PANYABUNGAN (Mandailing Online) : Pengeboran dan keseluruhan rangkaian kegiatan proyek Panas Bumi yang dikerjakan oleh PT. SMGP tidak akan menghabiskan air permukaan, yang biasa digunakan masyarakat.
Demikian disampaikan tokoh masyarakat Madina yang juga mantan anggota DPRD Madina, Ir. Ali Mutiara Rangkuti dalam keterangan pers, Kamis (14/1) sebagai bantahan terkait banyaknya isu yang muncul tentang habisnya air permukaan yang diakibatkan kegiatan pengeboran panas bumi.
”Di Indonesia sedikitnya ada 7 proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang berproduksi sejak tahun 1983. Dalam kurun waktu tersebut hingga sekarang belum ada kita dengar masyarakat sekitar proyek PTLP yang kekurangan air karena kegiatan proyek PLTP tersebut,” katanya dalam keterangan persnya.
“Jika proyek ini membawa dampak negatif tersebut, secara akal sehat, pasti pemerintah tidak mungkin mendorong pembangunan proyek ini. Bahkan LSM tingkat internasional yang berjuang di bidang lingkungan pun, seperti WWF pun mendukung,” imbuhnya.
“Proyek panas bumi di Sorik Marapi Mandailing Natal ini sesungguhnya adalah bagian dari program nasional pemerintah dalam Crash Program (percepatan pembangkit listrik – red) Tahap I dan II 10.000 MW. PT. SMGP hanya merupakan partner pemerintah. Logikanya sebagai berikut, negara punya wilayah dan sumber daya alam, tapi belum punya dana untuk membangun proyek ini, maka dilelang kepada pihak swasta, dan kebetulan yang memenangkan tersebut PT. SMGP. Jika proyek ini berhasil, kedua belah pihak mendapat keuntungan, namun jika gagal produksi, maka kerugian hanya ditanggung pihak swasta,” katanya.
Terkait kebutuhan air dalam kegiatan proyek panas bumi, dijelaskan Ali bahwa di dalam kegiatan pengeboran, air diperlukan hanya untuk mengisi 1 kolam penampungan.
“Apakah dengan mengisi kolam tersebut akan menyebabkan air di sungai akan habis? Tentu tidak,” imbuhnya.
Air diambil sesuai kebutuhan, untuk mengisi kolam tersebut. Pengambilan air diusahakan malam hari saja agar tidak menganggu aktivitas masyarakat.
Pengeboran berlangsung sekitar 40 hari. Tetapi pengambilan air tidak dilakukan setiap hari, hanya untuk mencukupi kebutuhan mengisi kolam penampungan saja.
Menurut Ali, air yang digunakan dalam pengeboran tersebut, bahkan di daur ulang, disaring untuk dipakai kembali guna keperluan pengeboran. Setelah pengeboran selesai, maka tidak ada lagi pengambilan air.
Secara praktis, lanjut Ali, pemanfaatan panas bumi dilakukan dengan proses pembaharuan energi panas bumi. Dengan proses ini, air dingin sisa pemanfaatan energi panas bumi, dimasukkan kembali ke dalam kerak bumi. Di bawah kerak bumi, air tersebut dipanaskan lagi secara alami yang selanjutnya akan menjadi uap. Uap ini kemudian dinaikkan kembali ke permukaan bumi.
“Jadi sebenarnya yang kita manfaatkan itu adalah uapnya saja, bukan airnya yang kita hisap habis-habisan. Proses yang sangat sederhana inilah sesungguhnya ciri positif kenapa kita harus segera menggunakan panas bumi sebagai sumber energi alternatif, sekaligus membedakan Panas Bumi dengan proyek-proyek pertambangan lainnya, seperti minyak, gas alam, atau mineral batuan lainnya.”
Atas penjelasannya tersebut, Ali berharap, agar masyarakat tidak terprovokasi oleh informasi yang tidak benar dan menjadi korban, hanya karena kepentingan sekelompok orang, yang memberikan informasi yang menyesatkan tanpa landasan keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Percayalah, proyek ini, kendati proyek juga memiliki dimensi bisnis, namun pemerintah juga pastinya lebih banyak memperhatikan aspek kesejahteraan masyarakat dan lingkungan. Persoalan penggunaan air permukaan ini, diyakini tidak akan menggangu stok persediaan air untuk masyarakat. Perusahaan juga telah memperoleh izin serta membayarkan retribusi atas penggunaan air permukaan tersebut” tegas Ali mengakhiri keterangannya.
Editor : Dahlan Batubara