Artikel

PENDIDIKAN YANG MERAKYAT

 

(Refleksi Hari Pendidikan Nasional)

 

Oleh:  Abdul Mujib Nasution
Dosen STAIM dan IAIN Padang Sidimpuan

 

Willem Iskandar, tokoh pendidikan berskala nasional jauh sebelum Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, beliau sudah mendirikan lembaga pendidikan untuk menghasilkan guru yang berbasis kerakyatan di tahun 1862. Selain seorang seniman, penulis dan tokoh publik pada masa itu, beliau juga seorang cendikiawan pertama dari tanah Gordang Sambilan Mandailing Natal yang menempuh pendidikan formal hingga ke Netherland ditahun 1857.

Menurut Basyral Hamidy Harahap dalam bukunya Sibulus-Bulus Sirumbuk-Rumbuk (edisi Dwi Bahasa) kemungkinan besar Willem Iskandar adalah guru paling muda dalam sejarah dunia pendidikan Indonesia karena sudah mulai aktif mengajar pada usia 15 tahun dan sudah mendirikan sekolah guru di Mandailing.

Ahli sejarah dan tokoh pendidikan internasional, Prof. Dr. Hendrik Kroeskamp, menulis bahwa orang Mandailing  boleh berbangga hati atas prestasi Willem Iskandar sebagai satu di antara orang Indonesia pertama yang telah berhasil membuktikan kemampuannya memimpin lembaga pendidikan yang merakyat.

Van der Chjis (gubernur Jenderal Hindia Belanda) waktu itu menyaksikan Willem Iskandar mengajarkan dasar-dasar fisika dalam bahasa Mandailing dengan metode sendiri, memakai alat peraga lokal yang dikenal baik oleh murid-muridnya. Van der Chijs kagum terhadap kemampuan Willem Iskandar dalam bidang matematika, fisika, bahasa Melayu, Mandailing, dan bahasa Belanda. Van der Chijs menyaksikan murid-murid Willem iskandar membuat esai dan surat-menyurat dalam tiga bahasa tersebut.

Willem Iskandar adalah turunan raja berdarah biru, namun berpenampilan sederhana dan bersahaja, beliau mengajar tidak membedakan anak didik keturunan raja atau kuria dengan rakyat biasa, semuaya diajak untuk bersekolah. Willem mengajari mereka duduk sama rendah, dan berdiri sama tinggi. Willem berjuang Membangun budaya bangsa yang merdeka dan berjiwa maju selaras dengan kodrat bangsa dan dengan spirit menuju penghidupan baru yang lebih sejahtera dan lebih mandiri.

Berikutnya Ki Hadjar Dewantara, selain memperkenalkan metode among (ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani) dalam proses pembelajaran, sangat menekankan pendidikan berbasis kerakyatan sebagai jalan untuk memperbaiki nasib rakyat. Pada Kongres I Taman Siswa di Yogyakarta, 20 Oktober 1923, Ki Hadjar Dewantara menyampaikan dua gagasan pokok sebagai bagian dari tujuh asas Taman Siswa, yaitu pendidikan berasas pada kebudayaan sendiri dan pendidikan yang merakyat. Pendidikan dan pengajaran, menurut Ki Hadjar Dewantara, harus mengena pada rakyat secara luas dan tidak boleh memisahkan orang-orang terpelajar dari penghidupan rakyat senyatanya.

Untuk itu, pendidikan nasional mesti diselenggarakan selaras dengan kodrat bangsa. Hanya dengan cara itu ketertinggalan masyarakat pribumi dapat dihilangkan dan kedamaian dalam kehidupan bersama dapat diwujudkan. Ki Hadjar Dewantara sangat kecewa menyaksikan sistem pendidikan dan cara pengajaran yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Ia mengkritik pelaksanaan pendidikan dan pengajaran pemerintah yang terlampau menekankan aspek keterampilan dan intelektualisme yang berorientasi pada kepentingan Kolonialisme Barat.

Dari kedua tokoh pendidikan di atas (Willem Iskander dan Ki Hadjar Dewantara), mereka satu pandangan bahwa “pendidikan seharusnya menjadi upaya pembudayaan serta jalan menuju penghidupan baru yang lebih sejahtera dan lebih mandiri”.

 

BELUM MERAKYAT

Kini setelah 82 tahun berlalu, kekecewaan Willem dan Ki Hadjar tidaklah sirna, malah menjalari batin bangsa. Pendidikan dan pengajaran, meskipun dilaksanakan oleh pemerintah ternyata tidak mampu memperbaiki nasib dan martabat bangsa. Kenyataannya, kedamaian hidup yang didambakan rakyat berkat kesejahteraan dan perlindungan oleh negara masih jauh panggang dari api. Rakyat mati konyol karena tersiksa sebagai TKI di luar negeri. Geng Begal motor, perampokan di siang bolong, pemerkosaan, pergaulan bebas muda mudi, tawuran antar pelajar adalah  fakta yang menandakan bahwa negara belum sepenuhnya memberikan perlindungan terhadap segenap elemen bangsa dan seluruh tumpah darah masih sangat lemah. Sekali lagi masih sangat lemah.

