Mahalnya Rasa Aman, Penculikan Anak Merajalela

Oleh: Herliana Tri M
Maraknya kasus penculikan di negeri ini merupakan alarm PR keamanan yang belum terselesaikan. “Mahalnya” rasa aman menjadikan pemilik uang saja yang dapat mendampingi buah hati dengan babysitter yang siap mengawal ke mana pun buah hati akan bermain.
Mencuatnya kasus penculikan balita berinisial BR yang hilang sempat menghebohkan publik.
Penculikan BR bermula saat ananda bermain di lapangan. Kondisi lapangan yang terbuka dan kemudahan memantau anaknya membuat ayah yang berada tak jauh dari lokasi tak ragu melepaskan BR ke taman bermain. Taman Pakui Sayang yang berada di Jalan AP Pettarani, Makassar, pada Minggu pagi (02/11), bbc.com (15/11/2025).
Balita 4 tahun asal Makassar yang hilang akhirnya ditemukan di Jambi setelah hampir seminggu. BR menjadi korban penculikan yang dijual ke suku anak dalam dengan menggunakan surat palsu.
Modusnya, setelah BR diculik, balita tersebut pertama kali diadopsi melalui facebook dengan harga Rp3 juta. BR kemudian dijual kembali ke Jambi sebesar Rp15 juta. Kemudian bocah tersebut dijual di pedalaman Jambi dengan harga Rp80 juta
Selain BR, nasib Alvaro Kiano Nugroho, bocah 6 tahun dari Pesanggrahan, Jakarta Selatan, masih menjadi misteri. Sudah 8 bulan anak tersebut hilang, dan sampai kini polisi masih terus melakukan pencarian.
Motif di Balik Penculikan Anak
KemenPPPA mencatat 91 kasus penculikan anak di Indonesia, dengan jumlah korban sebanyak 180 anak di kurun waktu 2022-Oktober 2025. (15/11/2025).
Berbagai faktor di balik maraknya penculikan anak diantaranya adalah: Motif ekonomi menjadi salah satu pemicu utama, dimana anak yang masih polos, rentan dan tak mudah mengenali ancaman di sekitarnya sering dijadikan alat untuk mencari keuntungan. Ekonomi yang melambat, pengangguran semakin meningkat, persaingan dunia kerja yang ketat, menjadikan bekerja mencati uang halal terasa berat dan melelahkan.
Akhirnya berpikir instant untuk mendapatkan uang menjadi jalan pintas, salah satunya dengan kasus penculikan anak tersebut.
Dalam rangka mendapatkan uang secara cepat, anak hasil penculikan dijual kembali, dipekerjakan sebagai pengemis di berbagai kota, bahkan motif penjualan organ juga menjadi ancaman serius. Serta tak kalah memprihatinkan, penculikan dengan motif eksploitasi seksual masih sering terjadi.
Realitas yang ada menunjukkan bukti bahwa ruang ramah anak yang menjadi salah satu program pemerintah nyatanya hanya berpegang pada pembangunan infrastruktur tanpa sistem keamanan yang memadai.
Baik keamanan di ruang publik maupun media sosial yang menjadi pintu masuk kejahatan perdagangan anak yang harusnya mampu dibongkar agar kelompok rentan seperti anak- anak tidak terus menjadi korban.
Butuhnya Perlindungan Keamanan yang Memadahi
Mendidik, menjaga dan membesarkan anak di zaman sekarang terasa lebih berat jika dibandingkan zaman dulu. Meski alat komunikasi masih sederhana, tak ada internet bahkan telepon hanya dimiliki kalangan terbatas saja, namun anak- anak dapat bermain bebas di alam terbuka tanpa membutuhkan pendampingan. Anak-anak bermain dengan berbagai macam permainan tradisional bersama teman-teman sebayanya.
Bandingkan dengan kondisi saat ini, idealnya dengan kecanggihan teknologi, level keamanan lebih terjaga, lebih terlindungi karena berbagai macam kejahatan dapat terdeteksi secara dini. Namun secara fakta tingkat keamanan di negeri ini justru menunjukkan alarm berbahaya. Bayangkan saja, seperti kasus BR yang bermain di lapangan terbuka, masih dalam jangkauan penglihatan orang tua pun masih bisa teledor dan akhirnya kasus penculikan terjadi. Apalagi kalau anak-anak dibiarkan bermain sendiri, tentu lebih berbahaya lagi.
