Artikel

MAKNA IBADAH HAJI

Oleh: Ummu Haura
Aktivis/Ibu Rumah Tangga

Sebagaimana diketahui, bulan-bulan ini sudah memasuki bulan-bulan haji tahun 1444 H. Jutaan calon jemaah haji telah mulai berangkat dari berbagai penjuru dunia menuju tanah suci, Mekah al-Mukarramah. Jutaan lainnya telah mengantri untuk bisa berangkat tahun depan. Meski tergolong berat dan melelahkan, minat umat Islam untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci, termasuk dari Tanah Air, tidak pernah surut. Padahal ibadah haji merupakan ibadah yang memerlukan kesiapan fisik yang prima dan dana yang besar.

Kita menyaksikan betapa para calon jamaah haji menyambut tibanya musim haji dengan penuh semangat dengan kegembiraan. Keluarga dan sanak-saudara yang ditinggalkan pun senantiasa memberikan dorongan semangat kepada mereka  yang berangkat. Dengan senang hati, ikhlas, dan gembira, mereka melepas keberangkatan para calon jamaah haji. Semua orang menyambut seruan Allah – Tuhan Pencipta alam semesta dan manusia ini. Demikianlah, ibadah haji telah mengajari kita spirit untuk memenuhi seruan Allah dengan penuh keikhlasan, semangat, merasa ringan, riang -gembira, dan nikmat.

Haji: Ketaatan

Ibadah haji sesungguhnya mengajari kita ketaatan secara total kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Ibadah haji mengajari kita untuk menundukkan hawa nafsu dalam rangka menjalankan seruan Allah dan Rasul-Nya. Ibadah haji mengajari kita untuk mengedepankan seruan Allah dan meneladani Rasulullah Saw. Mencium Hajar Aswad, misalnya, dilakukan tidak lain semata-mata sebagai bukti ketaatan dan ketundukan kita dalam memenuhi seruan Allah sekaligus meneladani RasulNya. Kita masih ingat,  bagaimana ucapan pada saat menunaikan ibadah haji, yaitu ketika Umar bin Al -Khathab hendak mencium Hajar Aswad. Beliau berkata, “Sungguh, aku tahu, engkau hanya sebongkah batu hitam, yang tidak bisa mendatangkan manfaat atau madarat. Andai saja aku tidak melihat Rasulullah menciummu, pasti aku tidak akan sudi menciummu.”

Begitulah sikap Umar, sebagaimana sikap setiap jamaah haji pada umumnya. Mereka taat, patuh, dan tunduk menjalankan semua rangkaian aktivitas dalam ibadah haji, mereka tidak  pernah sekalipun mempertanyakan, apalagi  memprotes, mengapa dalam ibadah haji harus begini atau begitu; mengapa harus ada ritual thawaf mengelilingi Ka’bah, lari-lari kecil (sa’i), melempar jumroh, atau mencium Hajar Aswad, dan sebagainya. Umumnya, yang ada dalam pikiran setiap jamaah haji hanya satu, yakni bagaimana menjalani semua ketetapan Allah dan Rasul-Nya dalam ibadah haji itu dengan penuh keikhlasan, kepasrahan, ketundukan, dan bahkan kehati-hatian karena khawatir ibadah hajinya tidak sah. Sikap demikian didasarkan pada satu keyakinan, bahwa semua itu diperintahkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasul-Nya sehingga wajib dilaksanakan apa adanya tanpa perlu membantah. Memang, kadang-kadang mungkin saja pernah terlintas dalam benak setiap jamaah haji berbagai pertanyaan di dalam benaknya tentang semua itu. Akan tetapi, seruan Allah SWT dan keteladanan yang telah dicontohkan oleh Rasul-Nya tetap mampu memupus semua pertanyaan itu. Yang ada hanyalah ketaatan.

Ketaatan itu juga nampak menonjol dalam penjagaan terhadap tatacara ibadah haji. Setiap jamaah haji selalu menjaga rukun dan syarat ibadah haji dengan penuh kesungguhan dan kehati-hatian. Thawaf mengelilingi Ka’bah, misalnya, tetap dilakukan oleh setiap jamaah haji berlawanan dengan arah jarum jam sebanyak tujuh kali putaran. Tidak ada seorang pun yang berani melakukannya dengan arah berlawanan atau dengan mengurangi jumlah putarannya. Begitupun ketika melakukan sa’i dan melempar jumroh; dilakukan sesuai aturan.

