Artikel

Masih Layakkah Bacaleg Bekas Napi Koruptor Dipilih?

Oleh: Hj. Nuryati Apsari, S.Hut, MM
Aktivis Muslimah dan Pemerhati Generasi

Pesta Demokrasi tidak akan lama akan digelar. Di seluruh penjuru kota, ramai baliho sosok bacaleg (bakal calon legislatif) sebagai bentuk promosi diri. Bermunculan wajah baru namun masih banyak juga wajah lama yang meramaikan pesta rakyat lima tahunan ini.

Bahkan banyak juga bacaleg bekas napi koruptor yang turut mengajukan diri berharap bisa terpilih di ajang pemilu nanti.

Fenomena bacaleg bekas napi koruptor yang ikut mencalonkan diri sebenarnya menimbulkan kontra di tengah-tengah masyarakat. Dan itu terjadi sejak Pemilu 2019 lalu.

Polemik boleh tidaknya eks koruptor menjadi caleg mengemuka setelah KPU melarang mereka nyalon legislatif, sementara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) membolehkan. Bawaslu meloloskan para mantan narapidana kasus korupsi sebagai bakal calon legislatif. Kedua badan ini tidak menemui kesepakatan dan akhirnya masalah ini diserahkan ke MA, yang memutus uji materi PKPU.

Mahkamah Agung (MA) telah memutus uji materi Pasal 4 ayat (3), Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/Kota terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Kamis 13 September 2018. Pasal yang diuji mengenai larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi, mantan bandar narkoba dan eks narapidana kasus kejahatan seksual pada anak untuk maju menjadi calon legislatif.

Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg bertentangan dengan UU Pemilu. Sedangkan untuk kasus kejahatan luar biasa lainnya seperti peredaran narkoba, kekerasan seksual terhadap anak tidak dianggap bertentangan dengan peraturan yang berlaku.

Dengan adanya putusan uji materi tersebut, maka mantan narapidana kasus korupsi dapat mencalonkan diri sebagai caleg dengan syarat-syarat yang ditentukan UU Pemilu. Berdasarkan UU Pemilu, setiap orang yang memiliki riwayat pidana atau pernah menjadi terpidana dibolehkan mendaftar sebagai caleg namun wajib mengumumkannya ke publik. Akan tetapi mekanisme untuk mengumumkan ke publik juga belum ada aturan rincinya, artinya ini juga dapat diterjemahkan secara berbeda oleh setiap orang.

Sementara PKPU yang melarang parpol mendaftarkan mantan narapidana kasus korupsi sebagai caleg dianggap bertentangan dengan UU Pemilu, karena UU Pemilu membolehkan dengan persyaratan-persyaratan tertentu.

Selain Bawaslu, yang juga tidak sependapat dengan PKPU adalah kalangan DPR dan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Yasonna merujuk pasal 240 ayat 1 UU 7/2017 tentang Pemilu, yang menyebut mantan narapidana yang telah menjalani hukuman lima tahun atau lebih, dapat menjadi caleg, asalkan mengumumkan kasus hukum yang pernah menjeratnya. Ia mengatakan KPU tak berwenang membatasi hak politik warga negara, termasuk bekas koruptor.

Sementara itu dari kalangan pegiat anti Korupsi, seperti dari lembaga  Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai keputusan yang dikeluarkan oleh MA ini telah melewatkan kesempatan emas untuk mewujudkan pemilu yang lebih demokratis dan berintegritas dengan memutus mantan narapidana kasus korupsi, mantan bandar narkoba, dan kejahatan seksual pada anak bisa maju menjadi calon legislatif.

ICW berpendapat bahwa MA tak mempertimbangkan dampak yang terjadi jika mantan napi kejahatan tersebut menjadi anggota DPR atau DPRD. Selain itu menurut ICW putusan yang dikeluarkan MA ini terdapat kejanggalan-kejanggalan, karena jika dalam pertimbangan putusan MA yang menganggap bahwa Pasal 4 ayat 3 PKPU Nomor 20 tahun 2018 adalah bertentangan dengan Pasal 204 UU Pemilu Nomor 7 itu justru keliru dikarenakan pengaturan dan objeknya berbeda. Hal ini karena dalam Pasal 204 UU Pemilu Nomor 7 mengatur syarat calon indvidu. Sedangkan Pasal 4 ayat 3 syarat pencalonan dimana otoritas dan ruang lingkupnya adalah partai politik ini adalah dua hal yang berbeda menurut pendapat dari ICW. Banyak kalangan menilai bahwa PKPU yang diperdebatkan merupakan suatu upaya konkrit memutus korupsi dari hulunya, yaitu dari penjaringan di parpol. Jika parpol dapat memberikan calon yang bersih dan berintegritas harapannya akan membantu mengurangi kasus korupsi yang masih menjadi pekerjaan besar di Indonesia. (sumber: hmjan.fisip Unsoed.ac.id)

