Artikel

Seri HUT Madina : Mandailing Melahirkan Banyak Ulama Kharismatik (1)

Oleh : BASYRAL HAMIDI HARAHAP (In Memorial)
Sejarahwan Mandailing

Basyral Hamidi Harahap

 

Tanpa mengurangi pengormatan kepada semua ulama yang berasal dari Kabupaten Madina, penulis membatasi uraian tentang banyak ulama lainnya. Kiranya satu buku lain perlu ditulis untuk membicarakan semua ulama di Kabupaten Mandailing Natal. Penulis menyebut beberapa ulama lainnya sebagai gambaran betapa dahulu banyak ulama kharismatik di Kabupaten Madina.

Haji Abdur Rahim Sayman Rangkuti lahir bulan Oktober 1920 di Purba Baru, Mandailing. Ulama ini adalah anak pertama dari pasangan Haji Ismail gelar Malim Sayman Rangkuti dan Hajjah Aisyah Matondang. Pernikahannya dengan Hajjah Nursiah Lubis, 23 September 1943, telah dianugerahi lima pasang putera dan puteri. Pendiri Pesantren Darul Hikmah di Dalan Lidang, Kecamatan Panyabungan ini wafat dalam usia 55 tahun, pada pukul 09.00 WIB pada hari Senin tanggal 27 Januari 1975 di RSUP Padangsidimpuan. Jenazahnya dimakamkan di Dalan Lidang.

Haji Abdur Rahim Sayman Rangkuti memasuki Sekolah  Desa lima tahun. 1931, kemudian meneruskan pelajaran di Madrasah Musthafawiyah di Purbabaru, sampai tahun 1936. Atas anjuran tuan Syekh Musthafa Husein, Haji Abdur Rahim Sayman Rangkuti meneruskan pendidikannya di Madrasah Darul Ulum di Mekkah, 1937. Situasi politik dan ekonomi yang semakin sulit menjelang Perang Dunia I, mendorong Haji Abdur Rahim Sayman Rangkuti untuk Kembali ke Tanah Air pada tahun 1941.

Kariernya sebagai guru dimulai pada tahun berdiam 1942, yang berlanjut selama 28 tahun, 1970, di Madrasah Musthafawiyyah.

Syekh Abdul Malik bin Abdullah (1850-1910) berasal dari Muaramais, terkenal sebagai Baleo Natal. Puluhan tahun berdian di Natal mengembangkan agam Islam di sana. Syekh Abdul Malik bin Abdullah adalah murid Syekh Abdul Fattah. Pada usia muda hijjarh ke Hutasiantar untuk memenuhi permintaan Yang Dipertuan Hutasiantar agar mengajar di sana. Muridnya datang dari berbagai penjuru di sekitar Hutasiantar dan Panyabungan. Tuan Syekh Abdul Malik mengajar sampai Padangsidimpuan, Sipirok, Padang kawas dan Daludalu.

Ulama besar ini menikah di Hutasiantar, melahirkan seorang putera bernama Abdul Syukur. Syekh Abdul Malik naik haji tiga kali untuk sekaligus menambah ilmunya. Sebagian besar usianya dihabiskan mengajar di Natal sampai wafatnya dalam usia 75 tahun dan dimakamkan di Pemakaman Bukit Kayu Aro di bagian timur Natal. Pada tanggal 17 Desember 2003 penulis menziarahi makan Syekh Abdul Malik. Beberapa makam ada di sekitar makmnya yang dikelilingi tembok dan pagar besi.

Ilmu yang diajarkannya di Natal meliputi antara lain tafsir dan tasawuf. Buku-buku terkenal yang dipakainya antara lain: Tafsir Al Ghazali. Syawi, Jalalain dan Ihya Ulumuddin karya filosof Al Ghazali. Buku-buku berbahasa Melayu antara lain: Sabilul Muhtadin, Mathla’ul Badrain dan Syrus Salikin.

Syekh Sulaiman Al-Kholidy (1842-1917) berasal dari Hutapungkut, putera seorang pendekar bernama Japagar. Pendekar ini kelak menjadi pandai besi dan wafat di Sipirok. Syekh sulaiman Al-Kholidy adalah murid ulama tarikat Naqsyabandiyah, syekh Abdul wahab Rokan di Sumatera Timur. Syekh Sulaiman Al-Kholidy pernah belajar pada guru besar tarikat Naqsyabandiyah, Syekh sulaiman Zuhdi silsilah ke-33 tarikat ini di Jabal Kubeis di Mekkah.

Murid-muridnya antara lain Syekh Hasyim Rinjau Batu, Syekh abdul Majid Tanjung Larangan, Muara Sipongi, Syekh Ismail dari Muara Sipongi, Syekh Muhammad Saman dari Kampung Sungai Jaring, Bukittinggi dan Syekh Muhammad Baqi, puteranya sendiri. Para muridnya mengembangkan tarikat Naqsabandiyah di daerah mereka masing-masing.

Syekh Abdul Hamid seorang ulama Fiqh yang juga berasal dari Hutapungkut, pernah mengajar di Masjidil Haram. Ketika ualam yang keras menentang tarikat Naqsabandiyah kembali ke Hutapungkut, Syekh Sulaiman Al-Kholidy sedang mengembangkan tarikat itu di Hutapungkut. Namun, pergaulan kedua ulama besar ini tetap akrab sebagai sesama penganjur Islam.

Syekh Sulaiman Al-kholidy wafat dalam usia 75 tahun dan dimakamkan di Hutapungkut.

Syekh Abdul Muthalib Manyabar (1874-1937) adalah seorang yang gigih dalam hidup dan menuntut ilmu. Ia seorang piatu. Ayahnya Japidondang. Masa kecilnya dihabiskan sebagai penggemabal kerbau-kerbau milik Jamaniangi di padang rumput Siladang. Pada usia 12 tahun merantau ke Deli mengikuti abangnya, Abdul Latif. Ia bekerja sebagai penyabit rumput untuk makanan kuda bendi yang ketika itu menjadi angkutan umum di Medan. Usahanya meningkat bersama abangnya. Mereka menjual kain ke perkebunan-perkebunan di Tanah Deli. Pada usia 17, 1864, ia naik haji atas biaya sendiri dari hasil tabungan usahanya sendiri.

Selama 10 tahun, 1864-1874, belajar di Mekkah dan menjadi musafir menziarahi Baitul Maqdis. Ia belajar tariqat Naqsabandiyah di Jabal Qubeis. Syekh Abdul Muthalib Manyabar bermukim 50 tahun di Mekkah. Ia menikah dengan perempuan Aceh yang bermukim di Mekkah, yang melahirkan 6 putera puterinya dan isteri keduanya dari Manambin yang dinikahinya di Kelang, Tanah semenanjung, melahirkan 2 orang anak. Ia mendirikan rumah di Mekkah yang sampai kini masih ada. Ulama yang seringkali pulang kampung ini kembali dan menatap di Manyabar pada tahun 1923bersama seluruh keluarganya.

Ulama tarikat ini menyebarkan agama di daerah Mandailing, khususnya Barbaran, Hutabargot, Mompang Jae, Lar, Tambangan, Simangambat, Bangkudu, Raorao dan Siladang.ulama inilah yang menemukan mata air di Aek Banir yang digunakan untuk bersuci mengambil wudh sebelum shalat. Sehingga penduduk di daerah itu yang sebelumnya tidak menunaikan shalat dengan alasan karena ketiadaan air, akhirnya dapat melaksanakan shalat dalam keadaan suci. (bersambung / dikutip dari buku Madina Madani)

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.