Oleh : Moechtar Nasution
Wakil Direktur GEREP Institute
Bila kearifan lokal ini dapat dilembagakan, maka akan sangat efektif sebagai upaya untuk penanggulangan resiko bencana karena langsung tersentuh pada sendi – sendi kehidupan bermasyarakat, terutama ketika menjadi syair yang dinyanyikan oleh ibu – ibu saat menidurkan anaknya akan sangat melekat dalam jiwa mereka sampai dewasa.
Anak tersebut juga akan memahami apa yang mesti dilakukan saat bencana tiba. Seperti contoh anak – anak di Jepang, saat gempa datang mereka semua langsung mengambil posisi di bawah meja yang bisa melindungi kepala mereka. Seperti yang berlaku pada warga dan orang tua di kabupaten Simeulue yang mewariskan cerita secara turun temurun bahwa bila terjadi gempa dan air laut surut, maka segera mencari tempat yang lebih tinggi karena air laut akan menerjang daratan. Hal ini terbukti seperti ungkapan dalam bahasa Simeulue “Nga Linon Fesang Smong” (“jika ada gempa, lari ke gunung karena akan ada air tinggi”). Ungkapan ini setiap hari di sampaikan oleh orang tua kepada anaknya baik melalui syair – syair, maupun saat berkumpul dengan sesama warga dan keluarga di rumah menjelang makan malam.
Cerita rakyat berbasiskan bencana yang di sampaikan oleh para ibu ini sudah terbukti ampuhnya seperti di Kabupaten Simeulue. Hampir semua warga dan anak – anak sangat memahami kode alam yang dilihatnya. Hal ini terbukti dengan minimnya jumlah korban di Simeulue saat Tsunami tahun 2004 silam jika di bandingkan dengan daerah – daerah lain.
Pengetahuan lokal seperti ini selayaknya dijadikan sebagai budaya pada masyarakat dan harus dijadikan sebagai pengetahuan lokal untuk mengurangi resiko bencana. Bukankah daerah kita juga banyak memiliki kearifan lokal? Ragam nasehat (poda) juga banyak yang berlaku didaerah yang dijuluki sebagai Serambi Mekkah ini? Di desa Manyabar dan sekitarnya berlaku poda yang menyebutkan jika keong sudah naik kedaratan mengartikan bahwa kemungkinan besar sungai akan meluap.Dan masih banyak lagi poda lainnya yang berlaku didesa lainnya.
Salah satu poda yang terkenal di Mandailing Natal adalah Poda Nalima yaitu Paias Rohamu,Paias Pamatangmu, Paias Parabitonmu, Paias Pakaranganmu. Poda ini telah diwariskan secara turun temurun lintas generasi kendatipun sekarang sudah mulai ditinggalkan generasi muda. Sejatinya, jika poda ini tetap dilestarikan masyarakat khususnya poda tentang pekarangan maka tentu saja lingkungan akan tetap terjaga. Orangtua terutama ibu punya peranan besar untuk mewujudkan ini sembari mencontohkannya kepada anak misalnya dengan menanami pekarangan dengan tumbuh-tumbuhan atau juga membersihkan parit atau selokan.
Bagi masyarakat Mandailing sejak zaman dahulu, halaman rumah biasanya dipergunakan untuk lahan tanaman tanaman tradisional yang erat kaitannya dengan kesehatan seperti layaknya kita kenal sekarang istilah apotik hidup atau Toga (Tanaman Obat Keluarga). Jika ada sanak saudara yang mengalami penyakit, maka oleh ahli pengobatan alternatif atau dikenal dengan istilah datu biasanya akan menyuruh untuk mengumpulkan bahan obat-obatan yang berasal dari tanam-tanaman – dan biasanya juga tanaman ini ada dipekarangan rumah. Pemanfaatan lahan pekarangan rumah dengan tanaman obat-obatan memberi bukti kepada kita betapa sesungguhnya masyarakat Mandailing amat sangat erat hubungannya dengan alam dan lingkungan. Paias pakaranganmu ini turut memberikan andil yang besar bagi penghijauan dan sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu secara alamiah.