Polemik terkait hal tersebut kembali mencuat pada pemilu yang akan digelar dalam beberapa bulan ke depan. Dilansir dari VOA Indonesia.com, kabar bahwa mantan narapidana kasus korupsi boleh menjadi calon anggota legislatif kembali dipersoalkan menjelang Pemilihan Umum 2024.

Peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, Senin (29/8), menegaskan mantan narapidana kasus korupsi yang maju menjadi calon anggota legislatif merupakan bentuk hilangnya rasa malu pada masyarakat. Sebab, sejatinya mereka pernah berkhianat atas mandat yang pernah diberikan oleh masyarakat.

Dia menambahkan kalau partai kembali mencalonkan mantan koruptor dalam Pemilihan Umum 2024 maka hal ini memicu pertanyaan mengenai proses kaderisasi dalam partai politik yang bersangkutan.
“Apakah sudah sebegitu sulit mencari orang-orang yang bersih rekam jejaknya. Apakah di partai politik itu cukup sulit untuk menentukan nama-nama yang lebih berintegritas ketimbang harus mencalonkan orang-orang yang sempat mendekam di lembaga pemasyarakatan dan sudah berkekuatan hukum tetap terbukti melakukan tindak pidana korupsi,” kata Kurnia.

Kurnia Ramadhana mengatakan jika banyak mantan koruptor mencalonkan diri lagi dan mendapat dukungan partai politik, menunjukkan sedang bermasalahnya demokrasi di Indonesia. Ini dikarenakan bukan tidak mungkin mereka mengulangi perbuatan korupsinya lagi di kemudian hari
Inilah.com, Senin 28 Agustus 2023 memberitakan bahwa: Ramai mencuat belasan nama calon anggota legislatif (caleg) eks koruptor. Komisi Pemilihan Umum (KPU) diyakini tak berani mengumumkan data riwayat hidup para caleg mantan napi korupsi tersebut ke publik.

Ketidakberanian KPU dalam mengungkap data para caleg eks koruptor itu tak terlepas dari andil partai politik (parpol). “KPU-nya, kan dulu dipilih oleh parpol, dia tersandera juga oleh parpol. Ya inilah dinamika dalam berdemokrasi, banyak persoalan yang harus kita kritisi bersama,” ucap Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin kepada Inilah.com di Jakarta, Minggu (27/8/2023).

Ia menilai tingkat keterpilihan para caleg eks koruptor ini terbilang besar, sebab demokrasi di Indonesia masih dibayangi oleh fenomena politik uang. Hal ini juga membuktikan bahwa gelaran pemilu di tanah air masih bersifat prosedural belum sampai ke tahap substantif.
“Makanya caleg-caleg yang eks koruptor itu bisa terpilih, mungkin terpilih dan berpeluang terpilih. Mereka nyaleg lagi, maju lagi tanpa malu-malu, tanpa basa basi, seolah-olah mereka sudah bersih lagi,” tutur dia menambahkan.
Ia menegaskan, fenomena ini sudah tentu mencederai nurani masyarakat. Tapi apa mau dikata, menurut Ujang, fenomena ini merupakan salah satu risiko yang harus ditanggung dalam proses pendewasaan demokrasi.
Tapi ya begitulah demokrasi kita, masih saja berkutat pada persoalan-persoalan yang tidak etis, tidak moral dan sebagainya,” ucap dia. (Sumber: inilah.com)

Berbagai fakta di atas menunjukkan kekuatan modal dari bacaleg eks napi koruptor merupakan faktor pendukung utamanya hingga mereka bisa maju bersaing dalam pemilu. Dan untuk bisa bersaing dalam pesta demokrasi memang membutuhkan dana yang besar. Walau banyak orang yang baik dan amanah tapi minim modal tentu sulit untuk bersaing dalam meraih suara terbanyak.

Mencermati kebolehan bacaleg eks napi koruptor pasti memunculkan kekhawatiran akan resiko terjadinya kembali korupsi. Apalagi sanksi hukum yang diberlakukan saat ini memang tidak mampu memberikan efek jera. Dan yang lebih mirisnya lagi hukum yang ada saat ini pun bisa dibeli walau memang tidak murah. Kenyataan berbicara jual beli hukum adalah bukan hal baru. Inilah salah satu fakta buruk penerapan sistem demokrasi kapitalis saat ini.

