DI BINANGA 1 TEWAS, 6 LUKA-LUKA
PANYABUNGAN (Mandailing Online) – Pola yang diperlihatkan polisi di Naga Juang, Mandailing Natal, mengarah pada gaya preman terhadap para penambang emas di bukit Sihayo, Jum’at (22/3) lalu.
Ini bertolak belakang dengan pencanangan Kapolri di awal tahun 2013 yang bersemangat pemberantasan premanisme yang dimulai dari Jakarta terbukti dengan penangkapan Hercules dan kelompoknya.
“Akan tetapi sungguh sangat ironis yang terjadi di Wilayah Sumut, khususnya di Tapanuli Bagian Selatan, polisi yang diharapkan memberantas premanisme justru beberapa oknum polisi menjadi preman dengan seenaknya melakukan kekerasan fisik terhadap warga dengan dalih dan alasan pengamanan.
Itu diungkapkan Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Tabagsel, H.Ridwan Rangkuti,SH. MH yang juga dosen tetap Fakultas Hukum UMTS Padangsidempuan, kepada wartawan, Selasa (26/3).
“Seperti kasus yg terjadi di Naga Juang, Madina, aparat Brimob Polda Sumut menyiksa dan menelanjangi dada warga dan menjemurnya di terik matahari, tangan diikat ke belakang dan menjadi tontonan yg mengasyikkan bagi aparat brimob yg tidak berprikemanusiaan tersebut,” katanya.
Disebutkannya, seharusnya aparat brimob tersebut setelah menangkap para warga yang diduga melanggar hukum, diserahkan langsung ke penyidik Polres Madina.
“Kenapa harus disiksa, apa begini cara yg didoktrin waktu sekolah Brimob. Luar biasa kekejaman aparat brimod tersebut, tak obahnya gaya preman, pantas saja warga bilang “Kami Bukan PKI”, karena menurut warga penyiksaan yang dilakukan aparat Brimob tersebut ala PKI,” cetus Ridwan.
Kasus serupa terjadi lagi di Binanga, tepatnya di halaman Mapolsek Binanga, lagi lagi warga korban luka berat dan bahkan korban tewas akibat kekejaman aparat kepolisian dari Polres Tapanuli Selatan. Korban luka berat sebanyak 6 orang masih di rawat di RSU Padangsidempuan. Sedangkan korban yang meninggal sudah dikebumikan keluarganya.
Kasus ini terkait beberapa waktu yang lalu masyarakat yang menolak pembangunan pipa perusahaan tambang PT. A-Resources Martabe Batang Toru, warga menjadi korban luka dan masuk penjara.
“Begitu banyaknya kasus kekejaman aparat kepolisian yang terjadi di Wilayah Tabagsel membuat hati kita miris kemana para kepala daerah nya, kok bisa terjadi berulang ulang. Semuanya kasus tersebut bermula dari sengketa tanah. Jika kasusnya soal tanah, kenapa para bupatinya diam tak punya kebijakan dan keberanian untuk melindungi rakyatnya,” kesal Ridwan.
Kapolda juga dikesalkan tidak mengambil tindakan tegas kepada anggotanya yang salah dalam melakukan tugas, dengan hanya menjawab sudah sesuai prosedur tetap.
“Lalu, kemana gubernur yang katanya pro rakyat. Kenapa tidak bersikap tegas, koq selalu bela pengusaha tambang, aneh para petinggi di Sumut ini,” imbuhnya.
Disebutkannya, masyarakat semakin prustasi untuk memperjuangkan haknya, sehingga terkadang dengan jalan kekerasan terhadap perusahaan yang harus mereka tempuh. Karena tidak ada perlindungan dan kepastian dari bupatinya, gubernurnya, apalagi DPRD-nya hanya pintar cuap-cuap di media tanpa tindakan nyata.
“Saya menghimbau kepada presiden RI dan menteri terkait serta kapolri agar segera menyikapi semua persoalan tambang di wilayah Tabagsel, khususnya di Madina dan Batang Toru serta persoalan lahan di Palas, agar tidak terulang lagi kekejaman aparat yang akhirnya rakyat yang menjadi korban,” lanjutnya.
Di sisi lain, perusahaan tambang pun harus melihat realita ini secara jernih. Investasi butuh keamanan, tetapi jika perusahaan tidak memikirkan masyarakat sekitar tambang, kerugian yang lebih besar lagi akan muncul di kemudian hari. (dab)