PANYABUNGAN (Mandailing Online) – Generasi muda Mandailing saat ini mulai mengalami gejala krisis “partuturon” (tutur sapa). Bahkan sudah banyak yang tak mengetahui dan memahami tentang “partuturon”.
Padahal, masyarakat Mandailing selama ini dikenal sebagai masyarakat yang sangat menjunjung tinggi etika. Dan salah satu unsur penting etika adalah “partuturon”.
“Untuk itu, penguasaan tentang “partuturon” harus diajarkan agar tetap dipahami,” kata Afifuddin Lubis pada pembukaan acara workshop Penguatan Adat Istiadat Budaya Mandailing di hotel Madina Sejahtera, Panyabungan, Selasa (17/12/2013).
Dikatakanya, “partuturon” mengatur dan menentukan bagaimana seseorang bersikap, berbicara dan bertutur terhadap orang lain, begitu juga sebaliknya.
Berdasarkan “partuturon” akan diketahui sejauh mana hubungan seseorang dengan orang lain berdasarkan hubungan darah, hubungan kekerabatan atau hubungan berdasarkan pekawinan.
Pada prinsipnya, “partuturon” merupakan etika, sikap dan tingkah laku sesorang jika berkomunikasi dengan orang lain.
“Tujuan penguasaan “partuturon” adalah untuk saling menghormati, menumbuhkan semangat persaudaraan, rasa persatuan dan semakin eratnya ikatan kekeluargaan yang harmonis,” bebernya.
Semakin baik seseorang dalam bertutur, dia akan dianggap mempunyai etika yang tinggi.
Prinsip “partuturon” didasarkan pada hubungan kekerabatan berdasarkan “Dalihan Na Tolu”. Dalam “partuturon” ketika digunakan sapaan “tulang”, “inangtulang” maka dapat dipastikan yang bersangkutan merupakan “mora” dari yang menyapa.
Kalau sapaan mengunakan “amangboru”, “namboru”, “babere”, “lae”, maka yang bersangkutan merupakan “anak boru” dari yang menyapa.
Juka sapaan menggunakan kata seperti “amangtua”, “amanguda”, maka yang bersangkutan merupakan “kahanggi”.
Agar krisis “partuturon” ini tak makin parah, diharuskan pengajaran melalui sekolah terutama pada tingkatan sekolah dasar dan sekola lanjutan tingkat pertama. Itu dianggap merupakan cara efektif dalam menumbuhkan budaya “martutur” di kalangan generasi muda.
Kemudian dorongan pengajaran melalui jalur keluarga. Juga melalui jalur kelompok seperti kelompok “parsadaan” semisal parsadaan marga. Serta melalui organisasi kemasyarakat yang berbasis budaya.
Diungkapkannya, sejauh ini kendala dalam pengajaran “partuturon” akibat masih kurangnya kesadaran sebagaian keluarga tentang pentingnya “partuturon”.
“Kemudian pada keluarga Mandailing yang tinggal di luar Mandailing banyak yang tidak dapat berbahasa Mandailing,” katanya.
Kadangkala sapaan “partuturon” yang mereka gunakan sudah mengikuti alur sapaan makcik digunakan untuk sapaan terhadap “namboru” atau “inangtulang” dan pakcik untuk “tulang” dan “amangboru”.
Peliput/editor : Dahlan Batubara