Artikel

Terapkan Semaunya,  Hukum Buatan Manusia Cacat Keadilan?

Oleh : Nahdoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik

Persaudaraan Alumni (PA) 212 menanggapi penahanan terhadap pimpinan organisasi masyarakat (ormas) Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab. Wakil Sekjen PA 212 Novel Bamukmin menyebut penangkapan dan penahanan tersebut sebagai perbuatan yang dzalim.  Ia memandang hukum di rezim ini ditegakkan semaunya oleh penguasa. Menurutnya siapa saja yang tidak sejalan, maka menjadi sasaran empuk rezim. Dirinya meyakini bahwa tidak ada satu pasal pun yang terbukti menjerat Rizieq.

Menurutnya, jika Rizieq Shihab dijerat karena dinilai melanggar pasal 93 Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan lantaran menciptakan kerumunan, maka seharusnya Calon Wali Kota Medan, Bobby Nasution dan Calon Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka juga harus dijerat pasal yang sama. Penyidik Polda Metro Jaya telah menahan HRS untuk 20 hari ke depan. Penyidik  menahan Rizieq di Rumah Tahanan Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya hingga 31 Desember 2020.

Penyidik memiliki pertimbangan objektif dan subjektif terkait penahanan terhadap Rizieq, antara lain hukuman lebih dari lima tahun, agar tidak menghilangkan barang bukti, tidak melarikan diri, serta tidak melakukan tindak pidana yang sama. Selama menjalani pemeriksaan, Rizieq Shihab menerima 84 pertanyaan dari penyidik terkait dengan dugaan pelanggaran protokol kesehatan. Rizieq ditetapkan sebagai tersangka atas kasus kerumunan Petamburan di tengah pandemi Covid-19 dengan jeratan Pasal 160 KUHP dan Pasal 216 KUHP.

Sementara itu, ada lima orang lainnya yang ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. (republika.co.id. 13/12/2020)

Berita penahanan HRS sangat mengejutkan ummat Islam se-Nusantara. Seorang ulama kharismatik dan masih keturunan cucu Nabi Muhammad saw, diperlakukan tidak adil oleh Negara yang konon katanya menjunjung tinggi hukum postitif. Bagi yang mengikuti alur kisah HRS sampai ditetapkan menjadi TSK pasti sependapat bahwa ada kesan “pemaksaan” kasus.

HRS bukan kali pertama diburu. Sejak kasus pemalsuan chatting whatsaap dua tahun lalu, HRS harus mengungsi ke Negara lain, tepatnya  di Arab Saudi demi keamanan dan nama baiknya. Akhirnya, kasus yang dituduhkan pun kian redup dan tidak bisa diperpanjang.

Ketika ummat Islam di Indonesia menginginkan kepulangan imam besarnya, justru jadi moment yang dimanfaatkan untuk mencari-cari kesalahan HRS agar bisa dibekuk. Sebelumnya, kasus tewasnya 6 laskar FPI belum diusut tuntas oleh pemerintah, pelakunya juga tidak diburu, malah HRS yang dipanggil. Sebenarnya siapa yang penjahat?

Pun, penangkapan HRS terkesan penuh dramatik. Artinya, pasal yang dituduhkan untuk HRS menurut beberapa pakar hukum seperti YIM, tidaklah tepat. Begitu juga menurut Abdul Fickar Hadjar. Ia menyebutkan bahwa penyematan pasal pasal 160 KUHP terkait penghasutan yang dikaitkan dengan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan terhadap pimpinan FPI, HRS dalam perkara pernikahan putrinya. Fickar menilai, penggunaan Pasal 160 bisa jadi sebagai langkah untuk melakukan penahanan terhadap HRS.

Ia menjelaskan, Pasal 160 KUHP masuk dalam BAB V Kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Pasal itu berbunyi “Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda maksimal Rp 4.500. (republika.co.id. 11/12/2020)

Semakin terang terlihat adanya upaya yang mengatasnamakan hukum untuk menjerat HRS melalui pasal yang disebutkan. Padahal jika melihat sebab munculnya delik pasal hanya karena kerumunan pernikahan, rasanya tidak logis. Sebab begitu banyak orang-orang yang membuat kerumunana pernikahan ditengah penademi. Belum lagi kampanye partai saat sebelum pilkada atau pencoblosan.

Tetapi seperti yang dipertanyakan Novel, kenapa pelaku kampanye yang mengundang kerumunan tidak diperlakukan sama? Atau mereka yang telah mengadakan pernikahan dan kerumunan yang sama? Judulnya kan kerumunan? Harusnya siapapun yang membuat kerumunan, baik pernikahan, dan kampanye atau pejabat dan orang biasa, harus didelik dengan kasus yang sama.

