Oleh : Moechtar Nasution
Ulama dan pesantren kerap jadi sasaran para politisi dalam membangun basis dukungan politik. Pada setiap pemilu, maka suara tokoh dan santri selalu diperebutkan, bukan saja oleh partai-partai politik berbasis Islam saja, melainkan juga partai-partai politik yang berbasis nasionalis. Kunjungan elit partai kepesantren menjadi wajib dengan harapan bisa mendulang suara.
Pesantren dan partai politik sesungguhnya dua entitas yang agak berjauhan. Pesantren lebih identik dengan pendidikan yang bersentuhan dengan keilmuan dan moralitas, sedangkan partai politik lebih dekat pada upaya bersama untuk meraih, mempertahankan, dan merebut kekuasaan. Pesantren dalam kehidupan kesehariannya sibuk dengan kajian kitab yang membahas pandangan ulama-ulama klasik dan modern tentang berbagai disiplin ilmu agama Islam, sedangkan partai politik sibuk dengan penyusunan platform dengan segala strategi dan taktik politik untuk memperoleh kekuasaan demi memajukan bangsa dan negara serta menyejahterakan rakyat.
Seorang ulama berperan sebagai figur moral dan pemimpin sosial, serta tokoh sentral dalam masyarakat sebab di bahu merekalah terletak cita-cita dan eksistensi umat. Oleh karena itu ukuran seorang ulama tidak dapat hanya dilihat dari segi apa yang dilakukannya dan dari karakteristik pribadinya saja, tetapi yang penting sejauh mana masyarakat memberikan pengakuan kepadanya.
Gelar kehormatan ulama bagi kalangan elit agama masih sering diperdebatkan lebih-lebih jika dikaitkan dengan politik. Keterlibatan ulama dalam wilayah politik kekuasaan melahirkan poralisasi sikap di kalangan masyarakat. Yang pro berpendapat, bahwa keterlibatan ulama dalam politik bermanfaat paling tidak karena dua hal. Pertama, episentrum dakwah ulama sekarang ini bukan hanya berada diwilayah kultural semata, bukan hanya tradisonal saja namun seiring dengan transformasi zaman wilayah-wilayah struktural yang dahulu dianggap tidak menarik dewasa ini semakin dilirik. Terlepas dari kontroversi, namun munculnya “uztad entertainment” membuktikan bahwa wilayah hiburanpun sekarang sudah diisi dengan nuansa religi. Hadirnya ulama dalam politik kekuasaan akan memberi arti bagi kekuasaan itu sendiri karena ”ter-spritualisasi”. Kekuasaan akan dijadikan sarana pengabdian kepada Tuhan untuk kemudian didedikasikan bagi keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Kedua, tidak ada alasan bagi ulama untuk meninggalkan politik, sebab berpolitik merupakan bagian kehidupan agama itu sendiri Alasan logisnya bahwa Islam bukanlah semata-mata agama yang hanya menyangkut hubungan manusia dan Tuhan namun lebih dari itu Islam secara luas dipandang sebagai agama yang paripurna dalam mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara (rahmatan lil alamin).
Hal lain yang dianggap juga penting adalah mengimplementasikan amar ma’ruf nahi mungkar ditengah carut marut dunia politik yang kebablasan. Penegakan amar ma’ruf nahi mungkar ini terasa penting mengingat ancaman degradasi moralitas yang menimpa kehidupan anak bangsa dalam berbagai ranah kehidupan sudah termasuk kategori darurat termasuk hilangnya etika dan fatsun politik yang dibingkai peradaban.
Tetapi yang kontra sebaliknya berpendapat bahwa keterlibatan ulama dalam wilayah politik kekuasaan justru menjadikan kerja-kerja kultural ulama terabaikan. Ulama yang selama ini fokus di wilayah kultural seperti melakukan pendidikan (keagamaan) kepada masyarakat, melakukan kontrol terhadap kekuasaan yang menyimpang, memerangi kebobrokan akhlaq, membumikan kesantunan dan keadaban, menebarkan kebaikan dan kebajikan mulai tak terurus karena ulama terserap hampir sepenuhnya untuk kerja-kerja politik kekuasaan. Apalagi sistem kekuasaan dewasa ini sangat korup sehingga bukan mustahil ulama bisa “terjerembab” dalam sistem yang korup tersebut.
