Artikel

SKB 3 Menteri Digugat, Seharusnya Diapresiasi dan Didukung?

Oleh : Nahdoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik


Sebanyak 300 pengacara disiapkan untuk menggugat Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang seragam sekolah yang terbit setelah kasus jilbab nonmuslim di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat. Mantan wali kota Padang Fauzi Bahar, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), tokoh adat, tokoh agama dan organisasi masyarakat di Sumatera Barat yang mengumpulkan para pengacara itu untuk membela upaya revisi SKB Tiga menteri.

SKB Tiga Menteri itu, katanya, mengganggu sendi budaya dan kearifan lokal di Sumatera Barat. Sebab SKB itu tidak dapat diterapkan di semua daerah di Indonesia. Padahal ada banyak daerah yang punya kearifan lokal. Contohnya, Sumatera Barat denggan budaya Minangkabau yang sudah terbiasa dengan pakaian menutup aurat. Selain menyiapkan pengacara, bersama dengan tokoh lain, mereka juga berencana menyurati Presiden, pimpinan DPR RI, dan tiga menteri yang menandatangani SKB itu.

Mereka ingin merevisi SKB agar lebih sempurna dan tidak menganggu kearifan lokal. DPRD Sumatera Barat, pada Kamis, menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama dengan unsur tokoh masyarakat, ormas, tokoh agama dan tokoh adat. RDP dilakukan untuk membahas perihal SKB Tiga Menteri tentang seragam sekolah yang dalam beberapa waktu terakhir mengundang beragam reaksi. Yang hadir dalam rapat di DPRD itu, diantaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI), LKAAM, Bundo Kanduang, Aisiyah, Tarbiah Islamiah, Perti, Muhammadiyah, NU, Dewan Pendidikan, dan sejumlah tokoh lainnya. DPRD menjadwalkan rapat dengan Dinas Pendidikan untuk menentukan sikap (gelora, 18/02/2021).

Munculnya SKB 3 menteri adalah sebagai jawaban/respon pemerintah terhadap kasus siswi di Sumatera Barat yang dikabarkan ada pemaksaan pihak sekolah untuk memakai hijab bagi siswi yang nonmuslim. Meskipun sudah ada berita berimbang, artinya ada pengakuan siswi dari sekolah yang sama menyatakan tidak pernah terpaksa. Bahkan merasa nyaman dan suka dengan aturan sekolah yang diterapkan. Ironisnya, klarifikasi dan pernyataan siswa yang tidak merasa terpaksa malah diabaikan.

Lain lagi kasus pemaksaan bagi siswa muslimah di Bali untuk membuka hijabnya, tidak menjadi masalah bagi pemerintah. Lalu, kenapa begitu peduli dengan satu siswi saja dan mengabaikan kasus yang sebenarnya lebih banyak menimpa siswa muslimah?

Sangat disayangkan, SKB 3 menteri yang terbit justru membuat gaduh di tengah-tengah masyarakat. Wajar saja, sebab rakyat Indonesia agamanya mayoritas Islam. Terkhusus untuk wilayah Sumatera barat yang masih dikenal kental dengan pengamalan nilai-nilai Islam. Sontak, pemda Sumatera Barat dan beberapa ormas kini berencana mendatangi pusat agar SKB 3 menteri direvisi.

Pemerintah daerah Sumatera Barat dan mayoritas masyarakat disana merasa bahwa SKB 3 menteri telah mengganggu kearifan budaya lokal setempat. Sumatera Barat dikenal dengan semboyan “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”. Bagi kearifan budaya lokal Sumatera Barat, kitabullah itu dijunjung tinggi. Dan sebagai daerah yang menjunjung kitabullah, tentu tidak rela melihat pelaksaan kitabullah diintervensi bahkan dihalang-halangi. Perlawanan menjadi pilihan yang diambil.

Langkah pemerintah daerah Sumatera Barat untuk mengajukan revisi patut diapresiasi dan didukung oleh masyarakat muslim di negeri ini. Sungguh sangat miris, jika semua pelaksaan ajaran Islam harus seizin pemerintah berdasarkan kebijakan yang sesugguhnya dari pemikiran liberal.

Kebijakan mengintervensi hijab di sekolah hanyalah langkah untuk pelarangan hijab atau simbol-simbol Islam, dan bisa jadi ke depan dilarang mutlak/total. Karena efek kebencian kaum sekuler terhadap dominasi agama (Islam).  Pasca SKB 3 menteri banyak fatwa-fatwa sesat yang menyatakan bahwa hijab bukan kewajiban hanya sebagai kemauan saja. Sungguh sangat disayangkan jika ada muslim bahkan berstatus penceramah atau ustadz mendukung program tersebut. Apalagi sampai kampanye ke masyarakat mengeluarkan fatwa hijab tidak wajib.

Seharusnya beberapa provinsi atau daerah bahkan masyarakat secara umum yang beragama Islam melakukan langkah yang sama. Karena jika didiamkan, pemerintah merasa aman dan ummat Islam menanggung dosa atas diamnya. Padahal, sebagian mereka yang non muslim saja mengaku sangat nyaman jika berada di tengah tengah muslimah yang berhijab.

Sebagai kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT, seharusnya jilbab ataupun hijab dijadikan aturan bukan hanya di sekolah tapi juga di negara kepada muslimah. Negara seharusnya memudahkan bahkan memfasilitasi siswi atau muslimah yang tidak mampu berhijab. Pada saat syariat Islam  diterapkan selama lebih dari 13 abadi, non muslim juga dihimbau berhijab ketika keluar rumah. Hal tersebut dimaksud demi menjaga kehormatan wanita seluruhnya tanpa melihat agamanya. Juga menghindari fitnah agar para lelaki tidak sulit menjaga penadangannya.

Sungguh mulia bukan jika aturan Islam diterapkan? Jika wanita menjaga kehormatannya, lelaki terjaga pandangannya, maka kerusakan moral dan tindakan kriminal seperti pelecehan seksual, pemerkosaan dan perzinahan akan jauh dari masyarakat.

Lahirnya SKB 3 menteri adalah perpanjangan agenda Barat melalui agen-agen pemikir sekuler untuk menghambat kebangkitan Islam. Agneda itu menyasar segala aspek kehidupan kaum muslimin.

Oleh karena itu, sudah saatnya kaum muslimin mendukung langkah pemerintah Sumatera Barat bukan hanya merevisi SKB 3 menteri, tapi menolaknya dan meminta agar penguasa negeri ini meninggalkan sekulerisme dan menerapkan syariat Islam. Demi kebaikan dan keberkahan bersama dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bissawab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.