Artikel

Sengkarut Sengketa Lahan di Sumut Makin Kusut

Oleh: Alfisyah Ummu Arifah
Pegiat Literasi Islam Kota Medan

Sengkarut sengketa lahan di Sumut tak ada habis-habisnya. Setelah daerah Helvetia, kini berlanjut daerah Selambo di Kecamatan Percut Sei Tuan. Negara butuh solusi tuntas untuk sengketa lahan dimanapun berada. Bagaimanapun keamanan dan kenyamanan adalah hal utama bagi warga di tempat tinggalnya.

Beredar video singkat di media sosial yang menunjukkan warga Jalan Selambo, Desa Amplas, Kecamatan Percut Sei Tuan, Medan, Sumatera Utara, berlarian menyelamatkan diri akibat bentrokan dengan kelompok lain. Dalam video tersebut, terlihat warga yang didominasi oleh ibu-ibu (emak-emak) berlari berhamburan menyelamatkan diri akibat serangan yang menggunakan petasan (Kompas.com, 4/2/25).

Berdasarkan video yang diunggah akun Instagram @ceritamebidang, bentrokan tersebut melibatkan dua kelompok yang sedang memperebutkan lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN, yaitu pihak pengembang dan kelompok tani. Ya, lagi-lagi karena perseteruan pengembang (oligarki) dan masyarakat bawah. Mengapa selalu muncul sengketa lahan terus menerus?

Butuh Solusi yang Solutif

Jika konflik agraria ini terjadi di suatu wilayah, itu membuktikan ada yang tidak benar dari penguasa di tempat itu. Ada yang tidak duduk dalam penatalaksanaan pengaturan ruang hidup. Pengaturan itu mengharuskan ada campur tangan hukum pencipta tanah itu. Jika sudah begitu, kasus konflik agraria tak akan terulang. Namun selama pengaruh kapitalisme yang menjadi pijakan masalah lahan (agraris), selama itu pula konflik berulang dan berulang seterusnya.
Sebab sistem agraria kapitalisme memihak pada para kapital atau oligarki. Undang-undang pertanahan pun dibuat sesuai kepentingan segelintir elit oligarki itu. Tidak berlaku sama untuk semua masyarakat.

Lalu bagaimanakah seharusnya solusi untuk menyelesaikan sengketa lahan rakyat? Jawabannya bukanlah semata dengan pembuatan sertifikat tanah atau bagi-bagi sertifikat tanah secara gratis. Solusi yang demikian hanya menghasilkan buntut ikutan di belakang hari dan memunculkan masalah baru.

Bukan tidak mungkin ada dua pemilik sertifikat tanah yang sama, dan kasus lahan lainnya yang berakhir pada sengketa.

Tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan kasus sengketa lahan selain solusi lahan yang sesuai syariat islam. Artinya kita harus kembali kepada aturan Islam.

Islam adalah agama yang sempurna. Terhadap konflik lahan, islam memiliki konsep yang sangat jelas atas kepemilikan lahan. Islam menjadikan penguasa sebagai pengurus dan pelindung rakyat termasuk pelindung kepemilikan lahan.

Bagaimana mekanismenya? Semua berpulang pada konsep kepemilikan lahan yang mendudukkan bahwa pemilik lahan adalah Allah Taala.

Firman-Nya, “Dan kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allahlah kembali.” (QS An-Nuur [24]: 42).

Berdasarkan ayat itu, kita dapat menarik hukum terkait pengelolaan lahan. Allah mewajibkan manusia, siapapun dia, dan di bumi manapun berada untuk menggunakan hukum Allah dalam menyelesaikan sebuah konflik, termasuk konflik lahan. Allah sebagai Sang Pemilik lahan secara hakiki menentukan seperangkat mekanisme yang mudah dan tegas dalam hukum-hukum pertanahan yang rinci.

Abdurrahman al-Maliki menyatakan bahwa tanah atau lahan dapat dimiliki dengan enam cara menurut hukum Islam, yaitu melalui jual beli, waris, hibah, menghidupkan tanah mati, tahjir (membuat batas pada tanah mati), dan iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat). Enam cara inilah yang harus diambil manusia sebagai cara mendapatkan tanah secara halal. Di luar cara ini adalah sebuah pelanggaran pada Allah secara nyata.

Syariat Islam dari Allah mengizinkan individu muslim maupun non muslim untuk memiliki lahan untuk keperluan yang dibolehkan syariat. Misalnya keperluan tempat tinggal, usaha, maupun pertanian.

Kepemilikan lahan dalam Islam tidak ditentukan oleh surat kepemilikan tanah, meskipun itu boleh sebagai aturan administrasi saja, bukti kepemilikan sementara sebagai pengelola lahan. Allah menentukan caranya dengan aktivitas menghidupkan atau mengelola lahan yang memang tidak ada pemiliknya. Bukan tanah milik orang lain, umum dan tanah negara.

Hal ini berdasarkan perkataan Rasulullah saw., “Barang siapa menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu (menjadi) miliknya.” (HR Bukhari). Ketentuannya siapa yang menghidupkan tanah mati. Tanah mati bukanlah laut, sungai, gunung, atau yang bukan tanah milik umum atau negara. Jadi menghidupkan tanah di laut yang merupakan milik umum adalah haram sebagaimana pemagaran laut yang terjadi hari ini berikut SHM-nya (Sertifikat Hak Milik).

Tidak cukup ketentuan itu saja. Ada ketentuan lainnya yang mengikat. Syariat Islam juga menetapkan ambang batas penelantaran lahan yang boleh dimiliki tadi. Apabila lahan yang telah dimiliki dengan cara dipagari, atau ditanami tetapi tidak  dikelola, maka negara bisa menyita lahan tersebut dan memberikannya pada individu ataupun perusahaan yang mampu mengelolanya. Ketetapan ini didasarkan pada ijmak sahabat yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khaththab.