Oleh karena itu, menurut pandangan yang kontra, sebaiknya ulama tetap berada di wilayah kultural saja, jangan memasuki wilayah politik agar tugas sebagai penyampai kebenaran tidak terkontaminasi. Lebih elegan, bermartabat dan humanis menyuarakan kebenaran dari luar struktur untuk mengingatkan pengambil kebijaksanaan (decision making) agar tetap pada koridor keadilan bagi kemaslahatan ummat sembari memperbaiki akhlaq umat untuk selalu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Peran mereka sebagai pendidik non formal ummat tidak boleh ditinggalkan, harus tetap berkesinambungan. Kearifan mereka dibutuhkan masyarakat. Demikian juga lakon selaku pembina dan pengayom ummat utamanya dalam kehidupan beragama harus tetap terjaga dan steril dari kepentingan politik yang terkadang bisa merugikan ummat. Ulama harus menjadi contoh penebar kebaikan dan benteng penjaga moralitas masyarakat.
Posisi dan pengaruh ulama dalam masyarakat di banyak tempat utamanya di pedesaan disinyalir masih sangat kuat dan kokoh. Mereka menjadi tokoh sentral yang terlibat dalam solusi sosial kemasyarakatan bahkan termasuk juga dalam urusan politik. Referensi sejarah membuktikan bahwa keterlibatan ulama sangat dominan dalam perang kemerdekaan melawan penjajahan. Teuku Cik Di Tiro, Tuanku Imam Bonjol, Kyai Mojo, dan masih banyak nama lain yang termasuk barisan ulama yang menentang penjajahan. Peran KH.
Ahmad Dahlan juga tidak diragukan dalam membangun pendidikan yang dirangkai dengan penumbuhan semangat nasionalisme. Hal yang sama juga dilakukan KH. Hasyim As’ari pendiri Nahdatul Ulama. Hal ini juga berlaku pada masa kemerdekaan. Buya Hamka dan M. Natsir adalah contoh nama ulama yang patut dijadikan inspirasi.
Ulama sebagai entitas kultural dan sosiologis memang tidak lepas dari konteks struktural yang mengitarinya. Karena itu, ulama tidak mungkin bisa menghindar dari hiruk-pikuk permasalahan politik. Tetapi yang perlu diperluas adalah peran ulama dalam wilayah politik. Dengan kata lain, ulama tidak hanya menjadikan politik kekuasaan sebagai satu-satunya jalan bagi jihad politiknya, tetapi masih ada lagi wilayah politik yang meminta tidak kalah seriusnya dari peran ulama, yaitu politik kebangsaan dan politik kerakyatan.
Pemahaman masyarakat tentang politik kebangsaan dan kerakyatan begitu penting untuk merekatkan kembali simpul-simpul kebangsaan kita sebagai negara kesatuan dan berguna untuk meminimalisir potensi disintegari bangsa. Kemajemukan dalam perbedaan tidak seharusnya diperuncing sehingga menjadi embrio perpecahan dan pertikaian namun sewajibnya kondisi ini diperkuat sehingga bisa menjadi kekuatan sekaligus juga keunggulan. Peran ulama dibutuhkan disini. Cukup sudah konflik Poso dan konflik Ambon menyedot energi anak bangsa dan jangan lagi ditemukan konflik horizontal atas dasar perbedaan khusunya SARA mewarnai perjalanan bangsa kedepan.
