Artikel

Tentang Etek Do Mulo Ni Gondang

Oleh: Edi Nasution

Dari atas dan lereng bukit-bukit yang terdapat di Mandailing, semenjak dulu hingga pada masa sekarang ini masih sering kita dengar sesuatu bunyi yang berirama mempesona dan menggelitik jiwa, yang pada gilirannya dapat memikat perhatian kita.

Suara apakah gerangan? Siapakah yang membunyikannya? Pertanda apakah gerangan? Dan berbagai pertanyaan lainnya yang melintas di dalam benak kita. Bunyi itu ternyata berasal dari hasil kreatifitas manusia yang sedang memainkan alat musik (emic view) yang terbuat dari bambu yang kita kenal dengan nama etek atau otuk.
.
Alat musik tersebut terbuat dari satu setengah ruas bambu (bulu soma) yang banyak ditemukan dalam hutan yang terdapat di bukit-bukit itu. Bambu yang dijadikan alat musik ini mempunyai diameter kurang lebih 18 cm dan pada bagian tengah tabung (tube) bambu dibuat lubang berbentuk empat persegi panjang, yang lebarnya 4 cm dan begitu pula panjangnya kurang lebih 35 cm.

Tube (tabung) bambu terdiri dari satu ruas dan kedua bongkolnya tetap dibiarkan utuh. Kurang lebih setengah ruas yang sisa ke samping dibentuk seperti huruf ’U’ dengan membuang bagian tengahnya. Bahagian bambu yang sisa pada sebelah atas dan bawah mempunyai lebar kurang lebih 4 cm. Dan yang lebih umum, di mana pada sebelah ruas lainnya dibentuk pula hal yang serupa, akan tetapi hanya untuk bagian atas saja, yang panjangnya sekitar 20 cm dan lebarnya kurang lebih 4 cm juga. Umumnya lapisan luar (kulit bambu) tidak dibuang, tapi ada juga alat musik etek yang semua bagian luar bambu yang dibuang, dan kemudian dibubuhi cat pewarna atau tidak dicat sama sekali.

Irama
Alat musik ini dimainkan secara horizontal yang melintang di hadapan musisinya dan agak miring karena diletakkan dilekukan pergelangan kaki kanan atau kiri (tergantung kebiasaan musisinya).

Etek dimainkan dengan ’stik’ yang terbuat dari bambu yang diraut bulat, di mana stik untuk irama konstan (2 buah) mempunyai diameter kurang lebih 1 cm dan panjangnya kira-kira 30 cm, sedangkan stik untuk ritmik peningkah (improvisasi) yang satu buah berdiameter kurang lebih 11/2 cm dan panjangnya 30 cm. Irama ritmik konstan dimainkan pada bagian yang berbentuk ’U’ dengan dua buah stik, sedangkan untuk irama peningkah pada tabung (tube) sebelah atas.

Sama halnya dengan cara meletakkan etek pada lekukan kaki sebelah kiri atau kanan, maka sebagai konsekuensinya akan merubah posisi irama konstan dan peningkah pada kedua tangan. Apabila etek diletakkan di lekukan kaki sebelah kanan, maka tangan kanan berfungsi sebagai pembawa irama konstan dengan dua buah stik, dimana stik yang terbawah akan mengetuk bagian dalam bentuk ‘U’ (bergerak ke atas dan ke bawah), sedangkan stik yang satu lagi hanya mengetuk bagian luar dari sebelah atas bentuk ‘U’ tersebut; seiring dengan itu, stik yang dipegang oleh tangan kiri sibuk pula memainkan ritmik peningkah.

Begitu pula sebaliknya apabila etek diletakkan di lekukan pergelangan kaki kiri, maka irama konstan terdapat di tangan kiri dan irama peningkah pada tangan kanan. Khusus mengenai teknik ini, menurut beberapa musisi etek, teknik yang umum dipakai adalah dengan ritmik konstan di tangan kanan dan ritmik peningkah di tangan kiri. Begitupun, ada pula yang mengatakan bahwa justru sebaliknyalah yang paling baik dalam memainkan instrument etek.

Seperti halnya cara memainkan etek yang telah disinggung di atas, dimana etek diletakkan dilekukan pergelangan kaki yang bertumpu kepada tumit kaki, sementara kaki yang satu ini dengan sendirinya membentuk sudut tumpul dan kaki yang satu lagi terlipat ke arah dalam. Begitu pula dengan tangan kanan (boleh juga tangan kiri) yang memegang dua buah stik untuk memainkan ritmik konstan, dimana satu buah stik diselipkan di antara jari tengah dan jari telunjuk, sementara stik yang satu lagi diletakkan di antara jari telunjuk dan ibu jari dan kemudian tangan yang memegang kedua stik itu dikepal. Tangan lain yang memainkan ritmik peningkah dengan sebuah stik yang digenggam.

Dapat ditambahkan bahwa pada sisi ruas lain umumnya dibuat pula bagian bambu yang lebih pula (seperti telah disinggung di atas), dan bagian ini biasanya dimainkan oleh orang lain dengan ritmik konstan dan variasi, dengan memakai stik yang sama besar dan bentuknya sama dengan stik peningkah.

Repertoar
alat musikal yang oleh masyarakat Mandailing dinamakan etek atau otuk ini, penamaannya yang demikian itu dikarenakan produk bunyi yang dihasilkannya ketika sedang dimainkan (tek … tek … tek … dan tuk … tuk … tuk …). Etek atau otuk ini dapat diklasifikasikan kepada slit drum, yang dimainkan pada saat seseorang menjaga ladangnya untuk mengusir rasa sepi, dan dapat juga dipergunakan untuk menghalau hama tanaman di ladang, misalnya seperti monyet, kera, tupai dan lain-lain. Biasanya etek ini dapat dijumpai di setiap sopo (gubuk) di ladang dan seringkali dimainkan pada siang hari.

Tidak jarang, antara sesama peladang di lereng-lereng bukit itu memainkan etek secara bersahut-sahutan, layaknya suatu alat komunikasi sesama mereka. Seseorang yang memainkannya mungkin bermaksud mengetahui apakah temannya sudah berada di ladangnya atau tidak. Apabila temannya itu ternyata berada di ladangnya, tentu ia akan membalas panggilan kawannya itu lewat permainan etek pula.

Bertolak dari apa yang dapat diamati melalui permainan etek pada masa sekarang ini, dalam seni pertunjukan etek dapat dimainkan hampir keseluruhan repertoar gondang yang terdapat di Mandailing antara lain seperti gondang moncak, porang, roba na mosok, udan potir dan sebagainya.

Dalam hubungan ini, banyak orang-orang tua di Mandailing mengungkapkan suatu istilah: etek do mulo ni gondang. Begitupun, apa yang disajikan dalam tulisan ini sangat dirasakan keterbatasannya dalam beberapa segi. Untuk itu marilah secara bersama-sama kita perbaiki. (sumber: Blog etek do mulo ni gondang/pernah dimuat dalam Harian Waspada tahun 1991)

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.