Artikel

Bagas Godang dan Mandheling Coffee

Rombongan Mandailing Malaysia di depan Bagas Godang di Hutanagodang, Ulu Pungkut. (foto : Ikatan Mandailing Malaysia-Indonesia)

 

Catatan : Dahlan Batubara

 

Bagas Godang. Di Mandailing. Rumah Besar bahasa Melayu-nya. Istana raja yang memerintah negerinya. Masa lalu. Sebelum ada negara Indonesia.

Setiap ada Bagas Godang selalu ada Sopo Godang.

Banyak pelajaran yang harus diperoleh dari Sopo Godang.

Sopo Godang melambangkan demokrasi kerajaan-kerajaan Mandailing masa lalu. Bahkan ketika Eropa masih gelap, otoritarian, Mandailing sudah lebih dulu berdemokrasi. Bukan demokrasi ala Barat.

Jika Indonesia memakai fungsi DPR. Di gedung DPR. Maka kerajaan-kerajaan Mandailing masa lalu sidang MPR-nya di Sopo Godang.

Rakyat akan ramai duduk di luar Sopo Godang. Menyaksikan sidang yang berada di lantai Sopo. Dari luar Sopo Godang rakyat juga diperkenankan menyampaikan usul.

Itulah Mandailing masa lalu.

Tapi, kini. Bagas Godang dan Sopo Godang tak lagi berfungsi. Apalagi bangunan fisiknya tak lagi dipelihara.

Silahkan pembaca mengujungi Bagas Godang di Hutanagodang, Ulu Pungkut, Mandailing Julu. Atau Bagas Godang di Mandailing Godang. Anda akan tahu bagaimana keadaannya kini.

Anda akan berasumsi bahwa Pemerintah Daerah tidak memiliki kepekaan terhadap sejarah Bagas dan Sopo Godang.

Rumah Gadang di Pagaruyung, Minangkabau pernah terbakar. Habis. Lalu dibangun ulang. Tidak ada istilah dana tak cukup.

Bagas Godang di Hutanagodang itu sudah nyaris ambruk atapnya. Lantai sudah rapuh. Dinding sudah rapuh. Tetapi pemerintah daerah diam membisu.

Saban tahun saya membawa rombongan Mandailing Malaysia ke Bagas Godang di Hutanagodang itu. Bagas Godang itu selalu menjadi pilihan utama bagi mereka yang mengunjungi tanah leluhur.

Kata mereka : Bagas Godang itu memiliki daya magis bagi jiwa. Daya tarik yang sulit terbahasakan. Daya sedotnya tinggi sehingga selalu buka internet untuk sekedar melihat kembali foto Bagas Godang itu. Terbayang bagaimana kerajaan-kerajaan di Mandailing masa lalu.

Kata mereka : meski terlihat cantik dengan cat warna warni Rumah Gadang Pagaruyung tak mampu menggugah jiwa.

Tetapi Bagas Godang Hutanagodang menggugah jiwa. Magnitnya berada di tidak adanya cat warna warni. Warna alam. Mengunjunginya seperti masuk ke masa lalu. Perasaan seolah dapat melihat raja ketika kita masuk ke dalam Bagas Godang itu.

Bukan karena mereka etnis Mandailing. Sekiranya orang Suriname pun yang berkunujung dipastikan akan berpendapat yang sama.

Bagas Godang di Hutanagodang, Ulu Pungkut, Mandailing Julu.

Seandainya pemerintah daerah nihil apresiasi sejarah. Nihil pelestarian peninggalan masa lalu. Nihil menghormati kerajaan-kerajaan Mandailing masa lalu. Setidaknya jangan nihil melihatnya dari sisi pariwisata.

Rumah Gadang di Pagaruyung membawa devisa yang banyak kepada Minangkabau. Candi Prambanan membawa devisa bagi Yogyakarta.

Saya pernah ke Candi Prambanan tahun 2014. Beli tiket masuk 50 ribu rupiah. Ada sekitar 100 pengunjung selama 1 jam saya berada di situ. 100 x 50.000 = 5 juta. Kalau 200 orang akan menjadi 10 juta.

Bukan lokal saja. Di komplek candi itu banyak turis asing. Ada kulit putih. Ada Jepang.

Saya bertemu pasangan Swedia. Prianya ganteng. Gadisnya cantik. Saya ajak gadisnya foto bersama dengan bahasa nekad : “Please ficture together”.

“Oh, yes,” kata gadis Swedia. Untung saya bukan pria ganteng sehingga pria Swedia itu tak bakalan cemburu. Yang bisa saja berpotensi mendua hati via facebook. Padahal foto berdua itu rapat. Saking rapatnya menyebabkan bahu kami menyatu.

Untung gadis itu bersandal jepit sehingga tak terlalu tinggi. Beruntung saya pakai hak sepatu tinggi jadinya agak tinggi. Serasi terlihat. Fotonya saya upload di Facebook. Banyak yang komentar.

Sejatinya Bagas Godang mendatangkan devisa. Juga mendatangkan rupiah dari wisatawan lokal.

Ulupungkut bukan saja memiliki Bagas Godang yang memiliki daya tarik. Tetapi juga memiliki tanah kopi. Mandheling Coffee. Yang termahsyur di dunia internasional. Di pasaran dunia Mandheling Coffe hanya punya satu saingan : kopi Brazil. Keduanya sama-sama kelas wahid.

Gambar mungkin berisi: 4 orang, orang tersenyum

Saya (memegang HP yang juga guide) hendak mengabadikan rombongan Mandailing Malaysia yang berkunjung di lokasi penjemuran Mandheling Coffee merek Banamon di Desa Alahan Kae, Ulu Pungkut.

 

Saking terkenalnya Mandheling Coffe menyebabkan orang Italia lebih sering mendengar kata “Mandheling” ketimbang nama “Indonesia”.

Nyaris di negara-negara Eropa ada Mandheling Coffee. Rusia hingga Jepang dan Tiongkok.

Keterkenalan Mandheling Coffee akan menimbulkan ketertarikan mengunjungi tanah kopi Mandailing.

Tentu itu potensi devisa.

Gambar mungkin berisi: satu orang atau lebih, orang berdiri, pohon, langit, luar ruangan dan alam

Bus pariwisata ukuran sedang saja masih sulit menjangkau Ulu Pungkut akibat jalan yang masih sempit.

 

Caranya : benahi Bagas Godang. Benahi jalan menuju ke sana agar terlalui bus besar. Termasuk jalan besar menuju perkebunan kopi. Sediakan tempat minum kopi di dekat kebun kopi. Sediakan juga kopi bubuk atau kopi beras. Turis pasti akan membawa buah tangan.

Tak sampai di situ. Selain promosi. Harus kerjasama dengan perusahaan-perusahan travel.

Toh, tiap hari bus pariwisata senantiasa melewati Mandailing. Yang berada di jalur lintas Sumatera.***

 

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.