Oleh: Z Pengaduan Lubis
Demikianlah keberadaannya adat-istiadat dalam kehidupan masyarakat Mandailing sejak pra-kolonial sampai sekarang. Dan untuk membuat aktifitas kehidupan masyarakat berjalan teratur seperti yang dikehendaki oleh adat sebagai penjelmaan olong (cinta dan kasih sayang), maka pada masa lalu di setiap komunis huta terdapat satu lembaga yang menjalankan pemerintahan.
Dalam lembaga pemerintahan tersebut duduk tokoh-tokoh pemimpin tradisional yang dinamakan Namora Natoras dengan dikepalai oleh seorang yang berstatus Raja Panusunan Bulung atau Raja Pamasuk. Raja Panusunan Bulung merupakan kepada pemerintahan di Huta induk (mother village), sedangkan Raja Pamusuk merupakan kepala pemerintahan di Huta yang merupakan pengembangan dari suatu Huta induk.
Satu Huta induk dengan sejumlah Huta yang merupakan “anak” atau pengembangannya berada dalam satu ikatan adat yang dinamakan janjian. Tapi masing-masing huta menjalankan pemerintahan secara otonom. Dan pemerintahan dijalankan secara demokratis dalam arti segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan pemerintahan dalam suatu huta hanya dapat dilaksanakan setelah disetujui berdasarkan mufakat oleh para tokoh Namora Natoras yang duduk dalam lembaga pemerintahan secara representatif dari penduduk huta.
Dan raja sebagai kepala pemerintahan tidak punya wewenagn atau otoritas untuk berbuat sesuka hati dalam hal pemerintahan tanpa persetujuan dari para tokoh Namora Natoras.
Sidang-sidang untuk urusan pemerintahan, urusan sosial dan pengadilan di satu huta diselenggarakan di Balai Adat yang dinamakan Sopo Sio Rancang Magodang atau Sopo Godang yang bangunannya terletak berdekatan dengan istana raja yang dinamakan Sopo Sio Dalom Magodang atau Bagas Godang. Adanya bangunan istana raja atau Bagas Godang dan bangunan Sopo Godang di satu tempat pemukiman, menandakan bahwa tempat pemukiman itu merupakan satu huta atau banua yang berstatus sebagai kerajaan dengan pemerintahan yang otonom.
Pada masa pemeritahan kolonial Belanda, pemerintahan tradisional Mandailing yang semula dijalankan secara demokratis, sedikit demi sedikit mulai kehilangan sifatnya yang demokratis, karena dengan kekuasaannya yang kolonialistis para penguasa Belanda menjadikan tokoh-tokoh Raja Panusunan Bulang dan Raja Pamusuk sebagai alat pemerintah kolonial untuk menindas penduduk dengan pengutipan belasting (pajak) dan pelaksanaan rodi (kerja paksa).
Untuk itu penguasa kolonial memberi mereka “gaji” dan memperbesarkan kekuasaan dan hak-hak mereka dan mengangkat Raja Panusunan Bulung menjadi Kepala Kuria dan Raja Pamusuk menjadi Kepala Kampung. Pada akhirnya raja-raja yang semual tunduk kepada kedaulatan rakyat yang diwakili oleh tokoh-tokoh Namora Natoras yang duduk dalam lembaga pemerintahan, berubah menjadi raja-raja feodalistis yang memaksakan kehendaknya kepada rakyat dengan menggunakan dukungan pemerintah kolonial Belanda.
SISTEM RELIGI
Masuknya penjajahan atau pemeritahan kolonial Belanda ke Mandailing terjadi pada waktu Belanda sedang berperang dengan Kaum Paderi di Minangkabau pada tahun 1830-an. Sebelum Belanda masuk ke Mandailing, beberapa tahun lamanya Kaum Paderi sudah lebih dahulu menguasai Mandailing.
Salah satu tujuan penting dari Kaum Paderi menguasai Mandailing ialah untuk memperluaskan pengembangan agama Islam. Karena sebelum Kaum Paderi memasuki dan akhirnya menguasai Mandailing, penduduknya menganut animisme yang dinamakan pelebegu (memuja roh nenek moyang). Tapi setelah Kaum Paderi menguasai seluruh Mandailing, dengan cepat sekali hampir semua penduduknya menganut agama Islam yang dikembangkan oleh Kaum Paderi.
Sejalan dengan itu, segala sesuatu yang berbau anismisme dengan cepat pula hilang atau dilenyapkan dari kehidupan masyarakat Mandailing dan berganti dengan yang Islam. Dan sampai saat ini orang-orang Mandailing terkenal sebagai pemeluk agama Islam yang cukup taat.
Pada waktu Belanda sudah berhasil mengalahkan Kaum Paderi dan mulai menduduki Mandailing, missionaris mulai mencoba menggembangkan agama Nasrani di kalangan penduduk. Tapi sama sekali tidak berhasil karena penduduk di Mandailing sudah lebih dahulu menganut agama Islam. Oleh karena itu dari dahulu sampai sekarang agama Nasrani tidak berkembang di Mandailing.