Pendidikan dan pengajaran, seperti dikhawatirkan oleh Ki Hadjar berjalan tidak berasas pada kebutuhan sendiri sehingga tidak mampu membebaskan diri dari ketergantungannya pada pihak asing. Dewasa ini tujuh dari sembilan bahan pokok serta berbagai sumber daya alam kita diimpor dari dan dikuasai oleh bangsa lain. Kendati negeri ini disebut agraris – meski dua pertiga wilayahnya berupa lautan – dan memiliki sekolah menengah, fakultas/jurusan/program studi, hingga institut teknologi pertanian, namun faktanya pertanian tidak mengalami kemajuan yang berarti. Perekonomian bangsa Indonesia tidak bersoko guru, baik pada pertanian maupun kelautan (perairan). Sementara 60 persen rakyat masih hidup dari pertanian, yang 80 persen di antaranya hidup miskin.

Pendidikan kita sepertinya juga telah gagal membangun budaya bangsa yang merdeka dan berjiwa maju. Pertama, spirit (semangat) dan pola pikir sebagian besar anak negeri ini masih melanjutkan gaya nenek moyang yang hidup dalam alam yang serba berkecukupan. Sifat serba ingin cepat, mudah, dan santai – meski melanggar aturan – masih menjadi ciri kepribadian bangsa. Kinerja belum menjadi nilai dan budaya yang dianut oleh sebagian besar masyarakat. Sementara itu, tantangan terus berubah, bahkan semakin hari semakin berat.

Kedua, perilaku irasionalitas masih sangat dominan di tengah masyarakat. Alam mitis dan mistis masih bersemayam kuat dan semakin disuburkan melalui berbagai program  televisi. Emosionalisme yang ditandai oleh amuk dan keberingasan lewat kemasan film marak ditelevisi, terutama setelah reformasi, semakin menjadi.  Ketiga, alam pikiran bangsa ini belum pulih dari luka memar keterjajahan sehingga penampilan sebagian para pemimpin dan pejabat kita persis perilaku para “meniir” dan “demang” di masa kolonial:  menindas dan korupsi.

Di sisi lain, mentalitas makin menunjukkan sindrom minder yang akut, terutama terhadap dunia Barat, kita seolah-olah minder menunjukkan identitas budaya ketimuran padahal budaya ketimuran tersebut begitu elegan, jauh dari budaya glemour orang barat. Namun yang terjadi alih-alih menjaga budaya timur kita, malah banyak diantara kita justru menjadi agen budaya barat.

 

Mengigau Tentang Kelas Dunia

Di tengah kegalauan bangsa ini, dunia pendidikan kita tiba-tiba seperti mengigau tentang ”kelas dunia” yang tidak jelas maksudnya: Igauan itu adalah “world class university (universitas bertaraf dunia internasional) ataupun (rintisan) sekolah bertaraf internasional”. Gagasan ”kelas dunia”, disadari ataupun tidak, muncul dari naluri dan kerangka berpikir Darwinisme Sosial yang melihat setiap perkembangan selalu dalam relasi konkurensi yang harus dimenangi. Kosakata persaingan atau kompetisi kemudian menjadi visi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempertaruhkan tahun 2025. Visi komersial ini menuntun segenap upaya pendidikan kita untuk melihat keluar, mengacu pada dan menggunakan standar-standar (yang dikira) internasional, misalnya negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Orientasi berpikir demikian membuat jalannya pendidikan tidak hanya mengabaikan nilai-nilai dan kebutuhan riil kita atau ”tidak selaras dengan kodrat bangsa” menurut ungkapan Ki Hadjar Dewantara, tetapi juga menjadi diskriminatif. Jika dahulu anak demang, pesirah, serta keluarga bangsawan dan orang kaya yang dapat menikmati pendidikan yang baik, sekarang pun serupa pula adanya.

Ketidakselarasan dengan kodrat bangsa dan pola konsumtif – diskriminatif telah membuat para tokoh seperti Willem Iskandar di Mandailing Natal dan Ki Hadjar Dewantara di Jawa berjuang agar pengajaran dan pendidikan berlangsung sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan bangsa serta dapat diperoleh rakyat luas. Mereka paham, jika pendidikan yang baik tidak didapatkan oleh sebagian besar rakyat, bangsa ini akan terus melarat. Dirgahayu Pendidikan Indonesia….!!!

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.