Budaya, Seputar Madina

Talenta Dari Seorang Munir Lubis Memainkan Alat Musik Budaya Mandailing

KOTANOPAN (Mandailing Online) : Mungkin  bagi anda  yang terbiasa melihat penampilan Gordang Sambilan, pesta adat  atau acara- acara penyambutan Pejabat dan  tamu-tamu penting yang  memakai Gordang Sambilan sebagai musik pengiring,  anda mungkin kenal dengan sosok yang satu ini. Betapa tidak, hampir di setiap acara-acara  seperti itu,  beliau tidak pernah absen mempersembahkan Tor-tor Sabe-sabe atau Gondang Sabe-sabe (ucapan selamat datang) kepada para tamu, bahkan terkadang beliau mempersembahkan pencak silat (Marmoncak, Mandailing- Red).

Beliau adalah Munir Lubis, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Munir  Pargondang. Setiap tampil, beliau biasanya mempunyai ciri khas, yaitu memakai baju kebesaran Jangat (warna merah dan ikat kepala merah). Sambil manortor dan terkadang maronang-maronang, beliau meliuk-liukkan tangannya ke atas dan kebawah di hadapan para tamu yang  datang.

Seorang Munir Lubis memiliki talenta yang hebat terhadap alat musik  budaya Mandailing. Hampir semua alat music budaya  Mandailing mampu dimainkannya,mulai dari Gordang, Talempong, Gondang Dua, Sasayap, Ogung, Udong, Panyili, Jagat, Manortor, Pencak Silat,  bahkan Maronang-onang atau Marende. Bakat dan talenta  yang dimiliknya tentunya sangat susah mendapatkannya saat ini.

Dijumpai di rumahnya di Desa Tambang Bustak, Kecamatan Kotanopan, Kab. Mandailing Natal, Munir Lubis sedang asyik memukul Gondang Duanya. Jadi pemain musik tradisional Mandailing sudah mulai anak-anak usia 10 tahun atau sekitar tahun 1963. Darah seni yang mengalir di tubuhnya warisan dari orangtua. “Saya belajar alat musik ini mulai  sejak kecil, kebetulan di rumah ketika itu ada beberapa jenis alat musik yang disimpan orang tua, jadi diwaktu-waktu senggang alat musik itu saya mainkan.

Pengakuannya,  hampir semua alat musik tradisonal Mandailing bisa  dimainkan.  Paling sering  dilakoni membawakan Gondang Alap-alap atau Tor-tor sabe-sabe, pencaksilat (moncak) dan lainnya.  Itu tergantung kebutuhan dan situasi di lapangan, jadi tidak harus terpaku kepada satu alat musik saja.

Dirinya pun sudah sering di undang untuk penampilan Gordang Sambilan di beberapa daerah di luar Kabupaten Mandailing Natal, misalnya ke Jambi, Palembang, Jakarta, Medan, Pekan Baru, Pasaman Barat, Pasaman Timur dan tempat-tempat lainnya.   Untuk konteks Mandailing  Natal semua daerah sudah hampir  dilaluinya, begitu juga saat pesta adat raja-raja adat di Madina  hampir selalu ikut.

Motivasinya  menjadi pemain alat musik, agar alat-alat musik tradisional Mandailing  ini tetap lestari.  Selain itu, jadi pemain musik tradisional ini adalah panggilan hati. “Ada semacam kepuasan kalau kita memainkan dan mendengarkan alat-alat musik tradisional ini. Sejak kecil saya sudah suka alat musik tradisional Mandailing dan hampir sepanjang usia saya tetap memainkan ini,” ucapnya.

Diakuinya, dirinya sangat khawatir kedepan, alat musik ini tidak begitu dikenal lagi oleh warga Mandailing. Kekhawatiran ini sangat beralasan, mengingat belakangan ini sangat minim orang yang bisa memainkan alat musik ini. “Kalau kita berbicara jujur, sekarang ini saya rasa hitungan jari  jumlahnya yang bisa bermain Gordang dan alat musik lainnya. Jadi wajar saja kita khawatir alat musik tradisional ini nanti akan hilang dari peredaran karena tidak ada lagi yang mewarisi.”

Saya rasa sudah saatnya kita berbenah,   kita kenalkan kembali kepada anak-anak, keluarga dan masyarakat  alat musik tradisional ini dan cara menggunakannya. Kita juga berharap  masyarakat agar memperbanyak even-even atau pagelaran alat musik tradisional. Kepada pihak-pihak terkait, seperti pemerintah kiranya ini perlu menjadi pemikiran bagaimana caranya agar alat musik ini tetap lestari dan  bisa di mainkan warga. Begitu juga para raja-raja yang sebagai pemegang adat, perlu kiranya mencarikan suatu solusi bagaimana caranya agar alat-alat musik tradisional ini tetap berterima di hati masyarakat.

Kenapa  alat musik tradisional  daerah lain bisa lestari dan terkenal, sedangkan kita tidak?. Apa yang salah dengan kita…,! Apakah pembinaan yang tidak ada.?, atau warganya yang kurang peduli.  Sangat jarang kita jumpai warga yang usianya di bawah  tiga puluhan tahunan pandai memainkan alat ini. Kalau tidak di buat semacam “gebrakan, keberadaan Gordang dan alat musik tradisional ini akan semakin hilang.

Gebrakan yang di maksud dengan  membuat dan mengaktifkan kembali pelatihan-pelatihan, festival, membentuk kelompok-kelompok Gordang di setiap desa atau jenis lain yang di anggap bisa melestarikan alat ini.  Tanpa hal itu, budaya tradisional ini akan hilang tergilas zaman.

Selain itu, Gordang Sambilan dan alat musik pendukung lainnya sebagai suatu musik tradisional Mandailing perlu dikenalkan kepada siswa atau usia pelajar di Mandailing Natal. Saya sangat setuju dengan pendapat rekan-rekan yang lain yang mengatakan, pelajaran budaya Mandailing, termasuk alat musiknya di ajarkan kepada siswa, masalah mekanisme dan caranya bisa di atur. Bisa saja di buat dalam kegiatan ektrakurikuler yang kegiatannya tidak menganggu kegiatan proses belajar mengajar.

Peran pemerintah untuk melestarikan budaya ini sangat  besar. Karena tanpa dukungan Pemerintah setempat,  kecil kemungkinan akan terlaksana. Pemkab Madina seharusnya memberdayakan tokoh-tokoh adat dan budayawan untuk melestarikan budaya ini. Sekarangkan sudah ada perkumpulan tokoh-tokoh adat di Madina, jadi berdayakan mereka untuk melestarikan budaya dan alat musik tradisional ini.

Sudah saatnya Pemkab Madina menganggarkan dana dari APBD Madina untuk pelatihan  alat musik tradisional ini. Tanpa ada back up dana dari Pemkab, pelatihan ini tidak akan berkesinambungan.  (Lokot Lubis)

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.