Artikel

Relevansi dan Vitalitas Marga Mandailing Dalam Figur Ideal Calon Bupati Madina (1)

 

Catatan: Muhammad Ludfan Nasution

 Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

 

Ketika dialog tentang Pilkada Madina 2016 di media sosial, mengemuka pra-wacana tentang kriteria Calon Bupati Madina. Salah satu dan yang pertama saya tawarkan adalah kriteria Marga Mandailing. Banyak juga komentar yang masuk.

Salah satu tanggapan bernada proters terhadap gagasan kriteria itu datang dari teman fb bernama @Zul Mardongan Fikar. Sayang, saya tidak sempat memberikan argumentasi yang cukup. Dalam kesempatan itu saya sampaikan, sekilas kriteria yang saya tawarkan hanya menguntungkan tokoh-tokoh ber-marga Mandailing.

Maka saya tuliskan di situ: "Tapi, sama sekali ini bukan primordialisme. Sebenarnya kita meminta pertanggungjawaban sosio-kultural dari setiap mereka yang mewarisi marga. Jadi, jangan cuma enaknya memakai marga."

Lebih dari itu, saya juga tegaskan dalam media sosial itu, bahwa menjadi bupati/wakil bupati itu bukanlah pekerjaan yang enak, apalagi berlaku seenaknya. Maka, di sini juga saya tanyakan: apakah argumentasi saya logis, masuk akal dan bisa diterima?

Bukan Primordialisme

Sekali lagi, saya tandaskan, kriteria marga ini bukan primordialisme, etnosentrisme atau agoisme kultural. Jadi, mohon maaf, yang kebetulan tak bermarga Mandailing sebaiknya tahan diri dulu atau ambil sikap 'tau diri' dulu. Biarkan mereka yang hari ini mewarisi marga secara genetik (darah) tampil dengan sikap bertanggungjawab untuk memperbaiki (pature) Madina ini.

Santabi sapulu maradopkon mora, kahanggi, anak boru umumna koum sasudena di group fb #Merbas Batang Gadis pembaca Malintang Pos dan umumnya masyarakat Mandailing Natal, baik yang berdomisi di dalam maupun di luar Madina.

Manjelang detik-detik menegangkan dan mendebarkan Pilkada Madina 2015 ini, kami meminta sedikit perhatian. Get memangkal argumentasi, yang nantinya mungkin saja bisa diterima atau ditolak, tentang relevansi marga dalam kriteria figur ideal Calon Bupati Madina periode 2016-2021.

Dalam kalkulasi antropologis, mengedepankan persyaratan Marga Mandailing sebagai satu dari sekian kriteria figur yang dimiliki Calon Bupati atau Wakil Bupati merupakan patokan yang sangat signifikan. Malah, anggo adong halakna, dungi antong anggo bisa, itu termasuk tokoh na marasal sian kalangan harajaon, keturunan ni raja-raja Mandailing Godang do.

Mengapa? Mengapa harus yang berkualifikasi marga/harajaon? Ini pertanyaan mutlak. Mamang harus ada dasar dan alur logika yang sehat di balik tesis yang terkesan sangat-sangat konservatif dan ortodok ini.

Apa pun definisinya, konsep marga merujuk pada pengertian marga dalam bahasa ibu masyarakat Mandailing.

Dalih Konservatif

Tentu saja, ada alur cerita dan logika dari tesis ini. Beberapa dalih berikut dapat menguraikannya, yaitu:

1. Wujud Madina saat ini, setelah berusia 16 tahun, sangat absurd. Selain karena banyak pihak yang bersikap seolah tak mampu lagi memperbaiki keadaan, sebahagian kalangan justeru seperti sepakat untuk memancing di air keruh, menggunting dalam lipatan, karena menganggap Madina kini seperti benang kusut, sudah tak dapat diperbaiki lagi, sudah seperti menegakkan benang basah dan merasa lebih baik paoto-otohon ketimbang dipaoto-oto.

2. Banyak pihak yang terlibat langsung dalam pergumulan ide, obsesi dan emosi hingga Madina saat ini memiliki karakteristik yang mengerikan, rancak di labu tapi di dalamnya seperti benang kusut. Sebut saja beberap pihak di antaranya: kepala daerah, partai politik (parpol), birokrasi, pengusaha, ormas, lembaga swadaya masyarakat (LSM), wartawan dan lain-lain yang secara signifikan dan formal punya peran dalam geliat glamor perjalanan 16 tahun Madina ini. (bersambung)

 

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.