Budaya

Sekilas Budaya Mandailing (Bagian 1)

 

Oleh: Z Pangduan Lubis (in memoriam)

EKSISTENSI masyarakat Mandailing sebagai suku-bangsa atau kelompok etnis ditandai dan dikukuhkan oleh kenyataan bahwa masyarakat Mandailing memiliki kebudayaannya sendiri, yang di dalamnya termasuk bahasa, sehingga mereka dapat dibedakan dari suku-bangsa lain di Indonesia. Di samping itu warga masyarakat Mandailing juga menyadari adanya identitas dan kesatuan kebudayaan mereka sendiri yang membuat mereka (merasa) berbeda dari warga masyarakat yang lain.

Secara historis, eksistensi suku-bangsa Mandailing didukung oleh kenyataan dengan disebutnya nama Mandailing dalam Kitab Nagarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada abad ke-14 (1365). Kitab tersebut berisi keterangan mengenai sejarah Kerajaan Majapahit. Menurut Prof. Slamet Mulyana (1979:9), Kitab Negarakertagama adalah sebuah karya paduan sejarah dan sastra yang bermutu tinggi dari zaman Majapahit. Dalam Pupuh XIII, nama Mandailing bersama nama banyak negeri di Sumatera dituliskan oleh Mpu Prapanca sebagai “negara bawahan” Kerajaan Majapahit sebagai berikut: ”Lwir ning nuasa pranusa pramuka sakahawat kaoni ri Malayu/ning Jambi mwang Palembang i Teba len Darmmacraya tumut/Kandis, Kahwas Manangkabwa ri Siyak i Rekan Kampar mwang Pane/Kampe Haru athawa Mandahiling i Tumihang Perlak mwang i Barat”.

Memang, tidak ada keterangan lain mengenai Mandailing kecuali sebagai salah satu “negara bawahan” Kerajaan Majapahit. Namun demikian, dengan dituliskannya nama Mandailing terdapatlah bukti sejarah yang otentik bahwa pada abad ke-14 telah diakui keberadaannya sebagai salah satu “negara bawahan” Kerajaan Majapahit. Pengertian ”negara bawahan” dalam hal ini tidak jelas artinya karena tidak ada keterangan berikutnya.

Dengan demikian boleh dikatakan bahwa ”Negeri Mandailing” sudah ada sebelum abad ke-14. Karena sebelum keberadaannya dicatat tentunya Mandailing sudah terlebih dahulu ada. Kapan Negeri Mandailing mulai berdiri tidak diketahui secara persis. Tetapi karena nama Mandailing dalam kitab ini disebut-sebut bersama nama banyak negeri di Sumatera termasuk Pane dan Padang Lawas, kemungkinan sekali negeri Mandailing sudah mulai ada pada abad ke-5 atau sebelumya. Karena Kerajaan Pane sudah disebut-sebut dalam catatan Cina pada abad ke-6. Dugaan yang demikian ini dapat dihubungkan dengan bukti sejarah berupa reruntuhan candi yang terdapat di Simangambat dekat Siabu. Candi tersebut adalah Candi Siwa yang dibangun sekitar abad ke-8.

Orang Mandailing adalah salah satu dari sekian ratus suku-bangsa penduduk asli Indonesia. Dari zaman dahulu sampai sekarang orang Mandailing secara turun-temurun mendiami wilayah etnisnya sendiri yang terletak di Kabupaten Mandailing-Natal (Madina), Provinsi Sumatra Utara. Menurut tradisi orang Mandailing menamakan wilayah etnisnya sebagai Tano Rura Mandailing yang artinya “tanah lembah Mandailing”. Namun namanya yang populer sekarang ialah Mandailing, sama dengan nama suku-bangsa yang mendiaminya. Secara tradisional wilayah etnis Mandailing terdiri dari dua bagian, yaitu Mandailiang Godang (”Mandailing Besar”) berada di bagian utara, dan Mandailing Julu (”Mandailing Hulu”) berada di bagian selatan yang berbatasan dengan daerah Provinsi Sumatra Barat.

Suku-bangsa Mandailing merupakan masyarakat agraris yang patrilineal. Sebagian besar warganya bertempat tinggal di daerah pendesaan dan hidup sebagai petani dengan mengolah sawah dan mengerjakan kebun karet, kopi, kulit manis, dan sebagainya. Sampai pada masa pemerintahan kolonial Belanda, penduduk di kawasan Mandailing Godang dipimpin oleh raja-raja dari marga (clan) Nasution, sedangkan penduduk di kawasan Mandailing Julu dipimpin oleh raja-raja dari marga Lubis. Pada masa itu, di kedua kawasan tersebut terdapat banyak kerajaan tradisional yang kecil-kecil berupa komunitas yang dinamakan Huta atau Banua, yang masing-masing mempunyai kesatuan teritorial dan pemerintahan otonom.

Meskipun sudah banyak terjadi perubahan, tetapi sampai saat ini, dalam struktur masyarakat Mandailing yang patrilineal tersebut terdapat kelompok-kelompok kekerabatan yang dibentuk berdasarkan hubungan darah (blood ties) dan hubungan perkawinan (affinial ties). Kelompok kekerabatan yang dibentuk berdasarkan hubungan darah, oleh orang Mandailing dinamakan marga (clan). Hubungan kekerabatan (kinship) antara orang-orang Mandailing dalam ”satu marga” disebut kahanggi (abang-adik).

