri sebagai motor penggerak ekonomi—bukan sekadar administrator anggaran. Inilah semangat Reinventing Government—sebuah konsep pemerintahan yang berjiwa wirausaha, adaptif, dan proaktif dalam membangkitkan ekonomi rakyat.
Pertama, bangun ekosistem kolaboratif. Undang seluruh pelaku usaha—besar maupun kecil—untuk duduk satu meja bersama pemerintah daerah dan kalangan perbankan. Tanyakan pertanyaan paling mendasar: apa yang bisa kita lakukan bersama untuk meningkatkan kapasitas produksi dan menciptakan pasar baru bagi komoditas Madina? Pemerintah harus tampil sebagai fasilitator dan akselerator pertumbuhan.
Kedua, libatkan para profesional untuk merancang skema yang membuat Dana Desa (DD) benar-benar berdampak. DD tidak boleh lagi menjadi bancakan para mafia proyek kelas teri. Dana tersebut harus menjadi modal produktif yang menggeliatkan ekonomi desa dan mendorong tumbuhnya usaha rakyat. Tidak boleh ada lagi DD yang habis tanpa nilai tambah bagi perekonomian desa secara luas.
Ketiga, ciptakan proyek-proyek investasi yang berdampak cepat—terutama yang bersifat padat karya dan membuka lapangan kerja baru. Dorong pengusaha lokal untuk urunan modal dengan jaminan dukungan dari pemkab. Libatkan mereka dalam skema bisnis yang transparan dan menguntungkan. Bupati harus menjadi juru bicara utama dalam mempromosikan komoditas unggulan Madina, baik ke luar negeri maupun ke kabupaten sekitar. Apalagi bupatinya memiliki kemampuan komunikasi internasional dan jejaring yang luas—manfaatkan untuk menjual potensi Madina.
Keempat, rampingkan struktur OPD. Salurkan energi ASN untuk fokus membangkitkan ekonomi, sembari terus meningkatkan kualitas pelayanan publik. Instruksikan para kadis, camat, hingga kepala desa dan lurah untuk bertindak sebagai CEO dan manajer usaha wilayah masing-masing. Mereka harus menjadi motor penggerak unit usaha produktif dan penjaga ekspansi pasar. Seluruh birokrasi harus mulai berpikir layaknya pelaku usaha: efisien, cepat, dan berorientasi hasil.
Kelima, ubah cara pandang terhadap APBD. Anggaran sekitar Rp2 triliun bukanlah sekadar uang belanja tahunan yang harus dihabiskan, tetapi modal investasi daerah. Harus ada kalkulasi bisnis di balik setiap alokasi anggaran: berapa ROI-nya? Apa dampaknya bagi pendapatan pemkab? Apa efek ganda (multiplier effect)-nya bagi sektor swasta dan rumah tangga? Setiap rupiah harus bekerja dan memberi hasil nyata bagi pertumbuhan ekonomi.
Sudah saatnya pemerintah daerah fokus mengejar target pertumbuhan ekonomi yang ambisius: 8 persen. Ini mungkin terdengar tinggi, tetapi bukan mustahil jika seluruh jajaran pemerintah benar-benar fokus, disiplin, dan berpikir inovatif. Setiap hari, bupati dan jajarannya harus berbicara soal bisnis, investasi, ekspansi pasar, dan pertumbuhan ekonomi. Dalam pendekatan ini, bupati bukan lagi sekadar pemimpin birokrasi tapi sekaligus pemimpin bisnis daerah—seorang chief economic officer yang menuntun daerahnya menuju lompatan baru.
Jika langkah-langkah ini dijalankan secara konsisten dan serius, saya yakin dalam dua hingga tiga tahun ke depan wajah ekonomi Madina akan berubah drastis: dari konsumtif menjadi produktif, dari birokratis menjadi interpreneurship.
Kebangkitan Madina bukan lagi sekadar wacana. Ia tinggal selangkah lagi: keberanian untuk mengubah mindset dan bergerak dengan lompatan-lompatan strategis adalah faktor determinan-nya.**
