Jakarta –
Sudah 66 tahun Indonesia berada dalam atmosfer kemerdekaan, tidak terhitung nyawa yang tercabut demi perjuangan kemerdekaan itu. Di situlah, boleh dibilang peran veteran perang bicara banyak pada masanya.
Dari luar pagar Istana Merdeka, Jakarta Pusat, berbondong-bondong masyarakat menjadi hadirin upacara peringatan detik-detik kemerdekaan ke-66 Indonesia yang dipimpin Presiden Susilo B Yudhoyono. Megah Istana Merdeka terasa saat itu, apalagi saat ansambel musik Pasukan Pengamanan Presiden TNI membawa komposisi lagu kebangsaan, “Indonesia Raya” mengiring pengibaran duplikat bendera Sang Saka Dwi Warna.
Di antara hadiri di luar pagar Istana Merdeka itu, terdapat seorang tua berkemeja dan celana hijau diimbuhi peci kuning jahe. Di ujung depan peci itu terdapat emblem bintang segi lima dengan latar bawah huruf-huruf berukuran kecil “LVRI”. Komposisi huruf sama tertatah di “tanda pangkat” di epolet kemeja hijau yang sudah lusuh itu.
Keberadaannya dalam kerumunan masyarakat itu tidak menonjol karena semua orang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Yang membawa kamera, sibuk jepret sana jepret sini, yang bawa anak menggendongi anak-anaknya atau mencegah agar jangan sampai mereka berlarian ke sana-sini. Masih banyak lagi yang lain-lain.
Lelaki tua penyandang busana itu adalah Asril, usia 86 tahun, yang kini berdomisili di Sleman, Jogyakarta. Ya, dia adalah anggota Legiun Veteran Republik Indonesia; bukan pengurus korps veteran yang kebanyakan adalah pensiunan jenderal-jenderal. Bapak tua itu hanya rakyat biasa bukan bekas pejabat.
Ditilik dari usianya, pada saat Indonesia merdeka pada 1945, dia masih remaja belia. “Bapak masih 18 tahun waktu ikut perang bersama Pak Harto di Jogja itu. Bapak tidak pakai senjata mesiu, cuma bambu runcing dan senjata tajam lain lawan Belanda,” katanya.
Suaranya agak pelan namun intonasinya jelas terdengar. Badannya masih lumayan tegap untuk kakek seusia dia, pun berjalan tanpa tongkat dengan kecepatan yang cukup baik. Kalau mata, jelas kacamata tebal bertengger di ujung hidungnya menutupi dua mata tuanya itu.
Dari Sleman, Asril sengaja datang ke Jakarta untuk melihat langsung prosesi upacara pengibaran bendera pusaka di Istana Merdeka itu. Upacara itu, bagi dia, adalah upacara suci yang harus diikuti dengan seluruh ketakziman dan kekhusukan.
Dia mengalami sendiri gemuruh pertempuran melawan penjajah, merasakan cipratan darah rekan-rekan yang terluka atau terbunuh, mendengar teriakan-teriakan penyemangat tempur, atau…. kematian. Tidak ada hitung-hitungan perolehan uang atau jabatan atau kedudukan sosial saat itu atau di kemudian.
Pokoknya, Belanda harus pergi… Indonesia harus merdeka karena itu hak kita sebagai bangsa. Hak itu coba-coba dirampas bangsa lain? Lawan! Sederhana saja, tidak usah kebanyakan bicara sana bicara sini.
Kini Asril datang di Istana Merdeka, di atas rumput pembatas Jalan Medan Merdeka Utara di depan Monumen Nasional. Semua identitas lokasi di sana mewakili simbol-simbol kemegahan Indonesia.
Asril menyatakan, “Bapak tidak bisa masuk ke dalam karena undangan dibawa teman saya. Makanya Bapak berdiri di sini saja.” Hormat kepada bendera Merah Putih mengikuti perintah komandan upacara, dia ikuti dan lakukan secara baik dan sigap.
Dia memang pernah menjadi anggota ABRI (saat itu). Menurut penuturan dia, dia pernah menjadi anggota Satuan Pengawal Istana di Istana Bogor. Kalau dirunut sekarang, semestinya unit atau satuannya saat kini adalah Batalion Pengawal Istana Pasukan Pengamanan Presiden yang pengawaknya 100 persen personel Polisi Militer TNI-AD.
Relik yang menyatakan Asril –tidak memiliki pekerjaan apapun lagi– seorang pensiunan TNI adalah ransel hijau tentaranya. Dengan sepatu kulit tanpa semirnya, dia menyiratkan bahwa berjalan kaki sudah menjadi kebiasaannya; ini juga yang (mungkin) membuat dia tetap baik kondisi kesehatannya.
“Tapi sekarang pemerintahnya agak beda ya… Kami veteran ini tidak diperhatikan seksama lagi….,” katanya. Wajar dan sah-sah saja kalau dia membuat “perbandingan” dari presiden ke presiden yang pernah memerintah Indonesia karena dia melihat dan merasakan pendirian Republik Indonesia ini hingga kini.
Belanda adalah penjajah pada masanya dari kacamata Indonesia dan penjajahan itu jelas berlawanan dengan rasa kemanusiaan; PBB juga jelas dan tegas menolak apa saja bentuk penjajahan itu di muka bumi ini. Akan tetapi, keberadaan orang-orang tua diwadahi betul oleh kerajaan dan pemerintahan di sana.
Ada beberapa keistimewaan diberikan kepada orang-orang tua itu; apalagi orang tua yang diketahui berjasa besar bagi negara kerajaan itu, di antaranya veteran perang. Keringanan pajak, kemudahan akses kesehatan dan jaminan hari tua, dan lain-lain, diberikan negara bekas penjajah itu. Belanda tidak sendirian dalam hal ini, karena Jerman, Belgia, Perancis, dan lain-lain “negara penjajah” bisa menjamin hidup warga negaranya.
Di Indonesia yang “gemah ripah lohjinawi”, keadaannya berbeda padahal ada pasal 33 UUD 1945. “Saya tetap diminta karcis kereta atau lain-lain. Mana bisa bayar? Tunjangan veteran Bapak cuma Rp750.000 sebulan untuk berdua dengan istri Bapak….,” katanya.
Itu (mungkin) “harga” semua keringat, semprotan adrenalin, dan resiko kematian atau cacat seumur hidup Asril dan banyak lagi rekan veterannya setelah 66 tahun Indonesia merdeka.
Padahal lagi, kehadiran para veteran ini secara alamiah akan berkurang di antara populasi penduduk Indonesia.
Padahal pula, katanya tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin mantap dan “mengesankan” dunia dan Indonesia menjadi satu “pusat” kekaguman dunia serta mengundang investor datang dari mana-mana pelosok dunia.
Veteran-veteran Indonesia itu juga pemegang saham definitif pendirian republik ini. (*)
Sumber : analisadaily.com