Dalam Islam, negara menjadi junnah bagi orang yang dia pimpin. Artinya, ia harus bisa melindungi rakyatnya, termasuk anak-anak. Anak-anak dapat tumbuh dengan aman, menjadi calon-calon pemimpin, calon-calon pejuang dan generasi terbaik. Islam memberikan gambaran, jangankan nyawa dan kehormatan manusia, nasib seekor keledai pun amat diperhatikan oleh pemimpin. Sebagaimana perkataan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. yang masyhur, “Jika ada anak domba mati sia-sia di tepi sungai Eufrat (di Irak), sungguh aku takut Allah akan menanyaiku tentang hal itu”.
Ini gambaran luar biasa, nyawa seekor binatang saja diperhatikan, apalagi menyangkut nyawa dan keamanan warga negaranya. Pemimpin yang merasa dalam pengawasan Allah Swt menjadikan dirinya berusaha optimal mengemban amanahnya. Baik buruknya pelaksanaan amanah tak sekedar hitungan angka di atas kertas, pencitraan dalam pandangan manusia, namun pemimpin yang bertaqwa lebih takut dan memikirkan pertanggungjawaban disisi-Nya. Sebuah kontrol dari dalam diri pemimpin, buah keimanan yang kokoh.
Sebagai pelaksana pemerintahan dan pelindung rakyatnya, Islam mewajibkan negara untuk menjamin keamanan dan ketertiban bagi warganya. Untuk itulah dibentuk institusi kepolisian yang bertugas mewujudkan rasa aman dan tertib di tengah rakyat. Menjaga keamanan adalah tugas kepolisian yang dibentuk dan diangkat oleh negara, bukan dibebankan pada masyarakat. Tugas menjaga keamanan di ranah publik adalah tugas utama kepolisian, bukan semata-mata tanggung jawab pribadi individu rakyat untuk senantiasa waspada atas berbagai aktivitas kriminal yang mungkin terjadi dan sewaktu-waktu mengintai.
Kepolisian dalam Islam hadir secara aktif menjaga keamanan seluruh wilayah negara, baik kota besar maupun kecil, jalan utama maupun jalan sempit di gang-gang warga yang mungkin saja tak terlewati mobil, tapi jalan setapak menuju pemukiman warga.
Kepolisian menjaga keamanan warga sepanjang waktu, 24 jam full dengan kewaspadaan penuh memperhatikan setiap peluang atau kondisi mencurigakan yang membahayakan keamanan dan keselamatan warga negara. Polisi pro aktif atas segala peluang yang mengancam, bukan pasif dan menunggu laporan yang disampaikan masyarakat, lebih- lebih lagi, hanya bergerak saat peristiwa viral di media sosial.
Negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki.
Adanya indikasi kuat bahwa kriminalitas termasuk penculikan anak marak disebabkan oleh faktor ekonomi, maka negara menyediakan berbagai fasilitas lapangan kerja agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan. Jika orang-orang yang wajib bekerja telah berupaya mencari pekerjaan, namun ia tidak memperoleh pekerjaan, sementara ia mampu bekerja dan telah berusaha mencari pekerjaan tersebut, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan atau memberikan berbagai fasilitas yang memadai. Dengan demikian ia dapat bekerja untuk mencari nafkah penghidupan agar dapat memberi nafkah pada keluarga mereka secara mandiri. Sehingga tidak ada kata “terpaksa” berbuat kriminal dengan alasan terdesak memenuhi kebutuhan ekomomi.
Sanksi Tegas Bagi Pelaku Kriminal
Pada saat negara sudah menjalankan fungsi dengan baik, polisi pelindung aktif bagi warga negara, pun ekonomi diatur dengan pengelolaan yang baik sehingga dapat memastikan setiap kepala rumah tangga mendapatkan penghasilan yang layak. Namun jika tindak kejahatan tetap ada, maka negara menerapkan sanksi bagi pelaku kejahatan dengan sanksi yang tegas dan memberikan efek jera.
Sanksi yang diberikan negara, sesuai kadar ketetapan syariah Islam, termasuk di dalamnya kepada pelaku tindak kejahatan terhadap anak. Sanksi yang diberikan sesuai dengan tindak kejahatan atau kekerasan yang dilakukan.
Demikianlah pengaturan dalam Islam untuk melindungi rakyat dari kejahatan dan kriminalitas. Penjagaan terbaik sebagai wujud mengemban amanah yang Allah Swt berikan dan akan dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya kelak. Amanah yang tak hanya
dipandang sebagai tugas di dunia, namun selalu mengkaitkan dengan kontrol dan pengawasan Ilahi Robbi.
