Oleh: Alfi Ummuarifah
Pegiat Literasi Islam Kota Medan
Sepintas lalu ini cuma kelakar. Kelakar seorang tokoh ummat dari sebuah oganisasi. Pelintiran kata yang seakan menjadi benar. Merayu akal agar menyetujuinya. Diksi yang diputarbalikkan dan sangat manipulatif. Ya, Sogokan hasanah.
Berarti yang lain sogokan dholalah? Adakah?
Ya jelas tak ada.
Sogokan atau risywah itu ada dalam khasanah keislaman. Merupakan sesuatu yang melanggar syariat Islam.
Istilah ini terlontar dari Ketua PBNU, Ulil Abshar Abdalla. Beliau mengatakan kewenangan terhadap organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mengelola tambang bukanlah suatu sogokan.
Dia berkelakar dan menilai ada istilah ‘sogokan hasanah’.
Awalnya anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay, bertanya kepada PBNU dan Muhammadiyah jika UU Minerba disahkan apa dianggap sebagai sogokan dari pemerintah. Lalu beliau berkomentar yang intinya menyatakan bahwa itu bukan sogokan atau risywah.
Dia mempertanyakan apakah ormas dan juga APNI setuju jika dikatakan, bahwa kalau nanti UU jadi diberlakukan, tambang ini adalah sebagai sogokan pemerintah kepada civil society, perguruan tinggi dan berbagai elemen yang dimasukkan. Ini kata Saleh dalam rapat dengar pendapat DPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (detiknews, 22/1/2025)
Bagaimanapun Ulil melihat tersebar di media, tambang ini diduga sebagai sogokan. Dia sudah membaca di beberapa berita kelihatannya ini sudah masuk kategori sogok. Tentu supaya ormas, perguruan tinggi dan yang kritis-kritis tidak berkomentar dan mengkritik lagi pada pemerintah.
Saleh mengatakan jangan sampai ada anggapan pelaksanaan RUU Minerba sebagai sogokan dari pemerintah ataupun DPR. Saleh khawatir adanya pandangan demikian di publik.
Saleh mengatakan jika memang ini dianggap sogokan. Pantaskah eksekutif, legislatif bersama-sama melakukan suap. Dia mempertanyakan apakah nanti nilai kekritisan ormas, civil society akan berkurang jika dikasih tambang.
Menurutnya bukankah semuanya tambang ini milik negara, bukan milik Pak Prabowo, bukan milik parpol. Jika itu milik negara, siapapun boleh mengelola dan tidak ada rasa takut untuk mengelolanya karena diberikan. Ini pendapat Saleh.
Mari kita kritisi komentar Saleh ini. Benarkah tambang ini milik negara atau milik umum banyak orang? Atau milik umum yang diwakili ormas? Ini perlu kita pertanyakan.
Dalam kesempatan itu, Ulil sebagai perwakilan PBNU, memberi pandangannya. Ulil menilai kebijakan ormas untuk mengelola tambang bukanlah sogokan. Jika penguasa, pemerintah memutuskan suatu kebijakan yang membawa manfaat bagi rakyat itu tidak bisa dianggap sebagai menyogok rakyat. Tugas penguasa mengelola kekuasaan untuk kemanfaatan rakyat.
Ulil lantas menjelaskan makna dari sogokan atau risywah dalam Bahasa Arab. Ulil menyebut ada makna fikih dari suap itu yang tidak bisa diterapkan secara gamblang.
“Jadi sogokan itu kan maknanya, ada kebijakan yang batil, yang salah, kemudian masyarakat disogok untuk mendukung keputusan yang batil (salah) ini, itu namanya sogokan atau risywah dalam bahasa Arab, ya,” ujar Gus Ulil.
“Makanya, dalam fikih itu ada suatu ketentuan. Maksudnya ini nggak boleh dipake ini ya, ini mohon maaf ini. Jadi menyogok itu kalau untuk meraih hak yang hak, itu menurut sebagian ulama dibolehkan,” sambungnya.