Pengaruh ulama yang kharismatik sering “dimanfaatkan” atau menjadi incaran para politisi untuk mendulang suara. Biasanya, peran penting ulama sebagai “voge getter” terdepan tidak akan dinafikan dalam strategi kampanye partai politik paling tidak diharapkan bisa menarik perhatian para pemilih bahkan tidak jarang ulama diposisikan sebagai juru kampanye atau paling tidak dengan kehadiran para ulama ini dalam setiap kampanye dianggap sebagai tanda “restu” dan legitimasi. Namun sayangnya dengan kondisi perpolitikan yang masih sangat pragmatis ini membuat simpul-simpul pendulang suara di desa-desa termasuk yang berada di pesantren sering hanya dijadikan sebagai alat kampanye semata melalui janji-janji atau biasa disebut“angin surga” dari partai politik.
Perkembangan politik membawa sejumlah ulama terjun langsung maupun tidak langsung dalam kancah perpolitikan. Aspirasi politik ulama dimanfaatkan partai politik di tingkat nasional maupun lokal dalam setiap Pemilu. Alhasil, ulama dihadapkan pada dunia politik praktis yang sarat dengan ketidakpastian dan kepentingan. Tidak ada kawan dan lawan yang bersifat abadi kecuali kepentingan. Keterlibatkan ulama dalam politik praktis juga menyebabkan banyak ulama menempati posisi elite dalam struktur politik, sehingga banyak kemudian di antara mereka yang menjadi elite pemerintah baik pada tataran lokal maupun nasional.
Para pemimpin pesantren yang dikonotasikan dengan ulama dari dahulu hingga sekarang mempunyai kekuatan politik yang dominan dan menempati posisi struktur religi politik dari struktur sosial politik masyarakat. Zaman rezim Soeharto, banyak ulama yang menjadi legislator dari utusan golongan, pun sekarang banyak juga yang menjadi anggota parlemen baik dipusat maupun didaerah.
Setelah 17 tahun reformasi digulirkan kaum muda nyatanya hingga hari ini belum banyak merubah wajah bangsa. Bopeng dan borok itu masih ada disana sini, bahkan tragisnya lagi nilai moral, integritas, etika tereduksi dititik nadir terendah untuk dan atas nama kebebasan berpolitik. Harkat dan martabat kemanusiaan sering diperjualbelikan secara transaksional menjelang perhelatan demokrasi baik tingkat nasional maupun lokal.
Carut marut pengelolaan negara yang ditandai dengan banyaknya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) menjadi tontonan anak bangsa. Ini mengartikan sesungguhnya bahwa reformasi belum sepenuhnya bisa memperbaiki kondisi bangsa. Banyaknya penyimpangan (deviasi) memberi makna tingkat peradaban kita sebagai bangsa (state) dan negara (nation) masih berjalan ditempat. Pemahaman warga bangsa tentang nilai dan etika masih sebatas jargon verbal, belum terinternalisasi pada tataran perilaku keseharian.
Para elite/politisi masih sebatas memanfaatkan rakyat termasuk didalamnya kalangan agama sebagai pijakan dan batu loncatan untuk berkuasa. Rakyat dijadikan sebagai alat dan bukan tujuan politik. Dalam jeratan kemiskinan dan ketidakberdayaan sosial dan ekonomi, rakyat cenderung frustasi dan memperlakukan dirinya sendiri (floating mass) sebagai mesin yang dapat digerakkan oleh kekuatan uang dan kekuasaan. Lantas apa yang telah dihasilkan ulama yang terjun kepolitik praktis selama 16 tahun perjalanan reformasi ini? Bukankah banyak ulama yang menempati posisi vital dalam pengambilan keputusan (decision making) selama ini? Apalagi, semenjak bergulirnya reformasi banyak partai mengusung azas Islam sebagai platform dan landasan ideologis partai?
Sejatinya efektivitas pembumian nilai-nilai, etika dan peradaban yang menghargai martabat manusia disosialisasikan melalui contoh nyata elite pimpinan partai termasuk ulama yang masuk ranah politik. Transformasi ini harus di turun ratakan sampai pada tingkat akar rumput, ditransfromasikan melalui sikap, tingkah laku, tindakan, perbuatan dan ucapan.
