Oleh : Radayu Irawan, S.Pt
Tinggal di Padangsidimpuan
Lagi, dan terus berulang. Bak buih di lautan. Kali ini kasus pembunuhan anak kandung berasal dari Kabupaten Nias Utara, Provinsi Sumatera Utara. Ibu muda (30) berinisial MT tega membunuh ketiga anak balitanya yang berinisial YL (5), SL (4), dan DL (2). Ketiganya tewas dalam keadaan leher tergorok. (Detiknews, 13/12/2020)
Sesaat setelah melakukan pembunuhan terhadap tiga bocah malang itu, tersangka berniat untuk bunuh diri dengan cara menyayat lehernya sendiri dengan menggunakan parang. Tetapi niatnya tersebut gagal karena diselamatkan oleh suaminya sehingga hanya mengalami luka pada bagian leher depan saja. Tersangka sempat mendapat perawatan dari rumah sakit. Karena tidak mau makan dan minum sehingga mengalami muntah-muntah, pada hari Minggu, tersangka meninggal dunia. (Liputan6.com, 14/12/2020)
Menurut Cnn Indonesia (11/12/2020) dari hasil pemeriksaan sejumlah saksi-saksi, diketahui bahwa motif tersangka membunuh ketiga anaknya itu karena tak kuat menanggung himpitan ekonomi. Sehingga sering bertengkar dengan suaminya (kompas.com 15/12/2020).
Tragis, miris dan ironis. Ada seorang ibu yang memiliki naluri kasih sayang yang teramat dalam tega membunuh darah dagingnya sendiri karena faktor ekonomi. Astaghfirullah, jikalau seperti ini pastilah tersangka merasakan ekonomi yang sangat sulit dan menghimpit ditambah lagi pertengkaran dengan suaminya, sehingga tega membunuh jiwa raganya sendiri.
Apakah kasus yang seperti ini, merupakan kasus yang langka kita temukan di negeri tercinta ini? Atau kah ini merupakan satu dari sekian ribu kasus yang terjadi di negeri ini?
Jikalau hanya satu, mungkin bisa dikatakan peristiwa ini merupakan kesalahan individu. Namun sayang seribu sayang. Ini hanya secuil peristiwa pembunuhan anak oleh ibu kandung dari berbagai ribuan peristiwa.
Dapat dipastikan, bahwa peristiwa serupa sangat banyak ditemui di negeri ini. Maka, berarti, peristiwa ini bukan merupakan kesalahan individu melainkan kesalahan yang lebih kompleks yaitu kesalahan sistemik.
Kesalahan sistemik yang dimaksud adalah akibat penerapan dari sistem yang dianut di negeri ini, yaitu sistem sekuler (pemisahan agama dengan kehidupan) dengan sistem pemerintahan bernama demokrasi. Karena penerapan sistem inilah, peristiwa serupa tumbuh subur bagai bunga yang bermekaran di musim semi.
Dengan dalih ekonomi, banyak ibu yang terbunuh hati nurani dan pintu hatinya. Kemiskinan yang menjadi sumber dari segala peristiwa ini membuktikan bahwa sistem demokrasi tidak mampu mengentaskan kemiskinan hingga ke akarnya.
Padahal Kabupaten Nias Utara berada di samudera Hindia, memiliki sumber daya laut yang sangat luar biasa, memiliki sejumlah pantai yang sangat indah yang merupakan tempat wisata selancar nomor dua setelah hawai.
Tentunya dengan kekayaan sumber daya alam tersebut, warga Nias harusnya tidak hidup dibawah garis kemiskinan. Namun karena kesalahan pengelolaan SDA menyebabkan warga Nias, hidup di bawah garis kemiskinan yang berkepanjangan.
Sangat berbeda bila Islam yang dijadikan sebagai sistem pemerintahan dalam bernegara. Maka SDA akan dikelola oleh negara Islam (khilafah) dan hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat. Sehingga tidak akan terjadi kemiskinan yang menyebabkan pembunuhan ibu kandung terhadap anaknya. Dan juga di dalam sistem Islam kebutuhan pokok rakyat wajib untuk dipenuhi. Dengan cara, setiap kepala keluarga di dalam negara khilafah diberikan lapangan pekerjaan yang layak sehingga mampu menafkahi keluarganya. Serta khilafah wajib untuk menggratiskan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas.
Maka, sebagai kaum muslimin, kita harus berjuang untuk menegakkan kembali khilafah agar bisa tegak di bumi Allah. Karena khilafah adalah kebutuhan, janji Allah dan kabar gembira dari Rasulullah SAW. Wallahu a’lam bishowab.***