Artikel

Selamat Datang Caleg Baru

 

Dampak Pemilu grafis (kiri). Akhiruddin Matondang (kanan)

Catatan : AKHIRUDDIN MATONDANG

“Hari Gini Kalau Ada Orang yang Nggak Kamu Kenal, Tapi Tiba-Tiba Begitu Ramah, Waspadalah…90 % Dipastikan Kalo Dia Adalah Caleg.”

Meme seperti kalimat di atas belakangan sering tampak di medsos, terutama facebook dan grup-grup whatsapp (WAG). Tidak itu saja, wajah medsos dalam sebulan terakhir diramaikan foto-foto para bakal calon anggota legislatif (bacaleg) Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.

Para bacaleg memposting foto dibarengi permohonan doa serta minta dukungan dari komunitas dunia maya agar pada Pemilu 2019 nanti mereka terpilih jadi anggota dewan. Sebagian nama di antaranya selama ini tidak aktif di dunia maya, namun jelang pendaftaran bacaleg di KPU (Komisi Pemilihan Umum) mereka mulai menampakkan diri..

Apa yang dilakukan bacaleg (selanjutnya disebut caleg) merupakan bagian dari sosialisasi tahap awal terhadap masyarakat. Paling tidak sekadar memberi tahu mereka ikut daftar sebagai calon anggota DPRD Madina dari salah satu partai kontestan pemilu.

Sosialisasi lewat medsos memang tergolong murah, tapi apakah efektif untuk mendulang suara? Semua tergantung kepandaian caleg memanfaatkan jejaring sosial menarik simpatik kaum mellenial.

Ada juga caleg yang sudah memasang spanduk di tempat-tempat strategis, misalnya bertuliskan, “Selamat Jalan Rombongan Jemaah Haji Kabupaten Mandailing Natal, Semoga Jadi Haji Mabrur”. Tentu sah-sah saja, juga dalam rangka meraih simpatik masyarakat. Bisa juga sekadar memanfaatkan momentum memperkenalkan nama serta wajah terhadap masyarakat.

Tapi sejauh mana dampak pemasangan spanduk itu terhadap perolehan suara di TPS (tempat pemungutan suara), nanti coba kita bedah sebagai bahan masukan bagi para caleg.

Sebelum melanjutkan tulisan ini, terlebih dulu saya menyampaikan, selamat datang bagi para caleg baru pada Pemilu 2019. Selamat berjuang, selamat mencari simpatik masyarakat, selamat beradu figur, selamat menjual visi-misi atau program terhadap masyarakat, dan selamat adu keberuntungan dengan caleg lain di dapil anda.

Caleg baru di sini maksudnya, mereka yang baru kali pertama ikut terdaftar sebagai calon anggota dewan, khususnya di Madina.

Jika kita amati nama-nama caleg yang muncul tengah masyarakat, terlihat banyak wajah-wajah baru dari kalangan kaum muda. Mereka berumur sekitar 40-an tahun. Ada juga usia di atas 55-an tahun, tapi jumlahnya tidak banyak.

Dengan potret itu, paling tidak dari segi usia, konstituen disuguhkan aneka alternatif pilihan. Termasuk kembalinya “naik panggung” nama-nama lama yang sudah pernah duduk di dewan dan para petahana yang sekarang duduk di DPRD Madina. Karena hampir semua “incumbent” ikut lagi berkompetisi pada Pemilu 2019.

Para caleg baru harus sejak dini mempersiapkan diri secara psikologis. Diperlukan mental kuat, tangguh dan memiliki jiwa petarung sejati . Jika itu belum dipunyai, lebih baik urungkan langkah sebelum penyesalan itu tiba. Tidak menutup kemungkinan jiwa anda terganggu akibat harapan dan impian tidak sesuai kenyataan. Apalagi uang habis, harta dijual, hutang menumpuk, berpadu dengan rasa malu akibat kekalahan itu.

Seorang caleg tidak boleh terlalu yakin atau terlalu berhayal menang. Tidak terbuai dukungan yang datang dari keluarga, sahabat, tetangga, komunitas masyarakat, dan sebagainya. Bisa jadi dukungan, doa serta suport yang mereka berikan hanya basa-basi. Sebab kalimat dukungan serupa juga bisa mereka sampaikan terhadap kontestan lain.