Adapun nama marga di Mandailing antara lain Nasution, Lubis, Pulungan, Rangkuti, Parinduri, Daulae, Mardia, Batubara, dan Tanjung. Sedangkan kelompok kekerabatan yang dibentuk berdasarkan hubungan perkawinan (affinal ties) terdiri dari dua bagian, yaitu kelompok kerabat pemberi anak gadis dalam perkawinan (bride giver) yang dinamakan mora, dan kelompok kerabat penerima anak gadis (bride receiver) yang dinamakan anak boru. Dengan demikian dalam masyarakat Mandailing terdapat tiga kelompok kekerabatan (kingrous), yaitu mora, kahanggi dan anak boru.

Ketiga kelompok kekerabatan tersebut digunakan oleh masyarakat Mandailing sebagai komponen tumpuan untuk sistem sosialnya yang dinamakan Dalian Natolu (”tumpuan yang tiga”). Sistem sosial yang dinamakan Dalian Natolu berfungsi sebagai mekanisme untuk melaksanakan adat dalam kehidupan masyarakat Mandailing. Perwujudan pelaksanaan adat yang menggunakan sistem sosial Dalian Natolu sebagai mekanismenya dapat dilihat pada waktu penyelenggaraan upacara adat. Dalam masyarakat Mandailing suatu upacara adat hanya dapat diselengarakan jika didukung bersama oleh mora, kahanggi dan anak boru yang berfungsi sebagai tumpuan atau komponen sistem sosial Dalian Natolu. Kalau salah satu di antaranya tidak ikut mendukung, maka dengan sendirinya upacara adat tidak boleh atau tidak dapat diselenggarakan.

Dasar dari adat Dalian Natolu sebagai pranata hidup masyarakat Mandailing ialah olong (cinta dan kasih sayang) dan domu (keakraban). Adanya olong antara sesama manusia kemudian melahirkan domu antara satu sama lain. Terwujudnya domu antara sesama manusia Mandailing membuktikan bahwa mereka hidup dengan olong. Untuk membuat olong dan domu menjelma atau terwujud dalam kehidupan masyarakat Mandailing, maka diciptakan adat yang dilandasi oleh patik (ketentuan-ketentuan dasar atau komandemen). Adat diisi dengan uhum (kaidah-kaidah dan hukum). Dalam kehidupan masyarakat Mandailing, adat harus dijalankan menurut ugari (tata cara pelaksanaan adat) dengan menggunakan sistem sosial Dalian Natolu sebagai mekanismenya.

Untuk membuat aktivitas kehidupan masyarakat berjalan teratur seperti yang dikehendaki oleh adat sebagai penjelmaan olong, maka pada masa lalu di setiap komunitas huta terdapat satu lembaga yang menjalankan pemerintahan. Dalam lembaga pemerintahan tersebut duduk tokoh-tokoh pemimpin tradisional yang dinamakan Namora Natoras dengan dikepalai oleh seorang yang berstatus Raja Panusunan Bulung atau Raja Pamasuk. Raja Panusunan Bulung merupakan kepala pemerintahan di Huta induk (mother village), sedangkan Raja Pamusuk merupakan kepala pemerintahan di Huta yang merupakan pengembangan dari suatu Huta induk. Satu Huta induk dengan sejumlah Huta yang merupakan “anak” atau pengembangannya berada dalam satu ”ikatan adat” yang dinamakan Janjian. Begitupun masing-masing huta menjalankan pemerintahan secara otonom, dan pemerintahan dijalankan secara demokratis dalam arti segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan pemerintahan dalam suatu huta hanya dapat dilaksanakan setelah disetujui berdasarkan mufakat oleh Namora Natoras yang duduk dalam lembaga pemerintahan secara representatif dari penduduk huta. Dan raja sebagai kepala pemerintahan tidak memiliki wewenang atau otoritas untuk berbuat sesuka hati dalam hal pemerintahan tanpa persetujuan Namora Natoras.

Sidang-sidang untuk urusan pemerintahan, urusan sosial dan pengadilan di satu huta diselenggarakan di Balai Adat yang dinamakan Sopo Sio Rancang Magodang atau Sopo Godang yang bangunannya terletak berdekatan dengan istana raja yang dinamakan Sopo Sio Dalom Magodang atau Bagas Godang. Adanya Bagas Godang dan Sopo Godang di satu tempat pemukiman masyarakat Mandailing, menandakan bahwa tempat pemukiman itu merupakan satu huta atau banua yang berstatus sebagai kerajaan dengan pemerintahan yang otonom.

Pada masa pemeritahan kolonial Belanda, pemerintahan tradisional Mandailing yang semula dijalankan secara demokratis, sedikit demi sedikit mulai kehilangan sifatnya yang demokratis, karena dengan kekuasaannya yang kolonialistis para penguasa Belanda menjadikan Raja Panusunan Bulang dan Raja Pamusuk sebagai alat pemerintah kolonial untuk menindas penduduk dengan pengutipan belasting (pajak) dan pelaksanaan rodi (kerja paksa).

Untuk itu penguasa kolonial memberi mereka “gaji” dan memperbesarkan kekuasaan dan hak-hak mereka, serta mengangkat Raja Panusunan Bulung menjadi Kepala Kuria dan Raja Pamusuk menjadi Kepala Kampung. Pada akhirnya raja-raja yang semula tunduk kepada kedaulatan rakyat yang diwakili oleh Namora Natoras yang duduk dalam lembaga pemerintahan, berubah menjadi raja-raja feodalistis yang memaksakan kehendaknya kepada rakyat dengan menggunakan dukungan pemerintah kolonial Belanda. (bersambung ke bagian 2)

Almarhum Z. Pangaduan Lubis adalah budayawan, sastrawan dan pengarang yang semasa hidupnya menetap di kota Medan. Pensiunan PNS RRI dan Dosen Luar Biasa Universitas Sumatera Utara (USU).

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.