PANYABUNGAN (Mandailing Online) – Hingga saat ini kerusakan lingkungan secara massif dalam eksploitasi panas bumi untuk pembangkit listrik, masih sebatas issue.
“Sehingga tidak ada alasan yang kuat untuk menolak upaya pemanfaatan panas bumi itu,” kata Direktur Pusat Studi & Bantuan Informasi Pembangunan – CSAID (Centre for Studies & Aid of Information Development), Joko A Budiono, SH, Selasa (13/1/2015) di Panyabungan.
Itu dikatakannya menjawab wartawan seputar penolakan sebagian masyarakat terhadap upaya pemanfaatan panas bumi di Mandailing Natal oleh pemerintah yang dilakukan PT. Sorik Marapi Geothermal Power (PT. SMGP).
Joko menjelaskan, bahwa dalam banyak kasus penolakan pemanfaatan panas bumi di Indonesia akhir-akhir ini, baik oleh masyarakat di Mandaiing Natal maupun juga oleh komunitas adat Sunda Wiwitan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat atau Masyarakat Adat Saibatin Wayhandak, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, masih cenderung digerakkan oleh rasa kekhawatiran terhadap masalah lingkungan hidup.
“Ada ketakutan atau kekhawatiran masyarakat, yang tidak dapat dijawab secara efektif oleh pemerintah. Jika pun telah ada upaya untuk itu, upaya tersebut masih kalah massif untuk mengimbangi issue-issue yang mungkin saja dengan sengaja dikembangkan oleh pihak-pihak yang ingin menghambat proyek panas bumi tersebut untuk alasan-alasan tertentu. Namun, apapun alasan-alasan itu, saya yakini tidak terkait dengan persoalan lingkungan,” lanjutnya.
Berdasarkan data tahun 2004 saja, Indonesia memiliki 40% cadangan potensi panas bumi yang ada di dunia, yang terindentifikasi sebesar 27.140,5 MWe (megawatt of electrical output).
Dari cadangan panas bumi di Indonesia itu, baru sepertiga yang dimanfaatkan yakni 9.000 MWe atau setara dengan listrik 800-1000 MW.
Beberapa daerah panas bumi di Indonesia yang telah dieksploitasi untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik adalah: Sibayak (Sumatera Utara); Salak, Karang-Bodas, Kamojang, Wayang Windu, Darajat (Jawa Barat); Dieng (Jawa Tengah) dan Lahendong (Sulawesi Utara).
Dari beberapa contoh wilayah yang telah diekploitasi tersebut, masyarakat harusnya bisa melihat secara arif.
“Bahkan dalam proyek Lahendong yang dulu di issue-kan banyak pihak akan dapat membuat kebocoran Danau Lahendong, ternyata tidak benar,” ungkap Joko.
Joko menjelaskan bahwa issue adanya pengurangan debit ataupun kualitas air permukaan, juga sebenarnya tidak akan terbukti.
Karena secara praktis, pemanfaatan panas bumi dilakukan dengan proses pembaharuan energi panas bumi yang sering disebut dengan hydrothermal convection. Proses ini terjadi dengan cara air dingin sisa pemanfaatan energy geothermal dimasukkan kembali ke dalam kerak bumi. Di bawah kerak bumi (astenosphere), air tersebut dipanaskan lagi secara alami yang selanjutnya akan menjadi uap. Uap atau steam ini kemudian naik kembali ke permukaan bumi.
“Jadi sebenarnya yang kita manfaatkan itu adalah uap/steam-nya saja, bukan airnya yang kita hisap habis-habisan. Proses yang sangat sederhana inilah sesungguhnya yang salah satu ciri positif kenapa kita harus segera menggunakan panas bumi sebagai sumber energi alternatif, sekaligus membedakan panas bumi dengan proyek-proyek pertambangan lainnya, seperti minyak, gas alam, atau mineral batuan lainnya,” sebutnya.
Terkait telah dicabutnya Perpanjangan Tahap Kedua IUP PT. SMGP oleh Pemkab Mandailing Natal, Joko juga menyayangkan hal tersebut.
“Pencabutan izin atau perpanjangan ini, sesungguhnya membutuhkan alasan hukum yang cukup. Tidak boleh hanya sekedar berdasarkan adanya penolakan sebagian masyarakat. Apalagi penolakan masyarakat tersebut hanya diakibatkan karena kesalahfahaman persepsi yang diakibatkan masih belum maksimalnya upaya pemerintah dalam sosialisasi proyek pemanfaatan panas bumi tersebut. Ketidakmaksimalan ini tentu akhirnya potensial menimbulkan korban, baik dari masyarakat maupun perusahaan,” keluh Joko.
Dalam kesempatan ini, Joko tidak menampik adanya suasana yang cukup dilematis bagi Pemkab Mandailing Natal dalam penanganan masalah perizinan PT. SMGP tersebut. Namun pemerintah daerah sebagai institusi negara, harusnya cukup kuat untuk tetap bijak dalam memberikan perpanjangan maupun pencabutan izin tersebut.
Peliput : Maradotang Pulungan
Editor : Dahlan Batubara