Dakwah

Syariah Islam Butuh Diterapkan, Bukan Direkontekstualisasi

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memberikan sambutan pada pembukaan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) yang ke-20 di Surakarta, Senin (25/10/2021). Dalam sambutan itu, dia antara lain menyampaikan pentingnya melakukan rekontekstualisasi sejumlah konsep fikih dalam rangka merespon tantangan zaman.

Dia menambahkan bahwa ketidakstabilan sosial dan politik, perang saudara dan terorisme disebabkan oleh tindakan kelompok-kelompok Muslim ultrakonservatif yang bersikeras menerapkan elemen fikih tertentu dalam konteks yang tidak lagi sesuai dengan norma klasik yang ada pada era awal Islam.

Selanjutnya dia juga menyatakan bahwa setiap usaha untuk mendirikan Negara Islam Al-Imamah al-‘Uzhma universal atau Imamah Agung, juga dikenal sebagai al-Khilafah atau Khilafah, hanya akan menimbulkan bencana bagi umat Islam. Akan banyak pihak yang berebut untuk menguasai umat Islam di seluruh dunia.

Penerapan Islam yang Benar

Rekontekstualisasi menurut Meriem-Webster Dictionary online adalah menempatkan sesuatu dalam konteks yang berbeda (recontextualization adalah: to place (something, such as a literary or artistic work) in a different context).

Dalam ajaran Islam, ada praktik ijtihad yang tentu berbeda dengan rekontekstualisasi. Ijtihad hanya berlaku pada nas-nas syariah yang zhanni, yang masih ada ruang ijtihad di dalamnya. Bisa juga terkait nas-nas yang mengandung ‘illat (sebab pensyariatan hukum). Kaidah ushul fiqih yang masyhur berbunyi:

اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا أَوْ عَدَمًا

Hukum itu beredar bersama ‘illat-nya; ada ataupun tiadanya.

Oleh karena itu pada masa Rasulullah saw. ghanimah, misalnya, hanya dibagikan kepada kaum Muhajirin dan dua orang Anshar saja. Namun, pada masa Khalifah Abu Bakar ra. ghanimah dibagikan kepada semua umat Islam. Dalam hal ini Khalifah Abu Bakar ra. tidak bisa dipandang sedang mengubah atau merekontekstualiasi hukum. Beliau justru sedang menerapkan hukum syariah sesuai dengan ‘illat-nya, yakni agar harta tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja, sebagaimana dinyatakan al-Quran (Lihat: QS al-Hasyr [59]: 7).

Contoh lain, pada era Khalifah Abu Bakar ra., beliau memberlakukan kebijakan: ucapan talak tiga sekaligus tetap dipandang sebagai talak satu. Lalu pada masa Khalifah Umar ra., beliau memberlakukan kebijakan: ucapan talak tiga sekaligus sebagai tiga kali talak. Perbedaan ini terjadi dalam ranah ijtihad. Pasalnya, dalam hal ini tidak ada dalil yang sharih (jelas) sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat.

Apa batasannya? Batasannya setidaknya ada dua. Pertama: Harus berdasarkan dalil baik dalil al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat maupun Qiyas syar’í. “Ijtihad” yang terlepas sama sekali dari dalil, lalu mengikuti hawa nafsu semata, jelas bukan ijtihad. Kedua: Tidak melanggar nas-nas yang qath’i. “Ijtihad” yang menabrak nas-nas yang qath’i—baik qath’i tsubut (yakni al-Quran dan al-Hadis Mutawatir) maupun qath’i dalâlah (penunjukan maknanya)—pada hakikatnya adalah perusakan terhadap agama Islam itu sendiri.

Faktanya, tujuan dan praktik rekontekstualisasi fikih Islam yang terjadi berbeda dengan penjelasan di atas. Contoh, hukum waris yang sudah jelas dan tegas di dalam al-Quran, begitu direkontekstualisasikan dengan feminisme, justru ditabrak begitu rupa.

Contoh lain, terkait khamr. Dikatakan, misalnya, “Keharaman khamr ini bersifat sekunder dan kontekstual. Karena itu vodka di Rusia bisa jadi halal karena situasi di daerah itu sangat dingin.”

Bahkan yang lebih parah, antara iman dan kafir juga direkontekstualisasi. Dengan gegabah sebagian orang berpendapat penggunaan istilah kafir mengandung ‘kekerasan verbal’ kepada non-Muslim. Karena itu istilah kafir mesti diganti dengan sebutan ‘muwathin’ atau warga negara.

Sebagian orang juga melakukan rekontekstualisasi ajaran Islam hingga merusak hukum-hukum yang sudah jelas dengan dalih maqashid asy-syari’ah. Maqashid asy-syari’ah adalah makna-makna dan tujuan-tujuan yang dibawa oleh syariah. Secara umum maqashid as-syari’ah mencakup dua hal: meraih kemaslahatan atau menolak kemadaratan. Namun maqashid as-syari’ah yang dimaksud juga sesuai dengan ketentuan syara’, bukan kemaslahatan menurut akal atau hawa nafsu.