Ditengah krisis kepemimpinan, krisis moral, dan krisis kepercayaan yang melanda persada nusantara dewasa ini, muncul pertanyaan penting dimanakah posisi ulama? Dalam kondisi kepemimpinan yang centang perenang, penegakan hukum masih carut marut dan situasi perpolitikan yang masih kacau balau, kental dengan ketidakmenentuan dan ketidak pastian, seyogyanya ulama jangan terlibat jauh atau larut dalam politik praktik yang pragmatis.
Bagi ulama yang terjun ke lapangan politik praktis sejatinya bisa memberikan ketauladanan, kesederhanaan, kesahajaan, dan kearifan disetiap event politik, mengintrodusir “tausiyah” kedalam sepak terjang kebijakan politik dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan para tokoh-tokoh politik sehingga politik diharapkan bisa berlangsung dengan teduh, terasa nyaman, damai dan penuh kesejukan. Jika ini berjalan maksimal maka kekhawatiran tentang memudarnya kesakralan atau karismatik kepemimpinan ulama tidak akan terjadi.
Justru kepemimpinan dan power politik yang dimiliki ulama diharapkan berupaya mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat luas melalui fatwa-fatwa atau nasehat yang dibutuhkan umat. Ulama semestinya memang berada di segala golongan karena keberadaan ulama merupakan lambang moralitas dan akhlak mulia serta memperbaiki budi pekerti dan ahlaq masyarakat yang makin sirna dan langka. Melalui “moral force” ulama menyumbang peran yang signifikan bagi tumbuhnya kembali nilai-nilai agama ditengah masyarakat sehingga keterpurukan bangsa dapat dicegah.
Dalam konteks pilkada Mandailing Natal, keberadaan ulama yang menjadi tim pemenangan bakal calon kepala daerah baik yang terstruktural maupun non struktrutal, yang resmi maupun tidak dan yang terlibat langsung atau samar sangat diharapkan bisa membawakan nilai kebaikan, kejujuran, kesederhanaan, kearifan, kewilayah kerja politik yang dilaksanakan demi kemaslahatan masyarakat. Mereka harus menjadi contoh teladan (uswatun hasanah) yang berfungsi sebagai penyejuk, pemberi tausiyah, dan penegak rambu-rambu etika dan moral sehingga bisa menjadi kekuatan yang menentramkan dan bukan yang menakutkan. Memilih jalan yang bermartabat dan bukan jalan yang sesat. Bilamana menemukan penyimpangan, intrik, rekayasa atau juga penghalalan segala cara untuk mencapai ambisi kekuasaan maka keberanian untuk “menjewer” juga penting supaya tetap berada pada koridor yang ditentukan sesuai dengan ajaran agama dan peraturan perundang-undangan. Mereka juga diharapkan memberi masukan kepada para bakal calon agar bukan hanya memberi janji-janji semata atau jualan kecap saja namun harus menawarkan program-program dan isu-isu untuk kesejahteraan rakyat.
Konsep negara Madinah yang diblue printkan nabi Muhammad SAW tentang kepemimpinan dan demokrasi harus bisa diaplikasikan mengingat bahwa kabupaten ini diakronimkan dengan Madina. Ray Rangkuti dalam suatu dialog publik bertajuk “manjalahi pemimpin namarbisuk” di Panyabungan belum lama ini sangat mengharapkan agar para stake holders bisa mewujudkan ini. Tentu saja peran ulama menjadi begitu penting menggagas ini. Disetiap tahapan pilkada yang digelar terasa penting lakon para ulama lebih lagi ketika memasuki masa tenang. Harus muncul keberanian ulama untuk bersuara keras untuk menolak segala bentuk permainan uang. Dan yang pastinya seharusnya ulama politik dan politik ulama dipergunakan bagi kemashalatan umat menuju masyarakat yang bhaldatun toyyibah wa rabbun ghafur. Semoga… Wallahu’alam bishowab.