Ketika Belanda mulai memperkuat kedudukannya di Mandailing sejak pertengahan tahun 1830-an, peperangan antara Kaum Paderi dan Belanda masih terus berlangsugn, termasuk di Mandailing. Karena kekuatan Belanda lebih unggul, maka banyak di antara orang-orang Mandailing pengikut Paderi yang meninggalkan kampung halaman mereka untuk menghindari penjajahan Belanda. Di antara mereka banyak yang pindah ke Malaya (Malaysia sekarang) dan menetap turun-temurun di negeri ini sampai sekarang.
BAHASA, AKSARA DAN SASTRA
Suku bangsa Mandailing mempunyai bahasa dan aksara sendiri. Perkembangan peradaban masyarakat Mandailing di masa lalu telah menumbuhkan bahasa Mandailing menjadi satu bahasa yang barangkali boleh dikatakan unik. Karena bahasa Mandailing terdiri dari 5 ragam bahasa yang satu sama lain berlaian kata-katanya dan konteks penggunaannya.
Kelima ragama bahasa tersebut, dalam bahasa Mandailing masing-masing dinamakan:
(1). Hata somal, yaitu ragam bahasa yang digunakan terutama dalam percakapan sehari-harian.
(2). Hata andung, yaitu ragam bahasa yang digunakan pada waktu meratapi jenazah. Selain itu digunakan pula oleh pengantin perempuan untuk meratap pada waktu akan meninggalkan keluarganya karena dibawa ke rumah suaminya. Di samping itu digunakan pula untuk mengungkapkan (menuliskan) perasaan duka cita dan nasib malang yang menimpa diri seseorang. Hata andung juga digunakan secara bercampur dengan hata somal untuk pidato-pidato yang disampaikan dalam upacara adat. Sastra (lisan) Mandailing juga banyak menggunakan hata andung. Oleh karena itu ragam bahasa tersebut pantas digolongkan sebagai ragam bahasa sastra.
(3). Hata teas dohot jampolak, yaitu rgama bahasa caci-maki.
(4). Hata sibaso, yaitu ragam bahasa yang khussu digunakan dalam pengobatan tradisional, misalnya untuk mantra dan jampi-jampi dan juga digunakan oleh Sibaso (shaman) pada waktu mengalami kesurupan (trance).
(5). Hata parkapur, yaitu ragam bahasa sirkumlokusi yang khusus digunakan oleh orang-orang berada di hutan.
Selain dari kelima ragam bahasa tersebut, pada dahulu masyarakat Mandailing memiliki pula ragam bahasa yang dinakan hata bulung-bulung (bahasa daun-daunan). Ragam bahasa tersebut dinamakan hata bulung-bulung karena yang digunakan sebagai kata-katanya ialah daun tumbuh-tumbuhan. Pada masa dahulu ragam bahasa daun-daunan itu, terutama digunakan oleh muda-mudi untuk mengungkapkan isi hati mereka ketika dilanda oleh percintaan.
Sayang sekali sebagian besar dari ragam bahasa yang sangat kaya itu sudah hampir punah sama sekali karena orang-orang Mandailing tidak membiasakan diri lagi untuk menggunakannya.
Selain mempunyai bahasa sendiri, suku bangsa Mandailing juga mempunyai aksara yang dinamakan surat tulak-tulak. Pada masa dahulu aksara tersebut terutama digunakan untuk menuliskan ilmu pengobatan, mantra-mantra, ilmu perbintangan (astronomi) dan andung-andung (ratapan) dalam kitab tradisional yang terbuat dari kulit kayu atau beberapa ruas bambu. Kitab tradisional tersebut dinamakan pustaha.
Suku bangsa Mandailing memiliki sastra tradisional terdiri dari prosa dan puisi. Kebanyakan di antaranya berupa sastra lisan, tapi ada juga yang tertulis, seperti andung-andung (ratapan) atau kisah penderitaan yang dituliskan pada ruas-ruas bambu.
Dalam tradisi sastra Mandailing terdapat dua macam prosa yang paling populer, yang masing-masing dinamakan turi-turian dan hobarna. Turi-turian banyak berupa mite (mitos) dan legenda yang pada masa dahulu dipandang sebagai cerita-cerita biasa (tidak dipandang sakral). Pada masa dahulu turi-turian yang banyak menggunakan ragam bahasa sastra (hata andung) dituturkan oleh penutur cerita yang dinamakan parturi.
Puisi dalam sastra Mandailing dinamakan ende-ende. Kebanyakan di antaranya berbentuk pantun atau syair.
Sastra yang dimiliki oleh suku bangsa Mandailing tidak terbatas pada sastra yang bersifat tradisional saja, tapa ada juga yang dapat digolongkan sebagai sastra non-tradisional (modern), yaitu yang berupa novel yang banyak ditulis dan diterbitkan sampai tahun 1930-an.
Pada masa ini sastra Mandailing sudah mengalami pasang surut karena warga masyarakat Mandailing kebanyakan tidak lagi menggemarinya atau sudah sangat mengabaikannya. (bersambung)