Jelas sekali, setiap jamaah haji benar-benar mengagungkan dan mensakralkan ibadah haji sebagai salah satu perintah dalam Islam yang telah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sikap pengagungan dan pensakralan ini tercermin pada kesungguhan mereka untuk menjalankan rangkaian ibadah haji itu dengan penuh semangat,  kesungguhan, kehati-hatian,  keikhlasan, dan kenikmatan; tanpa pernah merasakan lelah atau terbebani.

Haji: Kesetaraan, Persaudaraan, dan Persatuan

Dalam ibadah haji, kita melihat kaum muslim dari berbagai negeri dengan suku-bangsa, bahasa, asal daerah, warna kulit, status sosial, dan profesi yang berbeda semuanya datang berkumpul di tempat yang sama. Semua mengenakan pakaian yang sama, yaitu pakaian ihram dari lembaran kain putih bersih yang tidak berjahit. Karena itu, disamping mengajari kita kesucian hati dan pikiran, ibadah haji juga mengajari kita juga untuk menanggalkan smua atribut berbau jahiliah. Yang ada dalam setiap pikiran jamaah haji adalah kesetaraan dan kesederajatan di hadapan Allah, tidak ada kulit putih, hitam, atau  bewarna. Tidak ada kepala negara, pejabat, atau rakyat biasa, tidak ada konglomerat atau pengusaha biasa, dan seterusnya. Demikianlah sebagaimana yang diajarkan Rasulullah saw. saat Haji Wada’, ketika beliau bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, dan bapak kalian adalah satu. Ingatlah, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang non-Arab,  juga tidak ada kelebihan bagi orang yang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan takwa. (HR Ahmad, Ibn Hibban  dan Al-Harits).

Dalam ibadah haji, semua manusia dari berbagai penjuru dunia bertemu dan berkumpul di satu tempat. Perbedaan suku-bangsa, bahasa, status sosial, dan latar belakang budaya terbukti tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk bersatu dengan ikatan atas dasar akidah islam. Ibadah haji telah menjadi nyata yang dapat kita indera, bahwa kaum muslim dapat bersatu dalam satu tujuan, yaitu untuk menjalankan ketaatan, ketundukan, dan penghambaan hanya kepada Allah SWT. Mereka sama-sama menyerukan seruan yang sama : Labaykallahummalabayka, labayka la syarika laka labayka (kami datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah, kami datang siap menerima dan menjalankan perintah-Mu. Kami datang memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu. Kami datang siap menerima dan menjalankan perintah-Mu). Inilah seruan yang sama-sama dikumandangkan oleh seluruh jamaah haji. Seruan ini merupakan ikrar untuk datang memenuhi panggilan Allah serta siap menerima dan menjalankan perintah-Nya. Kita yang belum berkesempatan menjalankan ibadah haji pun mengucapkan ikrar tersebut.

Haji: Momentum Dakwah

Satu-satunya seruan haji adalah seruan untuk datang memenuhi panggilan Allah, seruan untuk siap menerima dan menjalankan perintah-Nya. Seruan ini adalah inti seruan dakwah. Jadi, seruan yang  dikumandangkan dalam haji tidak lain adalah seruan dakwah. Ibadah haji tidak lain merupakan momentum dakwah.

Secara praktis, Rasulullah telah menjadikan momen ibadah haji sebagai momen dakwah. Ketika masih di Makkah, beliau selalu memanfaatkan momen ibadah haji untuk menjalin kontak dengan para jamaah haji dan menyampaikan dakwah kepada mereka. Sejak tahun ke-4 kenabian, Rasulullah Saw. mendatangi berbagai kabilah Arab yang datang ke Makkah pada musim haji untuk mendakwahkan Islam. Sejak tahun ke-10, beliau mendatangi para pemimpin kabilah saat musim haji untuk menawarkan Islam dan meminta nushrah (pertolongan) mereka.

Ibn Hisyam meriwayatkan bahwa tidak satu pun dari mereka yang menyambut seruan Rasul itu. Akan tetapi, pada musim haji ke-11 kenabian, datang enam orang pemimpin suku Khazraj dari Madinah yang menyambut seruan beliau. Lalu mereka kembali ke Madinah dan mendakwahkan Islam di sana. Saat musim haji tahun berikutnya, tahun ke-12, sebanyak 12 orang dari kalangan para pemimpin Madinah datang menemui Rasul dan melaksanakan Baiat Aqabah 1. Musim haji tahun ke 13 kenabian, sebanyak 73 orang wakil penduduk Madinah, menemui Rasul dan membaiat beliau dalam Baiat Aqabah ll. Baiat ini merupakan akad penyerahan kekuasaan kepada Rasul saw. dan merupakan akad pendirian Daulah Islam di Madinah.