Kesenian Mandailing ini sarat dengan kekayaan bunyi-bunyian alam yang menandakan masyarakat Mandailing sudah sangat harmoni dengan alam. Bisa disebutkan bahwa gordang sambilan adalah musikalisasi suara alam. Ini bisa juga menjadi contoh yang harus diceritakan kepada anak-anak bahwa sejak zaman dahulu masyarakat Mandailing sudah akrab dengan lingkungan.Coba simak alunan suara gordang sambilan maka akan ditemukan alunan suara seperti gemuruh api yang membakar hutan (gondang roba namosok), atau alunan suara batu yang menggelinding dari gunung (gondang sampuara batu magulang) atau juga alunan suara tepian sungai (gondang hadadingin).
Masyarakat Mandailing menjadikan alam sebagai inspirasi dan sumber musik yang tertata secara apik mulai dari suara yang merdu sekali seperti suara dedaunan yang tertiup angin sampai kepada suara gemuruh yang menakutkan seperti suara api yang membakar hutan seakan-akan mereka membakar hutan untuk membuka lahan pertanian. Gordang sambilan ini juga salah satu kearifan lokal masyarakat Mandailing yang jika dikaitkan dengan harmoni alam akan menjadi pelajaran sekaligus pembelajaran manusia dizaman sekarang ini tentang sinergi manusia dengan alam.
Bagi anda yang tergolong penikmat buku, bisa juga anda menceritakan kepada anak-anak bagaimana Willem Iskander menceritakan eksotisme keindahan alam Mandailing dalam buku “Sibulus-Bulus Sirumbuk-Rumbuk” yang dicetak pertama kali tahun 1872 di Batavia. Disitu terlihat jelas bagaimana panorama alam Mandailing yang dilukiskan melalui kata demi kata. Selain menceritakan keindahan alam, sajak ini juga menceritakan bagaimana keadaan masyarakat ketika itu dalam aktifitas keseharian mereka.
Hal yang sangat menarik adalah bagaimana Willem Iskander memberikan pencerahan melalui sajak tersebut tentang bencana. Kita selama ini hanya mengenal Willem Iskander dalam persfektif pendidikan an-sich, namun lebih dari itu ternyata sosok Sati Nasution ini juga adalah orang yang sangat peduli dengan lingkungan khususnya yang berkaitan dengan bencana. Didalam sajak ini, ditemukan bait yang bercerita tentang banjir. “Muda ro sirumondop udan, Magodangma batang aek, Dibaen sompit adabuan, Jadi tudarat doma manaek” (Jika hujan turun, Sungaipun banjir, Karena sempit tempat mengalir, jadi kedaratlah melimpah).
Tentunya yang dituliskan tokoh kebanggaan masyarakat Mandailing dalam bidang budaya ini benar adanya, jika sungai mengalami pendangkalan atau penyempitan maka dipastikan air sungai akan melimpah kedaratan pada saat banjir karena sungai sudah tidak bisa menampung debit air lagi.
Yang disampaikan Willem Iskander ini sungguh merupakan kearifan sekaligus kecemerlangan pola pikirnya dalam menatap masa depan wilayah Mandailing. Kecermatannya menuliskan tentang banjir ini sangat mungkin dipengaruhi oleh letak geografis Mandailing yang dipenuhi dengan banyaknya sungai sungai besar seperti yang disebutkan dibait-bait sebelumnya seperti aek Batang Gadis, aek Godang, dan Batang Singkuang.
PENUTUP
Korban jiwa perempuan selalu mendominasi saat terjadi musibah atau bencana yang sifatnya massif. Penelitian yang dilakukan Oxfam menyebut data bahwa 70 % korban tewas akibat tsunami di Aceh adalah perempuan. Fakta ini sejatinya harus mendapatkan perhatian serius dari semua stake holders utamanya pemerintah dan kalangan perempuan tentunya.
Perempuan harus mampu menunjukkan bahwa mereka juga memiliki tanggungjawab yang sama untuk berperan secara aktif dalam penanggulangan bencana. Tentunya tidak ada cara lain selain belajar dan belajar. Semoga perempuan Indonesia semakin tangguh..semakin cekatan..semakin lincah guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang tangguh menghadapi bencana. Semoga….