Seorang caleg sejak awal perlu menanamkan jiwa ksatria dalam diri masing-masing, yaitu siap kalah. Ini berat, sebab biasanya mereka terlalu yakin bakal meraih satu di antara kuota kursi dalam satu dapil sehingga tidak terpikirkan soal kekalahan. Lazimnya, yang ada dibenak hanya kemenangan. Apalagi merasa sudah melakukan berbagai cara dalam bersosialisasi terhadap warga. Bahkan, sudah mengabulkan aneka permintaan masyarakat.

Wahai para caleg, sejak niat ikut “nyaleg” tertanam dalam diri anda, dilanjutkan persiapan berkas persyaratan, sejatinya sudah siap segala-galanya, termasuk keuangan. Sedikit banyaknya, mau tidak mau, suka tidak suka, kemampuan keuangan caleg turut menentukan untuk meraih kesuksesan.

Inilah yang namanya “cost politic”. Memang “fulus” tidak segal-galanya, tapi harus ada. Sebagai contoh, mengurus persyaratan saja sudah mengeluarkan dana tidak sedikit.
Karena itu, caleg mesti ada ada sikap. Hanya sekadar ikut-ikutan cari pengalaman, memenuhi kuota saja (terutama perempuan), atau ingin serius bertarung. Jika alasan sekadar cari pengalaman, hendaknya anda “ngerem” diri. Jangan terlalu latah, sebab tanpa terasa nanti hutang numpuk, sementara anda cuma terbuai PHP (perhatian hanya palsu) dari masyarakat.

Kalau keterlibatan caleg sekadar memenuhi jumlah kuota kursi, atau agar kuota perempuan terpenuhi, maka langkah selanjutnya terpulang terhadap si caleg. Jika merasa siap (mental dan dana) dan yakin, teruslah berjuang. Kalau tidak, lebih baik “tidur” sebelum perolehan suara anda secara keseluruhan tidak sesuai harapan.

Ini bukan melemahkan semangat anda, namun bicara logis. Karena secara garis besar ada dua poin kegiatan sosialisasi yang harus mengeluarkan uang, pertama: pengadaan alat peraga untuk sosialasi. Kedua, uang saku dalam menunjang aktifitas sosialiasi tersebut.

Pengadaan Alat Peraga

Pengadaan alat peraga biasanya menjadi tanggung jawab si caleg. Kita bisa lihat pada Nopember dan dan Desember 2018 nanti, kalender pemilu bertaburan dimana-mana. Hampir setiap rumah ada almanak bergambar partai serta caleg, bahkan bisa dua-tiga kalender di satu “gubuk” dengan foto dan partai berbeda dalam rumah itu.

Pun hampir setiap sudut jalan raya berdiri baliho. Batang-batang pohon di tepi jalan menempel banner. Rumah, warung-warung, tiang listrik dan lainnya dihiasi stiker. Ramainya warga pakai kaos caleg menambah semarak suasana jelang pesta demokrasi. Ada warga yang punya koleksi kaos caleg tiga sampai lima potong.

Berapa banyak kebutuhan alat peraga seorang caleg kabupaten/kota, tentu tidak bisa diperkirakan. Hanya saja, caleg harus pandai-pandai mendistribusikan logistik yang ada agar manfaat dan fungsinya bisa optimal dalam meningkatkan popularitas , khususnya di dapilnya.

Bagi caleg yang terdaftar di partai baru, tentu beban sosialisasi bertambah, yaitu memperkenalkan partai dengan konstituen. Biasanya masyarakat melihat figur pimpinan partai di pusat, tapi ini juga tidak jaminan. Partai Bintang Reformasi (PBR), kala dipimpin dai sejuta umat Zainuddin MZ., ternyata tidak mendapatkan suara signifikan. Demikian juga Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra, perolehan suaranya biasa-biasa saja.

Dalam kaitan ini, sebenarnya caleg kabupaten/kota bisa meminimalisir biaya cetak alat peraga dengan menggandeng caleg propinsi atau DPR RI. Teknisnya, foto caleg daerah tingkat dua bersanding dengan gambar caleg propinsi atau pusat di setiap alat peraga, misalnya, stiker, banner, baliho, kartu nama, atau kalender.