Selanjutnya, Ulil mengatakan sogokan untuk mendukung kebijakan yang salah maka hal itu tidak tepat. Pada momen ini Ulil berkelakar soal sogokan hasanah (untuk kebaikan).
“Jadi, yang dilarang menyogok sesuatu yang batil. Ada kebijakan yang batil, kita sogok orang supaya mendukung kebijakan kita. Tapi, kalau kebijakan ini sah, lalu kita mendorong masyarakat untuk mendukung ini, ya itu bukan sogokan,” kata Ulil.
Benarkah demikian?
Sebenarnya bagaimana pengertian suap atau sogokan dalam islam?
Apakah pengelolaan tambang pada ormas atau universitas itu sebuah sogokan atau sebuah kekeliruan?
Mari kita lihat penjelasan berikut ini.
Risywah adalah pemberian yang diberikan kepada orang lain dengan maksud meluluskan perbuatan tercela. Tujuan lainnya adalah menjadikan salah suatu perbuatan yang sebetulnya sesuai syari’ah.
Pemberi disebut rasyi, penerimanya adalah murtasyi, sedangkan sebutan untuk penghubung adalah ra’isy. Suap, uang pelicin, money politic dan lainnya
disebut risywah jika untuk menyalahkan yang benar atau membenarkan yang salah.
Tambang adalah harta milik umum. Allah memberikan mandat kepada negara untuk mengelolanya secara mandiri. Hasilnya bukan untuk kekayaan elit pribadi penguasa atau pengusaha, tetapi hanya untuk kemaslahatan masyarakat. Jadi, hasil dari pengelolan tambang akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk layanan publik yang terbaik. Misalnya layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan yang terbaik. Murah dan gratis.
Nah, agar tidak terjadi kesalahan pengelolaan tambang. Negara menjadikan syariah islam sebagai panduan dan pedoman. Pedoman itu mengharuskan pengelolaannya benar-benar harus diikuti masyarakat juga agar terjadi keberlanjutan itu terus berjalan.
Nah, tambang itu tak boleh diberikan pengelolaannya pada individu, ormas atau universitas atau pihak lain. Dia seharusnya hanya negara yang mengelolanya.
Dahulu Rasulullah sempat keliru memberikan lahan tambang garam pada seorang sahabat. Lalu menariknya kembali karena ternyata tambang garam itu sifatnya mengalir atau jumlahnya banyak. Syariat sudah menyatakan, tambang yang kategorinya seperti itu dilarang diberikan pada pihak lain pengelolaannya. Karena itu adalah milik negara. Rasulullah sebagai kepala negara harus mengelolanya untuk kepentingan masyarakat .
Tindakan negara saat ini memberikan pengelolaan tambang itu kepada ormas atau universitas atau individu manapun adalah bentuk pelanggaran. Haram hukumnya. Kekeliruan negara nampak jelas di sini. Harus diingatkan agar tidak semakin keliru mengelola negara. Oleh karena itu sebaiknya negara menarik tambang itu secepatnya untuk dikelola negara.
Tentang dalil risywah atau suap ada dua dalam Al-Quran. Larangan risywah dan perilaku lain yang terkait. Salah satunya tercantum di dalam surat Al-Baqarah ayat 188.
وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
Ayat lainnya adalah pada surat An-Nisa ayat 29.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Lalu bagaimanakah hukum risywah itu?
MUI telah memutuskan hukum memberikan dan menerima risywah adalah haram. MUI mewajibkan seluruh masyarakat memberantas dan tidak terlibat dalam praktek tersebut.
Selain Allah SWT, Rasulullah SAW juga melaknat pemberi dan penerima suap. Hal ini dijelaskan dalam hadits berikut
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ
Rasulullah melaknat orang yang menerima suap, dan yang memberikan suap.
Sudah jelaslah risywah atau sogokan apapun motif dan keuntungan di baliknya itu adalah tindakan yang haram. Apalagi jika dilakukan untuk memudahkan jalan terhadap upaya membenarkan sesuatu yang salah dan membungkam kekritisan pihak lain dalam menilai kebijakan penguasanya. Ini harus ditolak karena sebuah keharaman.
Wallahu a’lam bisshowaab.