Catatan ringkas : Askolani Nasution
Yang pertama mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia adalah Sanusi Pane. Beliau lahir di Muara Sipongi, 14 November 1905.
Secara administratif, masa kini Muara Sipongi berada di Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Itu yang diceritakan kepala Balai Bahasa Medan, tanggal 23 September lalu, ketika saya diajak makan siang di ruang kerjanya, karena tahu saya dari Mandailing Natal.
Sanusi Pane bersaudara dengan Armijn Pane (Pelopor Angkatan Pujangga Baru dalam sastra Indonesia) dan Lafran Pane (pendiri HMI).
Sanusi Pane lahir di Muara Sipongi karena ayahnya Sutan Pangurabaan Pane, penulis novel “Tolbok Haleon”, ketika itu mengajar di Muara Sipongi.
Sutan Pangurabaan Pane, lulusan Kweekschool Padangsidempuan, belajar bahasa dan mengenal sastra dari membaca buku-buku Willem Iskander, pendiri Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Tano Bato—cikal-bakal Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Padangsidempuan.
Kongres Pemuda I dilaksanakan di Batavia tahun 1926. Dalam kongres itu Sanusi Pane pertama sekali mengusulkan untuk menetapkan Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Tapi berdebat dengan M. Yamin dan Muhammad Tabrani yang belum setuju dengan usulan itu. Penetapan itu gagal, tetapi kemudian diadopsi lagi dalam Kongres Pemuda II.
Dalam kongres itu, hari kedua tanggal 28 Oktober 1928, usulan Sanusi Pane dua tahun sebelumnya, diakomodir dan ditetapkanlah Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Dan untuk pertama kalinya, Kongres Bahasa Indonesia I dilaksanakan di Medan, tanggal 28 Oktober 1954.
Mengapa di Medan? Karena kota ini semua masyarakat dinilai telah berbahasa Indonesia dengan kaidah-kaidah yang amat sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia.
Tapi di sini, sekolah-sekolah tidak peduli dengan Bulan Bahasa, bulan lahirnya Bahasa Indonesia. Kecuali sebatas upacara di halaman sekolah sebagai rutinitas. Padahal, di tempat lain di Indonesia, bulan bahasa diperingati dengan berbagai kegiatan dan lomba, berhari-hari lamanya.
Setahu saya, hanya SMA Negeri 1 Natal yang tetap melaksanakan Bulan Bahasa, dan saya harus menyampaikan salut untuk mereka.
Tapi, jangankan peringatan Bulan Bahasa, peringatan lahirnya Willem Iskander saja tidak pernah dilakukan, sementara di Belanda dilakukan besar-besaran. Siapa peduli?
Kita memang bangsa naif. (Askolani Nasution adalah budayawan Mandailing)