
Budayawan Mandailing Askolani Nasution menyampaikan catatan ringkas di Focus Grup Discussion yang diselenggarakan KNPI Mandaiiling Natal di D’San Hotel, Panyabungan, Jum’at (14/3/2025).
Askolani melihat peluang pembangunan Mandailing Natal berdasar potensi kultural dan alamnya, namun pemerintah justru mengabaikannya.
Padahal, menurut Askolani, sejarah Mandailing Natal (Madina) adalah sejarah gemilang pada masa lalu. Belasan kerajaan besar menancapkan pengaruhnya di kawasan Mandailing. Mulai dari Singosari, Majapahit, Sriwijaya, Aru, Pagaruyung, Aceh, hingga Inggris, Portugis, Jepang dan Belanda.
Jejak itu tampak dalam bentuk peninggalan sejarah, baik meriam, benteng, bahkan candi, dan lain-lain.
Kenapa Mandailing menarik? Karena potensi sumber daya alamnya. Askolani mengungkap, bahwa emas di kawasan Aek Simalagi sudah ada penambangan sejak abad ke 8-9 masehi. Emas itu menjadi komoditas ekspor penting melalui pantai Barat Sumatera. Belum lagi hasil rempah.
Tak hanya itu, Panyabungan (ibu kota Mamdailing Natal saat ini) sudah menjadi transit perdagangan antara pantai Timur dan Barat Sumatera. Berbagai negara berdagang ke sini. Baik Cina, India, atau Arab. Tetapi, kenapa setelah 13 abad kemudian Panyabungan tidak berkembang? Kecuali sebagai kawasan perdagangan ganja?
“Itu persoalannya. Kita tidak pernah membangun daerah ini berdasarkan potensi kultural dan alamnya. Kita membangun hanya meniru kabupaten lain, bukan karena kebutuhan daerah,” kata Askolani.
“Mestinya, dari aspek sejarah itu, pembangunan Mandailing Natal sebagai pusat perdagangan global menjadi pilihan penting,” imbuhnya.
Potensi lainnya adalah beras. Jepang tidak akan merampas Mandailing dari Belanda kalau bukan karena stok berasnya. Mereka butuh itu untuk Perang Asia Fasifik. Dan sejak berabad-abad sebelumnya, Mandailing telah menjadi pusat persawahan yang maju. Itu ditandai dengan temuan arca perunggu Dwi Sri di Tombang Bustak. Itu dewa kesuburan yang identik dengan padi.
Belum lagi potensi kopi. Sebelum Belanda masuk, Inggris sudah mengembangkan perkebunan kopi di sini. Hingga tahun 1870-an, terdapat 2,8 juta batang kopi di sini.
Ekspor kopi melalui pantai Barat Sumatera itu bahkan menjadi andalan utama pembiayaan pemerintah kolonial di Batavia.
“Tetapi apa yang kita capai selama 26 tahun Mandailing Natal. Bahkan bebatuan Candi Simangambat akhirnya diboyong ke Cibinong tahun lalu, karena kita tidak mengurusnya. Padahal, di Sumatera Utara hanya di Mandailing ada tinggalan candi Hindu seperti Candi Simangambat, pragmen candi Siabu dan Saba Biara Pidoli. Itu tanda bahwa peradaban kita sudah demikian maju sejak dulu,” ungkanya.
Belum lagi soal efektivitas program-program pemerintah daerah sesuai dengan asumsi-asumsi ekonomi makro.
“Misal jika asumsi inflasi sekian persen, laju ekonomi sekian persen, mana di antara program pembangunan kita yang menjadi indikator pemulihan inflasi daerah dan mana yang menjadi indikator laju ekonomi sekian persen. Tidak pernah kita kaji secara mendalam sehingga menjadi acuan yang ilmiah,” ujar Askolani. (dab)