Artikel

Raja Singa Marak, Kemana Negara Harus Berlabuh?

Oleh: Radayu Irawan, S.Pt
Kolumnis, tinggal di Padangsidimpuan

Sifilis atau yang disebut juga raja singa menjadi penyakit yang menjadi sorotan pemerintah saat ini. Karena Menurut Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes), jumlah kasus sifilis telah mengalami peningkatan hingga 70 persen dalam kurun waktu lima tahun terakhir. (Dinkes Aceh, 11/05/23). Diperoleh data pada tahun 2022 tercatat sebanyak 16.283 kasus sifilis yang diterima oleh Kementerian Kesehatan. (Klikpendidikan, 18/06/23).

Penyakit yang disebabkan oleh bakteri treponema pallidum ini menyebar melalui hubungan seksual dengan penderitanya. Bakteri ini juga bisa menyebar melalui kontak fisik dengan luka di tubuh penderita.
Bahkan, penyakit ini tidak hanya dialami oleh orang dewasa, tetapi juga bisa ditularkan pada anak-anak dari orang tuanya.

Ibu hamil dan melahirkan dapat menularkan bakteri ini kepada anaknya. Sehingga anaknya akan terpapar sifilis sejak dalam kandungan. Hal ini dapat menyebabkan keguguran ataupun bayi akan terpapar penyakit ini. Sungguh ironi, bayi tak berdosa sejak kecil, sudah terpapar sifilis.

Sifilis juga rentan terjadi pada orang yang sering berganti-ganti pasangan dan “hubungan sesama”. Aktivitas apa yang menunjukkan perilaku berganti-ganti pasangan kalau bukan perzinaan?

Sebenarnya penyakit ini tidak akan meningkat secara signifikan jika interaksi serta tata pergaulan antara pria dan wanita senantiasa terjaga. Setiap pasutri hanya berhubungan dengan pasangannya saja. Bahkan, yang belum menikah dilarang keras untuk melakukan hubungan.

Namun sayangnya harapan tak sesuai dengan realita. Rusaknya interaksi serta tata pergaulan di tengah-tengah masyarakat saat ini. Kebebasan pergaulan sudah menjadi corak hidup kehidupan di negeri ini. Akibatnya aktivitas seksual pun, bebas dilakukan dengan siapa saja yang mereka inginkan. Alhasil fenomena gonta ganti pasangan menjadi sesuatu yang biasa.

Liberalisasi (kebebasan) pergaulan terbukti sangat membawa dampak negatif bagi masyarakat. Kondisi ini akan lebih rusak lagi, jika legalisasi LGBT disahkan. Terbukti sebelum legalisasi terjadi saja kasus sifilis sudah meningkat. Yang didominasi oleh pasangan sesama pria. Seperti inilah kehidupan yang lahir dari cara pandang sekularisme kapitalisme. Kehidupan dalam sistem ini telah memisahkan agama dari kehidupan sehingga kebahagiaan dalam sistem ini dinilai dari kadar kepuasan jasmani yang didapatkan.

Seorang ulama besar Syekh Taqiyyudin an Nabhani dalam kitab Sistem Pergaulan dalam Islam. Menjelaskan bahwa kapitalisme menganggap bahwa penyaluran hasrat sebagai kebutuhan bukan naluri. Menurut mereka kebutuhan ini harus dipenuhi saat itu juga. Jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan bahaya pada manusia, baik fisik, psikis maupun akalnya.

Karena itu tidak mengherankan dalam kehidupan peradaban Barat yang notabene pengusung kapitalisme banyak pemikiran yang mengundang hasrat seksual seperti dalam buku, film dan berbagai karya mereka.

Interaksi yang campur baur antara pria dan wanita tanpa hajat seperti di tempat-tempat umum, kolam renang, diskotik, wahana hiburan dan yang sejenisnya menjadi hal lumrah. Sebab mereka berpandangan bahwa ini adalah sebuah keharusan dan sengaja diwujudkan. Sayang seribu sayang, kaum muslimin malah latah dengan menganggap Barat beserta sistem sekularisme kapitalisme merupakan gaya hidup modern  yang patut untuk diikuti.

Padahal semua tindakan tersebut justru menjadi gerbang awal kehancuran manusia. Sesungguhnya islam yang diturunkan sebagai ideologi telah mengatur agar interaksi antar manusia menjadi interaksi yang mendatangkan keberkahan termasuk yang berkaitan dengan kebutuhan seksual.

