Artikel

UKT Bukti Komersialisasi Pendidikan Tinggi?

Oleh: Mariani Siregar, M.Pd.I
Dosen

Pendidikan Tinggi di Indonesia kembali menuai kontroversi. Pasalnya, terjadi polemik yang sangat menyita perhatian publik terkait biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang semakin tinggi. Meskipun tidak semua PTN maupun PTS memberlakukan biaya UKT dengan angka yang tinggi, tetapi sejumlah PTN yang sejatinya adalah plat merah, seperti menyaingi biaya kuliah perguruan tinggi swasta saking mahalnya.

Hingga saat ini, beberapa nama PTN (perguruan tinggi negeri) yang diberitakan memberlakukan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) seperti di di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Universitas Negeri Riau (Unri) hingga Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

Meskipun demikian, Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tjitjik Sri Tjahjandarie membantah  adanya kenaikan UKT. Menurutnya, bukan UKT yang naik, tetapi kelompok UKT-nya yang bertambah. Menurut Tjitjik, biaya kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu.

Plt Sekretaris Dirjen Dikti itu menyatakan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa gratis seperti di negara lain. Sebab, bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional.

Komersialiasi Pendidikan Tinggi, Logika Kapitalisme

Kenaikan penetapan UKT dan biaya lain di pendidikan tinggi tidak logis jika terjadi begitu saja tanpa ada proses panjang sebelumnya. Termasuk pembentukan payung hukum sebagai legalisasi kebijakan. Hanya saja, tidak semua langkah-langkah tersebut dipublikasikan, dan rakyat juga mayoritas tidak memahami hukum yang ada.

Begitupun dengan kebijakan pendidikan yang berlaku, mulai dari pendidikan dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi. Hakikatnya, semua jenjang pendidikan yang ada tidak lepas dari penarikan biaya dari masyarakat sedikit banyaknya.
Sebagian biaya ditarik dari iuran dana pembangunan jika di sekolah swasta. Di beberapa sekolah negeri, ada pembayaran uang seragam yang tidak cukup satu macam. Memang tidak semua berbayar, tetapi tetap ada yang dibayar.

Lain lagi jika bicara sekolah swasta. Karena biaya opresional pendidikannya hanya bertumpu pada Yayasan. Jika Yayasan tidak banyak ide mengumpulkan dana, maka sekolah tersebut akan tumpur dan tutup. Kalaupun berjalan, kualitasnya tidak bisa dijamin.

Besaran biaya sekolah TK/PAUD saja di sekolah swasta ternama bisa mencapai jutaan rupiah. Apalagi tingkat menengah hingga atas. Terlebih lagi pendidikan tinggi atau universitas. Sayangnya, jika dalam pendidikan dasar-menengah negeri tidak begitu membuat pengeluaran orangtua membengkak, lain halnya dengan pendidikan tinggi negeri yang kini melampui mahalnya biaya sekolah atau pendidikan swasta. Itulah yang kini ramai diperbincangkan dengan istilah UKT (uang kuliah tunggal). Pertanyaanya kemudain adalah, kenapa bisa demikian?

Pertama, biaya pendidikan tinggi atau UKT pada dasarnya mengacu pada satu aturan resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Dengan kata lain, bukan sembarangan dinaikkan, melainkan ada peran kebijakan legal di dalamnya yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini di Lembaga Kementerian.

Aturan tersebut tertera dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbud. Di dalamnya dijelaskan bila seluruh biaya yang ada di PTN merujuk pada Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT).
Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) merupakan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi selain investasi dan pengembangan. Hitungan SSBOPT merupakan dasar bagi Kementerian mengalokasikan anggaran dalam APBN untuk PTN.

Kedua, terbitnya peraturan kebolehan menetapkan biaya perguruan tinggi yang begitu mahal dan dibebankan kepada kampus atau mahasiswa, termasuk biaya UKT adalah imbas dari pemberlakukan BHMN atau BHP, yang pada tahun 2012 berubah nama menjadi PTNBH. Artinya, UKT sebenarnya bukan masalah baru.

Sejak ada kebijakan perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH) pada 2012, biaya untuk menuntut ilmu di institusi pendidikan milik negara, hak rakyat, semakin mahal. Karena target pemerintah dalam kebijakan tersebut adalah menjadikan PTN berbasis swasta yang harus mandiri dan otonom. Pembiayaan dalam penyelanggaraan pengembangan kampus-kampus negeri harus dipikirkan sepenuhnya oleh rektor dan pihak kampus lainnya.

