Oleh: Sri Edi Swasono
Demokrasi adalah Kerakyatan. Demokrasi adalah ‘Daulat Rakyat’, bukan ‘Daulat Tuanku’, dan bukan pula ‘Daulat Pasar’. Pemerintahan demokratis adalah pemerintahan cap rakyat, bukan cap tuanku, bukan cap pemodal, bukan pula cap partai ataupun cap teknokrat, bukan pula cap penguasa atau pun cap proletar.
Kedaulatan rakyat tidak identik dengan pemilihan langsung yang diricuhkan saat ini. Pemilihan langsung hanya ‘secuil kecil’ dari wujud dan ekspresi kedaulatan rakyat. Dalam Negara Republik Indonesia yang memiliki konstitusi, wujud ideal-normatif dari kedaulatan rakyat adalah adanya MPR yang terdiri dari DPR ditambah Utusan-Utusan dari Daerah-Daerah dan Golongan-Golongan demi memenuhi paham kebersamaan Indonesia berupa ‘semua diwakili’ dan bukan ‘semua dipilih’.
Kedaulatan rakyat yang utuh dan substantif adalah terpeliharanya keseluruhan hak-hak hukum, hak-hak sosial-ekonomi dan hak-hak asasi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, yaitu yang “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dst…”, serta terselenggaranya hak-hak asasi warganegara dalam bingkai hak-hak sosial-politiknya itu, yaitu terlaksanakannya Pasal-Pasal UUD 1945, terutama Pasal 23, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34.
Pemilihan langsung tidak menjamin hak-hak asasi dan hak-hak sosial-politik rakyat, dihormati dan diwujudkan. Bahkan tidak dijamin kepala-kepala pemerintahan baik pusat maupun daerah yang terpilih secara langsung benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat pemilih. Partai-partai ‘mengambil-oper’, bahkan acapkali telah terbukti merampas kedaulatan rakyat sejak awal proses pencalonan-pencalonan mereka.
Perlu sebagai contoh dikemukakan sebagai berikut, petani-petani kita ikut dalam pemilihan langsung dalam pileg-pileg dan pilkada-pilkada. Di situkah para petani menampilkan kedaulatannya secara penuh? Oleh mereka yang ‘disoriented’ dan berpandangan ‘pop’, ketidakikutsertaan mereka dalam Pilkada (DPRD-red) dikatakan sebagai perenggutan dan pelecehan mutlak kedaulatan rakyat.
Perampasan kedaulatan rakyat yang sebenarnya adalah bila petani yang ikut memilih langsung, terbukti tidak berdaulat sama sekali menghadapi keberdaulatan pemodal dan importir produk-produk pertanian, khususnya beras, yang dibiarkan saja oleh negara sehingga menyengsarakan petani kita. Daulat pasar-lah yang menggusur daulat rakyat. Pembangunan menjadi penggusuran orang miskin bukan penggusuran kemiskinan meskipun Pilkada dilaksanakan langsung!
LEGITIMASI TUNGGAL
Pilkada langsung mengabaikan legitimasi tunggal (single legitimacy) seperti dikehendaki oleh Konstitusi kita, pemilihan langsung menumbuhkan legitimasi ganda (double legitimacy). Apapun Sila ke-4 Pancasila menghendaki demokrasi perwakilan, bukan langsung. Pilkada langsung menempatkan Kepala-Kepala Daerah memperoleh legitimasi yang sama dengan DPRD-DPRD yang juga dipilih langsung oleh rakyat.
Legitimasi ganda ini akan menimbulkan kerancuan tentang posisi kepala eksekutif terhadap badan legislatif, demikian pula sebaliknya.Seharusnya adalah bahwa kepala eksekutif yang “untergeordnet” terhadap badan legislatif, bukan “neben”, meskipun kehidupan keduanya diharapkan dalam posisi “partnership”.
Dalam suatu kedaruratan tertentu, kerancuan double legitimacy berakibat representasi kerakyatan saling setara pada badan legislatif dan badan eksekutif, yang tentu saling bisa memakzulkan satu sama lainnya.
Menyangkut pemilihan langsung versus pemilihan tidak langsung. Maka deviasi-deviasi tatakelola pemerintahan negara yang baik(good governance), baik yang berupa korupsi kekuasaan, korupsi ideologi ataupun tindak kriminal keuangan negara, seharusnya diposisikan sebagai masalah khusus terpisah yang temporer, yang harus diatasi secara tersendiri, dan tidak direspon sebagai isu yang seolah-olah dianggap permanen.
Sesungguhnya apa yang dikemukakan di atas adalah himbauan agar kita tidak terjebak pada kasus-kasus sesaat, kita harus tetap memikirkan konteksnya dengan masa depan yang benar berdasar single legitimacy. Jangan sampai reformasi menjadi deformasipermanen.
Perlu pula dicatat bahwa MPR adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, tidak seharusnya berubah menjadi MVR (Majelis Voting Rakyat). Demikian pula DPR jangan terdistorsi dari hakikatnya sebagai Dewan Perwakilan Rakyat sehingga berubah menjadi Dewan Perwakilan Partai.
Saya kutipkan munculnya istilah kedaulatan rakyat pertama kalinya:
“…Bagi kita, ra’jat itoe jang oetama, ra’jat oemoem jang mempoenjai kedaoelatan, kekoeasaan (souvereiniteit). Karena ra’jat itoe jantoeng-hati Bangsa. Dan ra’jat itoelah jang mendjadi oekoeran tinggi rendah deradjat kita. Dengan ra’jat itoe kita akan naik dan dengan ra’jat kita akan toeroen. Hidoep ataoe matinja Indonesia Merdeka, semoeanja itoe bergantoeng kepada semangat ra’jat. Pengandjoer-pengandjoer dan golongan kaoem terpeladjar baroe ada berarti, kalaoe dibelakangnja ada ra’jat jang sadar dan insjaf akan kedaoelatan dirinja…”. (Mohammad Hatta, Daulat Ra’jat – 20 September 1931).
Lalu di mana tanggung jawab kaum intelektual kita kalau rakyat tertipu, belum insyaf dan belum memahami kedaulatan dirinya yang sebenarnya? (*Penulis adalah Guru Besar UI dan Ketua Umum Majelis Luhur Taman Siswa. Tulisan ini diambil dari Harian Sore Sinar Harapan)