Artikel

Ratu Safiatuddin dalam Catatan Sejarah Aceh

Lukisan tentang Ratu Safituddin

Penobatan Ratu Safituddin sebagai Sultanah Kerajaan Aceh menuai polemik, tetapi putri Sultan Iskandar Muda ini bisa melaluinya dengan baik, hingga 35 tahun pemerintahannya ia berhasil membangun Aceh dari berbagai sisi.

PJ Veth, profesor etnografi dan geografi, Leiden University, Belanda, sangat tertarik dengan kepemimpinan perempuan di Aceh, terutama pemerintahan Ratu Safiatuddin. Ia menyebutnya sebagai pemerintahan yang paling mengagumkan dari semua contoh pemerintahan di nusantara. Aceh baginya adalah kerajaan penting dalam sejarah.

Prof Veth menulis tentang pemerintahan ratu di Aceh dalam karya bertajuk Vrouwen Regiren in den Indische Archipel pada tahun 1870. Karya ini kemudian dimuat dalam majalah Tijdschrift voor Nedelandsch Indie. Vert menemukan adanya kekuasaan perempuan di Aceh yang lebih setengah abad, dari tahun 1641 hingga 1699 Masehi.

Dalam kurun waktu tersebut ada empat sultanah atau ratu yang memimpin Kerajaan Aceh. Mereka adalah Ratu Safiatuddin (1641-1675 Masehi), Ratu Naqiatuddin (1675-1678), Ratu Zakiatuddin (1678-1688 Masehi), dan Ratu Zainatuddin (1688-1699).

Prof PJ Veth sangat tertarik pada pemeritahan Ratu Safiatuddin, selain karena ia putri Sultan Iskandar Muda, raja Aceh yang paling kesohor, ia juga perempuan pertama yang menjabat sebagai Ratu di Kerajaan Aceh. Pengangkatanya sebagai ratu bukanlah perkara mudah, karena sebelumnya belum pernah seorang perempuan menduduki jabatan tersebut di Kerajaan Aceh.

Para penentang Safiatuddin mempersoalkan kelayakan perempuan menjadi pemimpin kerajaan. Akhirnya dalam musyawarah besar, Mufti Kerajaan Aceh, Syeikh Abdurrauf As Singkili membenarkan kekuasaan perempuan sebagai pemimpin. Makan Safiatuddin dinobatkan sebagai ratu pada tahun 1641, menggantikan suaminya, Raja Iskandar Tsani mangkat pada tahun itu.

Kekuasaan Ratu Safiatuddin terbilang lama, ia memegang tampuk kekuasaan Kerajaan Aceh selama 35 tahun. Ia bisa bertahan dengan kebijakan-kebijakannya yang dinilai PJ Veth sangat luar biasa.

Ratu Safiatuddin menyadari dirinya tak bisa menjadi pemimpin dalam urusan agama, maka urusan agama sepenuhnya diserahkan kepada Mufti Kerajaan selaku Syeikul Islam. Sementara ia mengurusi pemerintahan dengan kabinetnya.

Selain PJ Veth ada juga sejarawan Denys Lombard yang menulis buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda. Pada salah satu bagian buku ini, Denys Lombard membahas khusus tentang pemerintahan Ratu Safiatuddin.

Menurut Denys Lombard, Ratu Safiatuddin sangat memperhatikan pengendalian pemerintahan dan pembangunan bidang pendidikan, ekonomi, dan keagamaan. Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin pula pemungutan pajak dan cukai bagi pedagang asing mulai diatur secara spesifik.

Pada masa pemerintahannya banyak ditulis kitab-kitab. Ia mengutus banyak ulama Aceh untuk menyebarkan agama Islam ke negeri Siam (Thailand-red). Kekuasaan Ratu Safiatuddin langgeng hingga 35 tahun yakni sampai ia meninggal, tak lain karena adanya dukungan dua ulama besar di Aceh masa itu, yang keduanya merupakan Mufti Kerajaan Aceh, yakni Syeik Nuruddin Ar Raniry dan Syeik Abdurrauf as Singkili.

Selain PJ Veth dan Denys Lombar, kiprah Ratu Safiatuddin juga menarik perhatian sejarawan lainnya, NJ Ryan. Ia menulis tentang Ratu Safiatuddin dalam buku Sejarah Semenanjung Tanah Melayu, karya Ryan ini diterbitkan pada tahun 1966 oleh Oxford University Press.

Sementara sumber klasik Aceh sendiri  tentang Ratu Safiatuddin ditulis oleh Syeikh Nuruddin Ar Raniry dalam kitab Bustanus Salatin. Ia mengambarkan Ratu Safiatuddin sebagai perempuan yang sangat taat. Pada masanya juga dibangun banyak galian (tambang) emas di beberapa gunung di Aceh. Ar Raniry menghitung detil pemerintahan Ratu Safiatuddin berlangsung selama 35 tahun 8 bulan 26 hari.

Sejarawan Belanda lainnya Van Langen pada tahun 1888 juga menulis tentang pemerintahan Ratu Safiatuddin. Salah satu yang dilakukan Safiatuddin pada masa awal pemerintahannya adalah kadar emas dalam mata uang dirham Aceh dikurangi, kadar emas seukuran ringgit Spanyol ditempa menjadi enam dirham atau sekitar 19,2 karat. Pengurangan kadar emas pada mata uang itu dilakukan untuk mengatur keuangan kerajaan.

Tentang dirham, mata uang emas kerajaan Aceh juga ditulis FW Stammeshaus dalam karyanya Atjehshe Munten. Menurutnya, jumlah mata uang emas (dirham) yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin sangat banyak dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh banyak dibukanya tambang emas di Aceh pada masa itu.

Hal yang sama juga ditulis guru besar ilmu sejarah Universitas Gajah Mada (UGM) Prof T Ibrahim Alfian dalam buku Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan di Aceh. Menurutnya, Ratu Safiatuddin meneruskan upaya yang dilakukan ayahnya, Sultan Iskandar Muda tentang pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pendidikan.

Begitu juga dengan sejarawan Ahmad Daudy dalam buku Allah dan Manusia dalam Konsep Syeikh Nuruddin Ar Raniry. Ia menjelaskan, Ratu Safiatuddin bisa memerintah hingga 35 tahun salah satu sebabnya karena berhasil mengatur teknis pemerintahan dan persatuan rakyat.

Sedangkan sejarawan Hoesein Djajaninggrat dalam Critisch Overzicht van de in Maleiche Werken Vervatte Gegevens Over de Geschiedenis van het Sultanaat van Atjeh menjelaskan, pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin juga digiatkan seni ukir dan seni pahat. Pada masanya nisan ulama dan pembesar kerajaan dibuat mencook dengan ukiran kaligrafi yang indah.

Ratu Safiatuddin juga melakukan reformasi di bidang pemerintahan, administrasi kerajaan diatur menurut undang-undang yang dinamai Qanun Meukuta Alam. Ia juga membentuk beberapa lembaga pemerintahan baru untuk menopang pemerintahannya. (Oleh: Iskandar Norman/Ratu Safiatuddin @prominet women in the glimpse of history)

Dicopy dari: Faceboook akun Teuku Malikul Mubin

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.