Dalam Islam, aktivitas seksual hanya disalurkan pada penyaluran yang tepat yakni hanya pada hubungan suami istri. Islam mengharamkan perzinahan dan segala aktivitas seksual yang menyimpang lainnya. Dan juga hal yang perlu dipahami bahwa aktivitas seksual bukan kebutuhan jasmani sebagaimana paradigma Barat. Namun penampakan dari Gharizah Na’u (naluri melestarikan keturunan). Naluri ini hanya akan bergejolak ketika terdapat pemicunya.

Maka Islam akan menutup segala aktivitas yang dapat memunculkan naluri yang dapat memicu hasrat seks yang tidak sesuai pada tempatnya. Oleh sebab itu, dalam masyarakat Islam, interaksi antara perempuan dan laki-laki adalah interaksi dalam beramar makruf nahi mungkar dan saling tolong menolong.

Penerapan aturan Islam dalam bingkai negara satu-satunya tempat berlabuh saat sekuler kapitalis nyata-nyata telah gagal mencegah penyakit raja singa ini. Negara ini harus beralih untuk menerapkan aturan Islam agar maraknya penyakit ini dapat tertuntaskan. Islam dengan seperangkat aturannya akan menerapkan mekanisme sebagai berikut.

Pertama, Islam mewajibkan laki-laki dan perempuan untuk menundukkan pandangan dan menjaga kesucian diri. Sesuai dengan Firman Allah Taala “Katakanlah kepada kaum pria yang beriman bahwa mereka hendaknya merundukkan pandangan matanya dan memelihara kehormatan dirinya. Itulah yang lebih bersih untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha waspada terhadap apa yang mereka lakukan. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman agar mereka pun menundukkan pandangan pula dan memelihara kesantunan mereka.” (QS An-Nur: 30—31).

Kedua, Islam mengharamkan untuk  ber-khalwat, yaitu berduaan dengan non mahram. Rasulullah saw. bersabda, “Seorang pria tidak boleh berduaan saja dengan seorang wanita tanpa kehadiran mahramnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain disebutkan, “Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang wanita karena sesungguhnya setan menjadi orang ketiga di antara mereka berdua.” (HR Ahmad).

Ketiga, pelarangan ikhtilat, yaitu campur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa kebutuhan syar’i. Ikhtilat hanya diperbolehkan pada aspek pendidikan, kesehatan, dan muamalah jual beli.

Keempat, pelarangan aktivitas perzinaan dan “hubungan sesama”. Keduanya adalah perbuatan keji dan mungkar. Larangan ini sudah termaktub dalam QS Al-Isra: 32, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”

Kelima, penerapan sistem sanksi yang tegas.
Sesuai dengan firman Allah Taala, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur: 2).

Begitu pula sanksi bagi pelaku sesama jenis, sebagaimana sabda Nabi saw., “Barang siapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, bunuhlah kedua pelakunya.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Jika sistem sanksi Islam diterapkan maka perbuatan zina atau perilaku menyimpang seksual akan dapat dicegah dan dibabat habis secara tuntas. Jika perbuatan zina dan perilaku mungkar lainnya dapat dicegah, maka penyakit menular seksual juga bisa dicegah kemunculannya dan penambahan kasusnya.

Kelima, penerapan sistem pendidikan berlandaskan akidah Islam. Output dari pendidikan Islam adalah mencetak generasi yang beriman dan bertaqwa. Dengan bekal ini, generasi akan takut kepada Allah, sehingga akan bergaul sesuai dengan tata pergaulan dalam Islam. Pengajaran dan pendidikan generasi harus mengacu pada kurikulum pendidikan Islam. Negara Islam bertanggung jawab dalam mewujudkan generasi yang kompeten, sehat, dan lingkungan yang kondusif, yaitu melalui kebijakan yang menerapkan syariat Islam secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan.

Beginilah aturan Islam yang sangat sempurna. Tidak ada sistem sosial dan tata pergaulan terbaik dalam menjaga generasi dari perilaku kotor dan perangai buruk selain Islam. Sepanjang 1.300 tahun Islam memimpin dunia, generasi yang dicetak adalah generasi terbaik yang melegenda dengan predikat umat terbaik sepanjang sejarah.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.