Rasul saw. tidak hanya menjadikan ibadah haji sebagai momentum dakwah pada fase Makkah saja. Pada tahun ke-6 Hijriah, yakni pada fase dakwah di Madinah, Nabi Saw. juga menjadikan momentum ibadah haji sebagai upaya untuk mengokohkan dakwah Islam di jazirah Arab. Dengan strategi itu pulalah tercapai Perjanjian Hudaibiyah, yang menjadi jalan untuk mengokohkan dakwah Islam di Jazirah Arab, serta memberi kesempatan kepada Rasul untuk mengirimkan surat yang berisi seruan Islam kepada para raja dan para pemimpin. Perjanjian Hudaibiyah, yang merupakan buah dari pemanfaatan momentum haji itu, nantinya juga menjadi pembuka jalan bagi Penaklukkan Makkah (Fath Makkah). Akhirnya, Makkah pun berhasil dibebaskan dari cengkeraman sistem dan aturan kufur, dan kemudian diganti dengan sistem dan aturan Islam. Makkah akhirnya berubah dari Dar al-kufr menjadi Dar al- Islam.

Demikianlah, kita dapat menyaksikan, bagaimana Rasul senantiasa menjadikan momen ibadah haji sebagai momen dakwah untuk menegakkan sistem Islam sekaligus menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia.

Karena itu, sudah selayaknya saat ini pun umat Islam menjadikan ibadah haji ini sebagai momentum dakwah demi tegaknya sistem aturan Islam sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul dulu.

Menjadikan Haji Lebih Bermakna

Realita saat ini menunjukkan bahwa jamaah haji dipimpin oleh banyak Amir dari negara masing-masing. Realita semacam ini justru bertolak belakang dengan realita ibadah haji pada masa Rasul dan para Sahabat. Kala itu, rombongan haji selalu dipimpin oleh hanya satu orang Amir/pemimpin yang ditunjuk Rasul atau beliau pimpin sendiri. Spirit ibadah haji meneladani Rasul mestinya membangkitkan keinginan untuk mewujudkan realita sebagaimana pada masa itu, yaitu membangkitkan keinginan untuk menyatu dalam satu kepemimpinan, di bawah seorang Imam (Khalifah).

Wahai Kaum Muslim: Spirit ibadah haji ini sudah selayaknya terus kita tumbuhkan agar ibadah haji bisa lebih bermakna. Pertama: Kaum muslim seharusnya selalu datang memenuhi panggilan Allah serta siap menerima dan menjalankan perintah-Nya; tidak hanya terbatas dalam ibadah haji, tetapi dalam seluruh  kewajiban syariah yang telah Allah bebankan kepada kita. Bukankah ibadah haji hanyalah satu diantara kewajiban syariah yang dibebankan oleh Allah kepada kita?Bukankah Allah pun telah menyeru kita untuk menerapkan syariah-Nya secara total dalam seluruh aspek kehidupan; dalam ibadah ritual maupun sosial (ekonomi, politik, pendidikan, hukum, dll); dalam level pribadi, keluarga, masyarakat, maupun negara? Bukankah Allah juga telah memerintahkan kita untuk berdakwah dan melakukan amar makruf nahi mungkar? Pantaskah bagi kita, jika hanya mau memenuhi seruan Allah dalam ibadah haji tetapi mengabaikan seruan-seruan-Nya yang lain di luar ibadah haji?

Kedua: siapapun yang menunaikan ibadah haji pasti menghendaki agar ia menjadi haji mabrur. Di antara pertanda haji mabrur adalah bahwa pelakunya pulang dari ibadah menjadi orang zuhud terhadap dunia, bertambah taat kepada Allah, dan semakin mencintai kehidupan akhirat. Karena itu, mereka yang telah menunaikan ibadah haji selayaknya menjadi teladan di tengah-tengah masyarakatnya dalam ketaatannya pada semua perintah Allah, yakni pada syariah-Nya.

Ketiga: ibadah haji seharusnya dijadikan momentum bagi seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia untuk terus mengokohkan persaudaraan dan persatuan, sebagaimana pada masa lalu. Semua itu tidak akan pernah terwujud selama umat Islam terpecah-belah dalam berbagai negara sebagaimana saat ini. Tidak lain, persaudaraan dan persatuan hakiki umat Islam hanya mungkin dapat diwujudkan dalam satu wadah, yakni Khilafah Islamiyyah, sebagaimana hal itu telah dibuktikan selama berabad-abad pada masa lalu.

Ala kulli hal, kita berharap, ibadah haji kali ini akan mendatangkan berkah bagi kaum muslim, khususnya para jamaah haji, yang dibuktikan dengan semakin bertambahnya ketaatan umat islam kepada Allah, sekaligus semakin bersemangatnya mereka menerapkan syariah-Nya. Amin.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.