Berita Nasional

SBY salah membuat kebijakan

sby

JAKARTA – Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengevaluasi periode kedua kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

JK menilai, Presiden SBY telah membuat kebijakan yang tidak tepat membentuk sekretariat gabungan (setgab) parpol koalisi. “Sekarang ini pemerintah dengan sadar membuat oposisi, dengan sadar, karena membikin Setgab. Setgab itu ya partai pemerintah, di luar Setgab ialah oposisi,” kata JK.

JK menilai Setgab hanya sebagai alat yang semakin mempersulit pemerintah menetapkan kebijakan publik. Salah satunya kebijakan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Pemerintah gagal menaikkan harga BBM bersubsidi tahun ini, sementara dalam pemerintahan periode lalu, pemerintah mampu menaikkan harga BBM subsidi 125 persen tanpa menimbulkan protes keras.

JK menuturkan bagaimana dia mampu melobi dan meyakinkan DPR agar mau menyetujui penaikan harga BBM tanpa haru membentuk setgab. “Yang pertama saya telepon adalah PDIP, boleh dicek pada saat pemerintah ingin menaikkan harga BBM 125 persen, tertinggi di dunia dan tertinggi di Indonesia, kenapa aman? Saya telepon Emir Moeis, saya loud speaker dalam rapat kabinet.”

“Kita mau naikkin BBM nih, tapi agak tinggi, tapi kalau tidak malah bahaya nantinya, ah naikkan aja bos katanya gitu, tinggi-tinggi juga tidak apa-apa. Bener nih? Jadi PDIP tidak marah yah? Ah tidak, tenang saja Bos. Beres kan? Beres,” kata JK menceritakan.

Lebih jauh JK menilai, pemerintah tidak perlu membawa persoalan kenaikan harga BBM subsidi ke parlemen. Menurut Jk, kenaikan harga tidak harus didebatkan di DPR. “Ini kan harga, DPR kan tidak bicara harga, tapi bicara anggaran, tentukan konsumsinya sekian, katakanlah Rp100 triliun, kan musti taat, terkecuali kalau anda katakan subsidi dinaikkan, kalo tidak semuanya naik, kalau gitu kan harus kita naikkan, lalu anda pun tidak boleh marah, karena ini tidak perlu persetujuan DPR,” kata JK.

Hal senada juga dilontarkan Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Bachtiar Effendi.

Dikatakan, pengorganisasian partai-partai yang berkoalisi ke dalam sekretariat gabungan dimaksudkan agar kekuatan politik yang dominan mudah diorganisasi. Namun upaya ini gagal untuk mewujudkan kekuatan politik dominan yang bisa memerintah secara efektif.

“Alih-alih dimaksudkan untuk membangun agenda pemerintahan bersama, koalisi justru hanya ingin digunakan untuk mencari dukungan mayoritas di parlemen. Karena bertumpu pada sistem presidensial, tetap saja yang menjadi penentu kebijakan adalah presiden,” katanya.

Dalam sistem ini, kebijakan atau agenda pemerintahan tidak pernah menjadi sesuatu yang digagas, dirumuskan, dan dilaksanakan bersama oleh koalisi. Kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) misalnya, tetap saja hal itu merupakan inisiatif presiden yang belum tentu disetujui atau didukung oleh partai-partai yang tergabung dalam koalisi.

Menurut Bachtiar, kesalahan paling elementer dari penggagas koalisi ini adalah bahwa sistem presidensial tidak mengenal koalisi. Pemerintahan presidensial hanya akan berjalan efektif jika jumlah partai terbatas—misal dua partai seperti di Amerika Serikat. Dengan jumlah partai yang sedikit itu, kemungkinan menghadirkan kekuatan politik yang dominan lebih besar.

Sebenarnya ide untuk membangun koalisi sebagaimana disinggung di atas bukanlah sesuatu yang serta merta jelek. Akan tetapi, koalisi mengesankan sesuatu yang dipaksakan secara maksimal sehingga menjadi sulit dikelola.

“Jika saja pemerintahan puas dengan koalisi mayoritas sederhana (50 persen plus), tidak bakal banyak partai yang bakal diajak bergabung. Dapat dipastikan, pilihan ini akan lebih mudah untuk dikekola,” kata Bachtiar.

Langkah seperti ini, membangun koalisi mayoritas sederhana di dalam sistem presidensial dengan banyak partai, mungkin saja bisa mengatasi diskordansi yang terjadi. Akan tetapi, hal itu harus dianggap sebagai jalan keluar yang bersifat sementara.

“Pembangunan politik hendaknya tetap diarahkan pada pengurangan jumlah partai, kecuali kita bersedia beralih pada sistem pemerintahan parlementer,” tuturnya.(kompas)

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.