Biaya cetak alat peraga jadi tanggung jawab caleg level lebih tinggi. Konsekuensinya, caleg kabupaten/kota punya tanggung jawab menyebarkannya. Dengan strategi ini bukan berarti caleg tingkat dua tidak mengeluarkan dana. Pada saat hendak memasang baliho atau banner, harus beli paku, kayu/bambu, dan (jika perlu) upah tukang.

Si caleg tentu tidak mungkin jalan sendiri. Idealnya ia bawa tim sukses (TS) atau teman. Berarti harus ada persiapan uang rokok, makan, “ngopi” dan terkadang bertemu warga harus dikasih “uang rokok” atau “uang pulsa”.

Itulah gambaran sekilas soal keperluan alat peraga. Tanpa alat sosialisasi, masyarakat bisa tidak tahu kalau anda terdaftar sebagai caleg. Jika sosialisasi hanya secara lisan dengan menyebutkan nama, nomor urut caleg, serta partai anda, tentu sangat tidak efektif. Apalagi pemilu masih lama.

Jika pemilih tidak tahu anda sebagai caleg, bagaimana mereka mau memilih. Sehingga perlu kerja keras melakukan sosialisasi, tidak kenal waktu: pagi, siang atau malam. Harus keliling melakukan silaturrahmi dengan warga, sekalipun tempat tinggalnya jauh dari pusat desa.

Hari-hari caleg tidak boleh luput dari tebar pesona dan pencitraan. Biarlah rakyat yang menilai pribadi anda. Karena pada prinsipnya, masyarakat menjatuhkan pilihan untuk caleg kabupaten/kota tidak begitu melihat partainya, tapi figur si caleg.

Setiap kali anda meminta doa dan dukungan terhadap siapa pun, biasanya mereka akan jawab, misalnya, “insyaallah”, “siap ketua, kita dukung”, “Tenang join, hami dukung”, dan sebagainya. Kalimat itu tidak boleh ditelan mentah-mentah. Sebab, jika caleg lain juga minta dukungan terhadap orang tersebut, jawaban yang sama juga diucapkannya.

Karena itu, pendekatan serta silaturrahmi harus terus dilakukan sampai hari H pemilu. Memang perlu perjuangan, apalagi anda bersaing merebut suara rakyat dengan caleg yang tidak menutup kemungkinan menghalalkan segala cara.

Soal nomor urut caleg. Pemilu legislatif menganut sistem perolehan suara terbanyak. Setelah partai dinyatakan mendapatkan kursi di suatu dapil, maka siapa yang duduk, dilihat dari jumlah perolehan suara caleg di partai tersebut. Contoh, jika partai “Sambal Tuk-tuk” dapat dua kursi, sesuai kuota suara yang ditentukan, maka yang berhak memperoleh kursi itu adalah dua caleg peraih suara terbanyak dari partai “Sambal Tuk-tuk”.

Pertanyaan yang sering muncul, yaitu apakah caleg nomor urut 1 punya peluang lebih besar untuk jadi. Belum tentu. Caleg nomor 1 hanya punya keuntungan lebih mudah sosialisasinya. Misalnya, tinggal mengatakan, “Lihat logo partai “Sambal Tuk-tuk”, dibawahnya ada nama saya di urutan nomor satu, nah coblos nama saya itu. Nyarinya kan mudah.

Uang Saku Sosialissasi

Uang saku sosialisasi di sini bukanlah praktik politik uang yang sesungguhnya. Tetapi dana yang dibutuhkan untuk keperluan operasional sehari-hari sejak anda berniat jadi caleg sampai pemilu tiba. Postingan meme pada pembuka tulisan ini bagian dari tebar pesona. Tebar pesona dalam arti sesungguhnya adalah mengambil simpatik masyarakat. Tentu anda tidak perlu masuk got, sebab atraksi itu sudah basi. Sandiwara itu sudah menjijikkan.