Imam Abu Ubayd dalam kitab Al-Amwal meriwayatkan bahwa Khalifah Umar ra. Mengambil lahan milik Bilal bin Al-Harits al-Mazani yang merupakan pemberian dari Rasulullah (saw.). Amirulmukminin Umar bin Khaththab berkata kepada Bilal, “Sesungguhnya Nabi saw. tidaklah memberikan lahan ini padamu sekadar untuk dipagari dari orang-orang, tetapi beliau memberikannya padamu untuk dikelola. Maka ambillah yang sanggup engkau kelola dan kembalikan sisanya.”

Tanah yang sanggup dikelola saja. Ini membatasi seseorang untuk memonopoli tanah di luar kemampuannya.

Lalu, sampai kapan itu? Jawabannya sampai batas waktu penelantaran tanah sampai akhirnya nanti akan ditarik oleh penguasa untuk diberikan pada pihak lain adalah setelah tiga tahun. Amirul Mukminin Umar Ra juga mengatakan kepada kaum muslim, “Tidak ada hak (kepemilikan) bagi orang yang memagari (lahan) setelah tiga tahun.” Penelantaran lebih tiga tahun berturut-turut menjadi ketentuan tanah bukan lagi miliknya.

Jadi negara tidak berhak semena -mena merampas lahan milik warga muslim maupun nonmuslim sekalipun ketika mereka tidak memiliki surat kepemilikan lahan. Apalagi jika itu terindikasi untuk kepentingan pengembang (oligarki). Itu deliknya lebih berat lagi karena penguasa memihak pada pihak yang menekan mereka. Selama rakyat bisa membuktikan bahwa tanah itu telah dipatok, ditanami  atau dikelolanya serta tidak ditelantarkan lebih dari tiga tahun, maka tanah itu miliknya. Begitulah, tanah garapan di daerah Selambo itu sejatinya tetap manjadi milik warga selama dia mengelolanya.

Hal inilah yang berlaku dalam sistem pertanahan di negara yang berbasis syariah Islam. Sangat kontras dengan yang terjadi sekarang ini, kepemilikan lahan ditekankan pada kepemilikan sertifikat. Jika ditemukan dua atau lebih sertifikat, maka pemiliknya yang bisa memenangkannya di pengadilan.

Inilah dianggap sebagai sebuah pelanggaran penguasa di dalam islam. Kesalahan pertama mengapa bisa ada dua, tiga bahkan lebih SHM untuk tanah yang sama. Karut marut administrasi lahan itulah yang menjadi sebab sengketanya. Negara abai atas ketidaknyamanan masyarakat. Wajarlah muncul kasus perampasan lahan yang kian masif.

Nah, konflik perampasan lahan ini  adalah bentuk kezaliman yang terkategori dosa besar, apalagi jika spiritnya untuk membela oligarki.
Rasulullah saw. Bersabda, “Siapa yang pernah berbuat aniaya sejengkal saja (dalam perkara tanah), maka nanti ia akan dibebani (dikalungkan pada lehernya) tanah dari tujuh lapis bumi.” (HR Bukhari). Begitu dahsyat hukuman dari Allah bagi perampas lahan warga termasuk penguasa dalam hal ini.

Demikianlah beberapa aturan sistem ekonomi Islam terkait pengaturan lahan. Sangat mudah, cepat dan profesional. Tak ada 2 atau 3 bahkan lebih surat yang dalam waktu bersamaan menjadi bukti kepemilikan lahan. Secara konsep dan bukti sejarah, Islam mampu mengatasi permasalahan konflik lahan secara mudah. Tak pernah ditemukan konflik lahan yang berkepanjangan dan beranak pinak di dalam negara berbasis syariah. Islam akan berupaya menutup celah munculnya kasus perampasan lahan dengan tata kelola tanah dan ruang di suatu wilayah.

Berbeda kontras dengan kondisi hari ini. Konflik agraria menggunung tak selesai dan konflik dimana mana. Pengaruh sistem ekonomi kapitalisme saat ini, sangat meniscayakan penguasaan lahan oleh oligarki yang menimbulkan kerusakan alam dan penderitaan bagi masyarakat lokal.

Nah, ingin Sumut bebas dari sengketa lahan? Hanya bisa jika Sumut menerapkan aturan dari sistem ekonomi Islam saja dalam tata kelola lahannya. Sumut, Indonesia, dunia, perlu adanya sebuah sistem tata kelola lahan yang sinergis dengan sistem politik Islam. Sistem komprehensif inilah yang mampu menerapkan sistem kepemilikan lahan secara manusiawi. Kebutuhan pada sistem politik Islam ini yang kemudian menjadi spirit bersama untuk penegakan sistem pemerintahan islam yang kaffah dan simultan.

Bagaimana caranya agar keinginan menerapkan Islam kaffah dalam segala dimensi ruang hidup manusia itu terealisir? Perlu ada edukasi kepada masyarakat  tentang konsep kepemilikan lahan dalam islam yang terhubung dengan sistem pemerintahan yang juga kompatibel (sesuai).

Nah, ini juga bukan cuma spiritnya, atau substansinya sesuai syariat Islam, tetapi juga secara fisiknya merupakan sistem hidup bernegara berdasarkan islam. Bukan juga cuma  mengenang kejayaan Islam pada masa lalu. Lebih dari itu, penegakan Khilafah adalah desakan kebutuhan umat manusia serta kewajiban seluruh kaum muslim sangat dibutuhkan agar konflik agraria tuntas tanpa sisa. Insya Allah. Wallahu alam

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.