(Bagian 1 dari 2 tulisan)
Dimensi kepemimpinan telah lama menjadi kajian yang menarik terutama terhadap keberhasilan kepemimpinan dalam suatu organisasi. Kompetensi kepemimpinan dapat diketahui dari keberhasilan seseorang dalam kepemimpinannya bagi pencapaian tujuan organisasi apalagi bagi seorang pemimpin aparatur memang harus dituntut untuk mampu membawa organisasi publik yang dipimpinnya dalam pemberian pelayanan yang berkualitas.
Hudges mengatakan bahwa ”government organization are created by the public, for the public, and need to be accountable to it.” Organisasi publik dibuat oleh publik, untuk publik, dan karenanya harus dipertangjungjawabkan kepada publik. Bertumpu pada pendapat ini, pemimpin organisasi publik diwajibkan memiliki akuntabilitas atas pencapaian kinerja dikarenakan tujuan utama organisasi publik sesungguhnya memberikan pelayanan guna pemenuhan tingkat kepuasan masyarakat semaksimal mungkin.
Karakteristik manajemen pelayanan pada sektor publik sebagai suatu keseluruhan kegiatan pengelolaan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah, memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya, memiliki kelompok kepentingan yang luas termasuk kelompok sasaran yang ingin dilayani (wide stakeholders), memiliki tujuan sosial serta akuntabel pada publik.
Sejalan dengan perkembangan manajemen penyelenggaraan pemerintah, dan dalam upaya mewujudkan pelayanan prima, paradigma pelayanan publik berkembang dengan fokus pengelolaan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan (customer-driven government) yang dicirikan dengan lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan, pemberdayaan masyarakat, serta menerapkan sistem kompetisi dan pencapaian target yang didasarkan pada visi, misi, tujuan dan sasaran.
Karakter tersebut adalah bagian dari demokrasi yang menjadi pilar dalam penerapan sistem pemerintahan yang diharapkan. Ada adagium yang cukup dikenal oleh publik tentang demokrasi, yaitu “dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat”, kendatipun demikian, cita-cita politik yang menginginkan bentuk demokrasi sering kali “jauh panggang dari api”. Realitasnya aspirasi rakyat tidak terakomodir dengan baik, meskipun sistemnya sudah tersedia.
Oleh karena itu ada sebahagian ahli pikir politik mengatakan bahwa sebaik apa pun sistem yang dibangun, jika pelaksanaanya tidak memiliki integritas dan komitmen, maka sia-sialah ekspektasi yang digayutkan pada sistem tersebut, sehingga ada benarnya orang bijak mengatakan bahwa yang paling penting adalah The man behind the gun. Bukan senjatanya atau sistemnya, tetapi bagaimana kualitas sumber daya manusia yang tersedia untuk menjadi perangkat supra dari sumber politik. Pertanyaan ini paling mengemuka ketika ekspekatasi publik sering berbenturan kebijakan (policy) dari pengambil keputusan (decition of making).
Kalau kita melihat di kabupaten Mandailing Natal, di bawah kepemimpinan Bapak Dahlan Hasan Nasution, program-program serta capaian-capaian atas berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan, tentu saja masih jauh dari apa yang diharapkan oleh masyarakat utamanya sektor yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Kita tidak akan membedah satu persatu namun sesungguhnya banyaknya tuntutan dan keluhan dari masyarakat merupakan fakta riil yang tidak bisa dinafikan.
Jalan keluar yang paling elegan adalah bersikap mendengarkan. Dengan turun kebawah atau bahasa populisnya “blusukan” masyarakat berharap aspirasi mereka didengarkan. Berbicara langsung dengan petani, tukang becak, nelayan, atau komponen masyarakat lainnya untuk mendengarkan secara langsung persoalan yang mereka alami sembari melihat dan meninjau kondisi sesungguhnya apa yang terjadi dimasyarakat akar rumput.
Harapan masyarakat ini tentu saja murni adanya. Hal yang paling dikhawatirkan adalah banyaknya aparatur bawahan yang hanya sekedar melaporkan keindahan dan kecantikan tanpa sedikitpun yang bisa memberikan kelemahan dan kekurangan pembangunan. Tentu saja ada banyak motif dan kita tidak akan mengupasnya namun jikapun diprediksi diduga kuat hanya untuk tetap mendapatkan simpati padahal sebenarnya kondisi ini jika berlarut-larut akan melahirkan eskalasi konflik dan bisa meruntuhkan kredibilitas, kewibawaan, dan martabat kepemimpinan itu sendiri.
Akhirnya yang terjadi timbul ketidakharmonisan antara masyarakat dengan pemimpin karena kesalahpahaman/ketidaksampaian informasi yang dipelintir oleh oknum-oknum tertentu demi kepentingan-kepentingan tertentu. Ini akan berujung kepada pertaruhan nama baik seorang pemimpin dimata masyarakat yang dipimpinnya. Pemelintiran informasi ini jika sudah lama terjadi akan berdampak panjang bagi pemerintahan.
Harus diakui takdir seorang pemimpin memang harus mendapatkan kritikan, hujatan bahkan fitnahan. Akan tetapi meskipun itu takdir, pemimpin yang bijaksana tentu saja harus menganggap semua itu sebagai masukan yang berharga. Dengan kritikan itu maka tentu saja harus ada upaya untuk melakukan perubahan. Dan Dahlan Hasan Nasution berupaya untuk mengakomodir semua permasalahan ini dalam langkah sistimatis dan bertahap.
Beliau mengambil suatu falsafah hidup yang menyatakan “semua manusia memiliki nurani untuk bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah”. Ada yang mengatakan kalau anda tidak mau diserang, dikritik ataupun dikecam, please say nothing, do nothing and be nothing. Dan Dahlan Hasan Nasution lebih memilih untuk dikritik karena melakukan kebijakan yang bagi sebagian orangnya lainnya tidak populis.
Adalah hal yang wajar jika pencapaian beliau dalam kepemimpinannya belum bisa berjalan seoptimal mungkin sesuai harapan masyarakat namun masyarakat juga selama ini sangat cerdas untuk memilih dan memilah informasi mengingat waktu baginya untuk menata pembangunan masih sangat singkat, usia yang masih balita dalam proses dekonstruksi ulang suatu sistem. Namun jika mau jujur akan diketemukan sumbangan bagi pembangunan yang dilaksanakannya dalam waktu yang singkat tersebut meskipun secara harfiah tidak terlalu menonjol mengingat keterbatasan waktu dan ragam permasalahan kemasyarakatan yang dihadapi.
Beliau tetap berbuat dan mengabdi dengan segenap kemampuan yang dimiliki karena berbuat dalam sebuah pengabdian tentu saja tidak harus diukur dengan sanjungan dan pujian. Ditengah banyaknya kritikan dan atribut lainnya yang sejenis, belaiu dengan kearifannya sebagai pamong senior menyatakan kesiapan untuk pasang badan demi pembangunan Mandailing Natal. Beliau tentu saja akan menjadikan semua cibiran itu sebagai bagian dari upaya “muhasabah” untuk berbenah diri guna memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakatnya. (bersambung)
Perangkum : Tim
Editor : Dahlan Batubara