Artikel

SISTEM HUKUM MANDAILING (1)

Entitas dan Kontekstualitas Sejarah

Askolani Nasution
Askolani Nasution

Oleh : Askolani Nasution
Budayawan/Sutradara

Pada awalnya semua suku bangsa memiliki sistem aturan tersendiri yang mengatur pola tingkah laku antar-individu masyarakatnya. Mandailing, sebagai satu suku bangsa, bukan sebatas etnik dalam pengertian sempit, juga memiliki sistem aturan tersebut. Saya tentu tak berkompetensi untuk menjelaskan berbagai pengertian hukum, baik dari segi hukum adat, hukum nasional, maupun hukum internasional. Banyak definisi tentang itu yang mudah kita peroleh referensinya.

Banyak juga pendekatan yang dikemukakan para ahli tentang entitas Mandailing. Sayangnya, pendekatan-pendekatan tersebut, sekalipun dibuat oleh para akademisi sosiologi-antropologi, acapkali meletakkan Mandailing sebagai sub-etnis Batak; karena itu sudut pandangnya juga tidak kontekstual. Dan tulisan ini tidak berpretensi untuk mempertentangkan itu semua.

Masuknya kolonialisme di kawasan Mandailing-Natal melalui pembentukan Asisten Residen Angkola-Mandailing pasca berakhirnya Perang Paderi tahun 1830-an, harus diakui, banyak mengubah pola-pola aturan sistem pemerintahan dan sistem hukum tradisional di kawasan ini. Pemerintahan Hindia Belanda yang mengadopsi sistem administrasi pemerintahan Eropah bukan hanya mengerupsi kekuasaan raja-raja tradisional Mandailing, tapi mengubah beberapa sendi hukum adat. Sebuah foto pengadilan kolonial misalnya memperlihatkan bagaimana rakyat pribumi Mandailing diadili dengan gaya pengadilan kolonial, yang sebelum terbentuknya Hindia Belanda, pengadilan seperti itu tak dikenal. Contoh lainnya, beberapa kasus pernikahan semarga yang disidangkan dalam pengadilan kolonial. Dalam tataran hukum tradisional, pengadilan seperti itu tentu saja amat bertentangan dengan tradisi hukum sebelumnya yang berlaku di Mandailing.

Tapi jauh sebelumnya, adanya pengaruh Paderi yang menyusupkan jabatan “kadi” di huta (desa) Mandailing juga telah mengerupsi kekuatan hukum tradisional. Bersamaan dengan meluasnya penganut Islam di kawasan Mandailing, Islam juga menawarkan aturan-aturan baru yang diimplementasikan dalam berbagai sisi kehidupan sosial.  Termasuk di antaranya pelepasan strata sosial “hatoban” yang pernah dikenal dalam tradisi daerah Mandailing. Bukan itu saja, Islam juga menawarkan pandangan-pandangan baru mengenai kepemimpinan, sistem pajak, sistem ekonomi, dan lain-lain.  Tragisnya lagi, banyak studi yang menunjukkan bahwa penguatan pandangan Islam yang dibawa Paderi di kawasan ini acapkali disertai dengan kekerasan.

Efek dominasi Paderi tersebut sempat membuat gerah pemerintahan raja-raja tradisional Mandailing, dan persoalan itu tak bisa dilepaskan dengan menguatnya dukungan pemerintahan raja-raja tradisional bagi masuknya kolonialisme.  Karena itu, kebencian kepada kaum Paderi bukan pada tataran masuknya pengaruh Islam, tetapi lebih kepada mengecilnya peran pemerintahan tradisional dalam berbagai aspek hukum dan kedaulatan pemerintahan harajaon, sehingga masuknya Belanda disambut sebagai pihak yang diharapkan bisa menguatkan kembali peran hukum dan kekuasaan tradisional itu. Tapi tragisnya, kolaborasi dengan Belanda tersebut malah menjadi persoalan baru yang menandai makin lemahnya pengaruh raja-raja tradisional.

Raja yang pada awalnya berdaulat otonom atas satu huta, oleh pemerintahan kolonial dijadikan sebagai perpanjangan tangan pemerintahan Hindia Belanda yang berpusat di Batavia.  Huta berubah menjadi desa dan menjadikan rakyat di luat (kawasan) itu menjadi subdomain dari pemerintah pusat Hindia Belanda. Dan itu membawa konsekuensi yang besar baik bagi pemerintahan desa maupun rakyat (halak na jaji).  Karena hal itu menandai munculnya beban-beban baru bagi pemerintahan desa dan rakyatnya.

Sekalipun tetap dengan komposisi pemerintahan raja, tetapi fungsi “harajaon” berubah menjadi administrasi terkecil pemerintahan kolonial. Berbagai kebijakan pemerintahan kolonial harus ditindaklanjuti pemerintahan desa, dan itu acapkali berlawanan dengan sistem hukum yang dikenal sebelumnya. Misalnya, kewajiban huta untuk menyediakan lahan perkebunan bagi pemerintahan kolonial, kewajiban pajak pertanian yang dibayar dengan kerja rodi dalam masa “Tanam Paksa”, kewajiban untuk menanam komoditas ekspor seperti kopi dengan jumlah luas tanam yang ditentukan, dan lain-lain.

Beban itu bahkan menciptakan kepanikan sosial. Kerja “rodi” misalnya sebagai pengganti pajak tanah, dibebankan kepada setiap penduduk desa. Beberapa hari dalam sebulan tiap penduduk berkewajiban untuk bekerja di perkebunan pemerintah. Jadwal itu ditetapkan pemerintahan desa, dimana dalam waktu yang ditentukan tiap kepala keluarga harus meninggalkan rumahnya selama beberapa hari untuk menjadi buruh perkebunan. Kebijakan itu menimbulkan kebencian kepada raja dan namora-natoras sebagai pelaksana pemerintahan desa.

Hal itu diperburuk lagi dengan munculnya penjara kolonial bagi pelanggar peraturan pemerintah kolonial, termasuk pelanggar pekerja rodi tadi. Penjara seperti itu sebelumnya tidak dikenal dalam sistem hukum Mandailing. Munculnya penjara bukan hanya mereduksi kedaulatan harajaon, tapi bahkan menimbulkan meningkatnya ketidakpuasan sosial atas pemerintahan desa yang diwakili oleh harajon tadi.  Karena itu, di berbagai daerah,  proklamasi dijadikan sebagai momentum untuk meruntuhkan dominasi raja dalam pemerintahan desa. Tokoh-tokoh pembebas diangkat sebagai kepala desa dan harajaon dikucilkan kekuasaannya sebatas prosesi adat saja. (bersambung)

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.