Budaya

Sembilang Pauh di Pantun Melayu

Ada sebuah ungkapan yang sangat dikenal di dunia Melayu: ”Kalau tak pandai berpantun, jangan mengaku orang Melayu”.

Adagium ini menunjukkan bagaimana pantun telah memegang peran penting dalam kehidupan sehari hari masyarakat Melayu. Bagi mereka, jika hendak dipandang sebagai orang yang berilmu dan berpengaruh, harus tahu bagaimana menafsir pantun. Juga harus tahu bagaimana cara membalas pantun. Pun bagaimana cara mengemas pantun. Itu juga penting bagi yang ”hendak berada di tengah balai (tempat terhormat)”.

Pantun itu harus dipelajari. Cara berpantun dan cara menyampaikan pantun, akan menunjukkan kadar dan kelas dalam kehidupan bermasyarakat.

Artinya, berpantun itu tidak boleh sembarangan. Ada aturan, dan kaedahnya, terutama pada sampirannya. Dari pantun diketahui berilmu tidaknya yang berpantun. Jika tidak, dia akan ditertawakan orang.

Lihatlah pantun ini:

Pucuk pauh delima batu
Anak sembilang di tapak tangan
Biar jauh beribu batu
Hilang di mata di hati jangan

Ini pantun lama yang sangat dikenal di dunia Melayu. Bukan saja karena isinya yang menunjukkan bagaimana perasaan rindu itu tak kenal batas dan waktu. Tapi juga lihatlah sampirannya. Yang sarat makna.

Ikan sembilang itu punya sengat yang berbisa, tapi kenapa boleh diletakkan di telapak tangan? Ternyata pucuk pauh dan delima batu itu adalah penawar racun.

Itu contoh sampiran pantun yang sangat berkualitas dan sampiran (pembayang) yang menunjukkan pencipta pantun itu berilmu.

Karya sastra yang demikian itu, menempatkan pantun sebagai salah satu karya sastra lisan dunia melayu paling tua. Lebih tua dari syair dan genre sastra lama. Sejak lahir orang Melayu sudah diajar berpantun. Lagu nina bobok anak mereka sarat dengan pantun. Pantun nasihat , pantun kasih sayang, dan lainnya.

Pantun memang salah satu sarana berkomunikasi dalam masyarakat Melayu. Cara berbahasa, cara bertutur kata, cara menyampaikan pendapat dengan santun, melalui kiasan, dengan sindiran, ajuk mengajuk, dan juga boleh menjadi sebuah ”tamparan”yang memalukan. Menghina pun bisa dengan pantun.

Pantun termasuk karya sastra melayu lama yang bermula dari tradisi lisan.  Setelah ditemukan tradisi tulis melalui huruf arab melayu dan huruf rumi (latin), pantun mulai ditulis dan dibukukan. Tapi dalam praktik budaya Melayu sehari-hari pantun tetap disampaikan secara lisan. Dalam percakapan sehari hari. Dalam acara perkawinan. Dalam cara berkasih sayang. Dalam pidato. Bahkan dulu, berperang juga dimulai dengan berpantun. Yakni untuk membakar semangat, untuk mengejek dan memanas manaskan lawan. Seperti dulu dalam perang Raja Kecik (Siak) dengan Tengku Sulaiman (Riau).

Sekarang tradisi berpantun masih hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Melayu, terutama di Kepulauan Riau. Terutama untuk tradisi perkawinan . Menghantar mas kawin dan lainnya, juga dilakukan dengan pantun. Berbalas balas antara pihak pengantin lelaki dan perempuan. Sumbang kalau perkawinan tidak ada tradisi berpantun. Pemantun merupakan profesi yang sangat diminati.

Sekarang pantun sudah menjadi Warisan Dunia Tak Benda. Orang pertama di dunia Melayu yang mengumpulkan dan menerbitkan pantun sebagai buku adalah Engku Muda Haji Ibrahim. Ia seorang pembesar di kerajaan Melayu Riau yang hidup sezaman dengan Raja Ali Haji, dan kemudian disebut  sebagai bapak pantun melayu modern. (Rida K Liamsi)

Rida K. Liamsi adalah sastrawan Melayu dari Riau.

Selain dikenal sebagai sastrawan, beliau juga tokoh media massa terutama setelah sukses menakhodai Riau Pos, pun berhasil mengembangkan banyak perusahaan di bawah grup Riau Pos.

Artikel di atas adalah oretan Rida K Liamsi yang menulis pandangannya tentang pantun yang diminta Dahlan Iskan dan menjadi pelengkap artikel “Ulang Pantun” di Disway edisi Rabu (9/2/2022).

Sumber: Dicopy dari sebagian Disway edisi 9 Pebruari 2022

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.