Sehingga beban tersebut harus diambil dan dijalankan dengan segala cara dengan berbagai program-program komersil dan bisnis demi mempertahankan gengsi dan eksistensi. Baik dengan menjalin kerjasa sama dengan berbagai investor asing atau perusahaan, utang modal, membangun sarana-sarana yang memberikan income seperti terminal, mall, kebun binatang, perkebunan, semuanya merupakan transaksi berbayar. Bukan hanya itu, bisnis internal kampus  yang bila tidak memiliki aset selain yang telah disebutkan, juga bisa terwujud dengan program wajib asrama, catering, dan UKT dengan tarif mahal sebagai langkah untuk memenuhi kemandirian PTN.

Alih- alih meningkatkan mutu pendidikan tinggi dan berdaya saing internasional (World Class University), PTN malah sulit ditembus rakyat sendiri akibat mahalnya biaya kuliah. Lalu, kemajuan seperti apa yang diharapkan masa kini dan mendatang? Kemajuan yang hanya bertumpu pada wasilah (alat-alat) modern tanpa attitude? Jangan lagi bicara landasan agama. Kebijakannya terus mengarah kepada logika kapitalisme yang serba materialistis.

Belum lagi penilaian kesuksesan kinerja para tenaga dosen dinilai dari angka-angka jurnal maupun penelitian. Program pengabdian masyarakat belum sepenuhnya mampu menyentuh dalam memberikan perubahan. Seharusnya, jika banyaknya penelitian yang dipacu kepada para tenanga pengajar, misalnya data-data, bisa membantu pemerintah membaca kondisi riil di lapangan dari hasil penelitian yang begitu banyak. Faktanya, semua itu tidak memberikan pengaruh berarti. Belum lagi dana penelitian minim, ketidakjujuran, dan memasukkan hasil penelitian pun tergantung kantong peneliti. Harusnya semua itu ditanggung oleh negara demi meningkatkan mutu dan kinerja para pendidik.

Contoh lain lagi misalnya, adapun PTN di sebuah kota atau kabupaten, tidak otomatis menjadikan masyarakat bisa merasakan kehadirannya sebagai hal positif pembawa perubahan, kecuali hanya sebagai lembaga pendidikan tempat mengirimkan anak-anak mereka untuk kuliah jika mampu.

Ketiga, akar masalah perguruan tinggi yang berani mengeluarkan kebijakan UKT setinggi lagit adalah efek dari penerapan pola kapitalisme oleh negara. Kapitalisme menjadi pijakan ideologi dalam mengambil setiap kebijakan. Walhasil, semua kebutuhan rakyat dinilai sebagai lahan basah yang nilainya menjanjikan dalam kaca mata bisnis. Seperti kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, dan lainya. Padahal, semua kebutuhan rakyat tersebut sejatinya adalah tanggung jawab negara untuk memenuihinya dengan mudah, murah, bahkan gratis.

Namun faktanya, pendidikan tinggi dengan logika kapitalisme yang dimainkan, akhirnya memandang, dan dengan terbuka telah dinyatakan sebagai ‘pendidikan tersier’. Meskipun banyak yang menyangkal defenisi pendidikan tersier bukanlah bermaksud seperti kebutuhan tersier dalam pandangan teori ekonomi kapitalisme.

Hakikatnya, mau kebutuhan atau pendidikan tersier, dengan logika kapitalisme tentulah bermaksud harus diraih dengan pengorbanan yang besar seperti biaya yang mahal. Karena kapitalisme memandang, bahwa pendidikan adalah perkara yang tidak perlu disubsidi biayanya alias wajib mandiri. Sehingga bisa menjadi pintu masuknya pundi-pundi rupiah dengan jumlah fantantis.

Kapitalisme sangat memahami bahwa manusia membutuhkan pendidikan atau ilmu. Sehingga dibentuklah pola pikir yang sesat untuk meraih pendidikan harus berkorban mati-matian biayanya. Dan negara, cukup memberikan fasilitasi bangunan, tenaga pengajar, dan lainnya. Seterusnya, masyarakat dibebankan dengan biaya mahal jika ingin mendapatkannya.