Kemudian terkait permasalahan korupsi merupakan permasalahan sistemik dan ibarat sudah mendarah daging di negeri yang menerapkan sistem demokrasi ini. Walaupun KPK sebagai lembaga khusus yang didirikan sejak tahun 2003 untuk memberantas korupsi, bukannya berkurang tapi malah terus bertambah bahkan kian merajalela.

Seperti kita ketahui dalam demokrasi rakyat memilih calon-calon legislatif dan eksekutif. Agar terpilih, mereka membujuk rayu rakyat melalui program kampanye Pemilu yang sangat mahal. Kebutuhan dana kampanye yang besar inilah yang menjadi sumber persoalan.
Kemudian, darimana sumber dana yang besar itu mereka peroleh? Apakah dari dana pribadi? Tentu tidak! Ternyata sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka dapat sumbangan dari para pengusaha dan konglomerat. Akibatnya, setelah terpilih mereka membuat peraturan perundang-undangan yang dihasilkan cenderung berpihak kepada pengusaha, serta kebijakan pemerintah juga lebih mengutamakan kepentingan pengusaha. Akhirnya demokrasi lebih berpihak kepada konglomerat daripada rakyat. Alih-alih memikirkan bagaimana mensejahterakan rakyat, mereka lebih sibuk memikirkan bagaimana mengembalikan modal kampanye yang besar yang sudah dikeluarkan.

Miris, dalam sistem demokrasi meniscayakan terjadinya kongkalikong antar penguasa dan pengusaha. Penguasa memberikan proyek-proyek besar kepada pengusaha, sebagai imbalannya pengusaha memberikan fee kepada penguasa tadi. Maka bisa dimengerti bila kemudian banyak penguasa dan pejabat publik terlibat korupsi.

Dari gambaran di atas, bacaleg eks napi koruptor sungguh tidak layak lagi untuk dipilih menjadi wakil rakyat. Bisa kita pahami bahwa kriteria tokoh-tokoh yang akan mewakili rakyat dalam sistem demokrasi hanya bertumpu pada popularitas dan kekayaan. Diperparah dengan paham sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, sehingga sistem perpolitikan saat ini kering dari nilai-nilai agama. Orientasi para wakil rakyat yang terpilih bukan lagi amanah dan ibadah melainkan untuk meraih keuntungan materi sebanyak- banyaknya dari jabatan dan kekuasaannya. Korupsi merupakan salah satu cara mereka untuk memperkaya diri sendiri.

Oleh karena itu, untuk bisa menghadirkan pemimpin dan para wakil rakyat yang amanah dan adil hanyalah melalui sistem Islam. Islam telah mensyaratkan seorang pemimpin dan wakil umat adalah orang yang beriman dan bertakwa sehingga amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai penyambung lidah rakyat.

Dari sisi hukum persanksian dalam Islam, hukum Islam tegas dan mampu memberikan efek jera sehingga perilaku korupsi tidak akan terulang seperti yang terjadi dalam sistem demokrasi saat ini.

Melalui penerapan syariah Islam secara kaffah pemberantasan korupsi dilakukan dengan sangat efektif, baik peran pencegahan (preventif) dan penindakan (kuratif).

Secara preventif, antara lain: Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (Syakhshiyah Islamiyah). Nabi SAW bersabda, ”Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat”. (HR al-Bukhari)

Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar Bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasihat kepada bawahannya.

Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Nabi SAW bersabda, “Siapa  saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya istri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan”. (HR Ahmad)

Keempat, Islam melarang menerima suap atau hadiah bagi para aparat Negara. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah diberi gaji, maka apa saja yang diambil diluar itu adalah harta yang curang”. (HR Abu Dawud)

Kelima, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar Bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.

Keenam, adanya teladan dari pimpinan. Islam menetapkan kalau seseorang memberikan teladan yang bagus, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya. Begitu sebaliknya, jika memberi teladan yang buruk, dia juga akan mendapatkan dosa dari yang mengikutinya.

Ketujuh, pengawasan oleh negara dan masyarakat.

Kalau memang korupsi itu telah terjadi, syariah Islam mengatasinya dengan langkah kuratif, yakni penindakan dengan memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat-ringannya hukuman disesuaikan dengan berat-ringannya kejahatan (Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-‘uqubat, hlm. 78-89).

Wallahu a’lam

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.