Di sisi lain, para ulama ushul memang berbeda pendapat terkait apakah meraih kemaslahatan atau menolak kemadaratan itu adalah ‘illat suatu hukum ataukah bukan. Namun, mereka tidak berbeda pendapat terkait nas-nas syariah yang qath’i baik sumbernya maupun penunjukan maknanya. Sebagai contoh, tujuan pensyariatan pernikahan antara lain adalah untuk menjaga nasab. Namun, para ulama tidak ada yang berpendapat bahwa jika dengan teknologi (DNA) nasab bisa diketahui maka pernikahan tidak lagi diperlukan, lalu boleh melakukan zina, misalnya.

Para ulama juga bersepakat bahwa di antara tujuan pengharaman khamr adalah menjaga akal. Tetapi, tidak ada di antara mereka yang berpendapat bahwa minum khamr sedikit dan tidak memabukkan hukumnya menjadi boleh.

Karena itu seruan rekontekstualisasi fikih Islam atau fikih alternatif yang dimaksud Menag seperti apa? Apakah ijtihad yang mengikuti kaidah-kaidah sesuai syariah sebagaimana yang telah dijabarkan para ulama selama ribuan tahun? Ataukah mengubah fikih Islam agar bisa mengakomodasi berbagai kepentingan manusia baik kepentingan penguasa, pengusaha maupun kelompok-kelompok di masyarakat?

Jika itu yang dimaksudkan maka jelas ini akan mendekonstruksi atau menghancurkan Islam itu sendiri. Seharusnya umat manusialah yang mengikuti syariah Islam, bukan syariah Islam dipaksa untuk diubah mengikuti kepentingan manusia.

Khilafah Bukan Sumber Bencana

Pernyataan Menag bahwa upaya menegakkan al-Imamah al-‘Uzhma atau Khilafah Islam akan membawa bencana amatlah memprihatinkan. Sebabnya, para ulama Ahlus Sunnah telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat imam/khalifah.

Imam al-Qurthubi, seorang ulama besar dari mazhab Maliki, ketika menafsirkan QS al-Baqarah ayat 30, menyatakan, “Ayat ini merupakan dalil paling asal mengenai kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang wajib didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).

Al-’Allamah Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii, mengatakan, “Para imam mazhab telah bersepakat bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah.” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/205).

Ulama lain dari mazhab Syafii, Imam al-Mawardi, juga menyatakan, “Menegakkan Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijmak Sahabat.” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 5).

Justru dengan adanya pemerintahan Islam yang menjalankan syariah Islam, beragam urusan umat akan terpelihara. Tanpa itu agama akan terbengkalai dan hancur. Imam al-Ghazali menyatakan, “Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang.” (Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, 1/17).

Terbukti, kaum Muslim sepeninggal Nabi saw. justru selamat setelah Abu Bakar terpilih menjadi khalifah. Berkat Kekhilafahan Abu Bakar ra. kaum Muslim selamat dari rongrongan nabi-nabi palsu, kaum murtad yang membangkang kewajiban zakat, dan serangan pasukan Romawi. Karena itu keberadaan Imam/Khalifah adalah seperti sabda Nabi saw.:

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

Imam (Khalifah) itu ibarat perisai, kaum Muslim berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya (HR Muslim).

Faktanya, tanpa Khilafah sebagaimana saat ini, umat tercerai-berai. Negeri mereka dijajah. Penduduknya diusir dan dibunuh. Sumberdaya alamnya dikeruk pihak asing. Penistaan agama merajalela. Tak ada satu pun yang membela. Para pemimpin mereka diam tanpa tindakan berarti untuk menolong umat.

Umat Butuh Penerapan Syariah

Pada kenyataannya yang dibutuhkan oleh umat ini adalah penerapan syariah Islam secara total dan menyeluruh. Bukan rekontekstualisasi fikih Islam. Hari ini kaum Muslim, baik di Tanah Air maupun di seluruh dunia, tidak menerapkan syariah Islam secara kaffah. Hanya sebagian kecil saja dari syariah Islam yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari seperti fikih ibadah, fikih rumah tangga dan sebagian kecil fikih muamalah.

Padahal kunci kebangkitan umat adalah manakala mereka menjalankan syariah Islam sebagaimana generasi terdahulu. Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani rahimahulLâhu dalam Syarî’atulLâh al-Khâlidah menjelaskan; “Sekiranya kaum Muslim hari ini menerapkan hukum-hukum fikih dan agama Islam sebagaimana para pendahulu mereka, niscaya mereka akan menjadi umat yang terdepan dan paling bahagia.”

Alhasil, pernyataan Menag bahwa umat membutuhkan ortodoksi atau fikih alternatif menjadi tidak relevan. Apalagi jika fikih alternatif yang dimaksud adalah penafsiran terhadap Islam yang tunduk pada kepentingan kaum kapitalis dan liberalis untuk melanggengkan imperialisme mereka di Dunia Islam. Sungguh berbahaya! ***

Dicopy dari: Buletin Dakwah Kaffah No. 217 (29 Rabiul Awwal 1443 H/5 November 2021 M)

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.