Lalu apa yang dilakukan. Seorang caleg harus banyak cara dalam rangka mengambil simpatik masyarakat. Bisa dengan senyum, tegur sapa, bayar kopi warga yang sedang di “lopo”, sumbangan keperluan olah raga, atau alat musik bagi kelompok pemuda maupun paguyuban seni dan budaya di suatu kampung.

Dalam praktiknya harus dikemas secara apik agar kegiatan “bagi-bagi” itu tidak terjerat politik uang. Jangan sampai pemberian atau sumbangan caleg dibarengi permintaan untuk dipilih atau tidak dipilih pada pemilu. Inilah dilemanya.

Sudah banyak contoh, sumbangan caleg di suatu tempat tidak sebanding dengan suara yang didapatkan di TPS daerah itu. Pada pemilu-pemilu lalu, banyak cerita tentang fenomena “alam” ini. Akibat perolehan suara tak sesuai dengan pemberian terhadap warga, misalnya: dandang, taratak, dan lainnya, pasca pemilu si caleg pun “menarik” lagi barang-barang yang sudah diberi tersebut.

Pada masa tenang sebelum pencoblosan, seorang caleg bertemu tokoh agama di suatu desa. Sang tokoh memang tidak menyebutkan akan bisa menyumbang suara dengan jumlah tertentu, tapi si caleg merasa dengan sumbangan Rp 5 juta untuk fasilitas ibadah di lingkungan itu, ia akan dapat suara siginifikan.

Begitu penghitungan suara, si caleg hanya dapat tidak lebih dari 10 suara. Makin menjengkelkan lagi, karena caleg itu gagal meraih kursi dewan. Sempat terpikir mau ambil lagi uangnya, namun ia ingat tidak ada kesepakatan soal perolehan suara. Ikrarnya hanya menyumbang tempat ibadah. Akhirnya caleg hanya mengelus dada, pasrah.

Seorang caleg harus mengantongi uang jika hendak keluar rumah. Jika masuk “lopo” sangat janggal jika anda tidak membayar kopi dan jajanan orang yang ada di “lopo” itu. Tidak dibayar, seolah anda pelit padahal sedang ada maunya. Sementara jika anda bayar pun tidak ada jaminan mereka akan memilih anda, apalagi tidak dibayar.

Inilah gambaran yang akan dihadapi para caleg baru. Belum lagi anda harus berkompetisi mengambil simpatik dengan kelompok “berkantong tebal” dan petahana yang tentu lebih paham cara bermain dan lebih siap pendanaan. Seorang mantan anggota DPRD Madina periode 2009-2014, yang pemilu lalu juga dia ikut mencaleg tapi gagal meraih kursi, pernah mengatakan jika tidak punya persiapan minimal Rp1 miliar, lebih baik tidak usah “nyaleg”.

Bagaimana dengan sosialisasi di medsos tadi. Sangat baik kalau sekadar memberi tahu komunitas dunia maya jika anda adalah seorang caleg, tapi untuk meraih suara pemilih belum tentu. Tingkat kepopularitasan itu perlu, namun belum tentu sejalan dengan elektabilitas.

Saya ingat seorang kepala daerah di suatu kabupaten, sejak tahun pertama dilantik gambarnya dimana-mana. Setiap kantor desa, setiap fasilitas umum, kantor-kantor pemerintahan dan swasta, dan hampir di sepanjang jalan bertaburan fotonya dengan aneka kalimat simpatik. Tidak ada warga yang tidak tahu nama dan wajahnya. Ternyata pada pilkada berikutnya, dia gagal duduk kembali.

Jadi meskipun wajah anda setiap saat muncul di medsos, belum tentu memberi pengaruh untuk mendapatkan suara. Bahkan bisa menimbulkan antipati bagi pihak-pihak tertentu.

Tulisan di atas hanya sebagian kecil dari pernik-pernik perjalanan seorang caleg. Semoga para caleg baru benar-benar sudah siap dalam berkompetisi. Dan kelak masyarakat Madina mendapakan figur-figur yang mau dan mampu membawa aspirasi rakyat. Mau mengkritisi pemerintahan sesuai tupoksinya. Tidak hanya datang, duduk, diam dan duit.***

 

Penulis adalah : Jurnalis, mantan ketua PWI, Mantan ketua PBR, mantan anggota DPRD di Lampung

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.