Kenaikan UKT dengan logika kapitalisme memandang PT sebagai pendidikan tersier, seolah-olah ingin mengatakan, tidak perlu kaget karena hanya yang mampu saja boleh masuk ke PT. Ironis bukan?

Sistem Pendidikan Islam adalah Solusi Terbaik

Bicara soal pendidikan, baik dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi (PT) dalam perspektif Islam, tidak akan bisa dilepaskan dari hukum syariah. Sebab, setiap sistem kehidupan manusia, Allah swt telah memberikan aturan yang sempurna.

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar atau pokok manusia dalam sebuah negara. Allah swt dan Rasul-Nya mewajibkan kaum Muslim untuk mencari dan menimba ilmu. Dan atas landasan kewajiban itulah, hadirnya negara menjadi institusi yang wajib memudahkan umat Islam untuk melaksanakan kewajibannya. Negara tidak dibenarkan menarik upah atau biaya dari pelaksanaan kewajiban rakyatnya. Itulah fungsi negara dan pemimpinnya.

Tidak akan ada istilah pendidikan tersier dalam perspektif Islam. Adapun perguruan tinggi juga bagian dari pendidikan yang wajib disediakan oleh negara dengan segala kemudahan dan kemurahannya. Tentu pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah, dari mana negara akan memberikan fasilitasi pendidikan gratis?

Tentu rakyat masih ingat kampanye dari para capres kemarin. Hampir ketiganya menyinggung tentang  pendidikan, yang kalau mereka terpilih akan memberi perhatian pada pendidikan. Apalagi, salah satu capres mengumbar janji dengan menggratiskan pendidikan, selain makan siang, dan susu gratis. Walhasil, rakyat malah diberikan kejutan kenaikan UKT di luar nalar sehat.

Jika alasannya adalah dana, konon dalam upaya mewujudkan sumber daya manusia yang unggul, inovatif, berintegritas, dan berdaya saing menuju Indonesia Emas 2045, pemerintah akan mempersiapkan anggaran pendidikan sebesar Rp660,8 triliun atau 20 persen pada APBN 2024. Anggaran itu terbagi atas  alokasi belanja pemerintah pusat sebesar Rp237,3 triliun, transfer ke Daerah Rp346,6 triliun, dan pembiayaan investasi Rp77,0 triliun. Anggaran pendidikan sebesar itu meningkat dibanding anggaran pendidikan tahun 2023  yang mencapai Rp612,2 triliun.

Bukankah dana 600 triliun sebenarnya cukup besar? Hanya saja, penyaluran danalah yang menjadi persoalan kemudian, apakah sampai ke bawah? Apakah sudah benar pembagian dana tersebut? Tidak lagi menjadi rahasia bahwa dana apapun di negeri ini, tidak bisa lewat dari sunatan sana-sini. Sehingga berarapapun dananya, selalu dirasa kurang.

Sementara dalam Islam, dana pendidikan akan dikeluarkan sesuai kebutuhan dan didistribusikan dengan tepat. Sebab para pejabatnya amanah dengan keimanan dan ditopang dengan penerapan aturan syariat Islam sebagai benteng perbuatannya.
Sumber pendapatan negara yang begitu banyak seperti di Indonesia, jika dikelola susuai aturan Islam, sungguh lebih dari cukup untuk menggratiskan pendidikan di Indonesia. Bahkan hidup gratis pun kemungkian besar bisa terwujud.

Begitulah seharusnya pengaturan dana pendidikan yang diambil dari harta kepemilikan rakyat (SDA) yang dikelola oleh negara, bukan swasta apalagi investor asing. Sehingga hasinya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk fasilitas pendidikan, kesehatan, kemanan, dan lainnya secara gratis.

Sudah saatnya, negeri ini harus kembali kepada aturan Islam agar persoalan UKT, pendidikan tinggi, dan masalah apapun yang muncul akibat penerapan pola kapitalisme, bisa diselesaikan dengan benar dan tuntas. Selama kapitalisme menjadi landasan kebijakan di Indonesia, maka rakyat tinggal menunggu kejutan-kejutan selanjutnya yang semakin mencekik.

Jadi, rakyat tidak seharusnya heran melainkan sadar, bahwa dalam logika kapitalisme, pendidikan tinggi harus mahal. Karena itulah bentuk komersialisasi dengan alasan kemandirian, yang kebenarannya adalah negara berlepas tangan dalam pengelolaan perguruan tinggi. Allahu a’alam bissawab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.