Ironisnya, pasal itu hanya menonjok HRS. Selainnya tidak tersentuh. Dalam penjelasan pasal disebutkan juga wajib memberikan denda. Bahkan HRS juga telah membayarkan denda seperti yang diminta. Lalu, salahnya dimana lagi coba? Novel juga mengatakan bahwa seseorang ataupun ormas yang tidak sejalan dengan rezim, maka akan disapu atau dipaksakan  bersalah agar kesannya layak untuk diproses hukum. Mengingat HRS adalah sosok ulama yang tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan rezim karena sering menyudutkan ajaran Islam. Bagi HRS, ajaran Islam diatas segala-galanya. Bahkan saat aksi 212, HRS menyebutkan  Alqur’an harus diatas konstitusi Negara. Ini menunjukkan HRS pengakuan kuat bahwa konstitusi negeri ini tidak dekat dengan ajaran Islam.

Selain itu, FPI sebagai ormas Islam yang dipimpin oleh HRS adalah ormas yang juga selalu diburu oleh rezim. Bahkan wacana pembubarannya dari dulu sudah diopinikan. Meskipun yang pertama kena pukul rezim adalah “HTI”. Tetapi selanjutnya siapapun yang menentang rezim akan bernasib sama seperti HTI, bahkan bisa lebih mengenaskan. Contohnya HRS, didelik dengan pasal yang hukumannya mencapai 6 tahun penajara.

Hukum seperti dipermainkan oleh mereka yang berkuasa. Sesuka hati menetapkan kasus dan tersangka. Hukum sangat terlihat tajam bagi kelompok atau individu  yang mengkoreksi kebijakannya. Sementara untuk para pejabat yang koruptor dan merugikan bangsa, hukum seolah-oleh mandul. Terbukti dalam kasus HRS. Sama-sama membuat kerumunan antara HRS dan pelaku kampanye Pilkada, namun hukum hanya menyentuh HRS bukan kompetitor calon Pemimpin Daerah tersebut.

Sudah banyak terlihat fakta bagaimana hukum dipermainkan sesukanya. Diperjualbelikan demi kepentingan penguasa dan segelintir orang-orang penting sekitarnya. Rasanya sangat tidak mungkin menuntut keadilan di negeri antah berantah ini.  Kritik dianggap ujaran kebencian, hukum dijadikan alat melibas bagi yang tidak pro rezim. Lalu, kemana lagi rakyat meminta pengayoman?

Kasus HRS semakin membuka mata masyarakat khususnya ummat Islam di Indonesia, bahwa inilah wajah hukum buatan manusia. Diterapkan sesukanya, tanpa melihat kebenaran. Serta kasus-kasus lainnya yang sudah pernah terjadi terkesan tebang pilih dan menjadi bukti kuat bahwa hukum buatan manusia cacat keadilan.

Oleh karena itulah, kenapa Rasulullah saw memberikan contoh penerapan hukum yang benar dengan berhukum kepada hukum Allah swt, yaitu Alqur’an dan Hadist. Hukum yang memberikan keadilan ketika diterapkan dalam sistem yang bernama dawlah Islam atau Khilafah. Jangankan ummat Islam, non muslim juga sangat merasakan keadilan hukumNya sepanjang lebih dari 13 abad penerapannya.

Perintah Allah swt untuk berhukum kepada hukumNya bukanlah tanpa maksud yang baik. Dengan mewajibkan manusia agar taat kepada hukumNya adalah semata-mata untuk keselamatan hidup  dunia-akhirat. Penguasa yang menerapkan hukum Allah akan mengerti bahasa keadilan dan kebijaksanaan. Sebab Allah mengharamkan kedzaliman dan kesemana-menaan penguasa terhadap rakyatnya. Apalagi kepada keluarga Baginda Nabi saw.

Sudah tidak ada lagi alasan yang harus dicari-cari untuk menunda kembali kepada hukum Allah. Dalam kubangan sekuler-kapitalis, ummat Islam khususnya para ulama yang ingin tetap berada dalam koridor syariat tidak mendapatkan tempat di hati penguasa yang dzalim.  Saatnya bersama membela keluarga Nabi saw serta memperkuat ikatan aqidah untuk saling mempererat genggaman tangan sesama muslim, sesame anak bangsa, demi menyerukan kebenaran dihadapan penguasa. Semoga kejadian HRS memberikan hikmah bagi kaum muslimin untuk semakin bersemangat memperjuangkan Islam secara kaffah. Wallahu’alam bissawab.***

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.