Artikel

Antara Konser dan Bukber, Manakah Yang Layak Dilarang?

Oleh: Mariani Siregar, M.Pd.I
Dosen Pendidikan Islam

Ramadan adalah bulan untuk menunaikan ibadah puasa bagi kaum Muslim. Dalam menjalani kewajiban puasa Ramadan, ada dua momen yang indah di dalamnya. Bahkan kedua momen tersebut tidak jarang menjadi penyatu keluarga yang jarang bersama walaupun serumah. Itulah saat sahur dan berbuka.

Selanjutnya, waktu sahur tentu tidak lazim dilakukan bersama dengan rekan-rekan kantor atau kerja. Kecuali pada situasi tertentu. Lain halnya dengan berbuka. Ajang buka bersama atau boleh disingkat dengan bukber, menjadi suatu fenomena lazim di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

Sebab saat bukber, ada kehangatan dan juga keakraban terjalin di sana. Apalagi, yang mengadakan adalah sesama kaum Muslim yang berpuasa, lalu sama-sama berbuka di tempat yang telah disediakan. Tentu saja tidak hanya rasa lapar dan haus yang hilang. Kehangatan ukhuwah pun bisa terjalin.

Biasanya, ajang bukber tidak langsung datang lalu makan dan minum. Melainkan banyak rangkaian acaranya. Seperti dimulai dengan ceramah atau kultum, saling salam dan bertegur sapa, kemudian menunggu bedug atau azan berkumandang. Bersama mengucapkan rasa syukur telah diberikan rezeki berbuka puasa. Doa-doa sebelum berbuka pun dipanjatkan. Lalu, di mana masalahnya kok harus dilarang? Hatta hanya untuk kalangan tertentu, bukankah sah-sah saja bagi semua kalangan?

Seperti pemberitaan yang tertulis dalam Republika.co.id, bahwa larangan buka puasa bersama (bukber) bagi pejabat pemerintah dan aparatur sipil negara (ASN) yang dikeluarkan oleh pemerintah terus menuai polemik di publik. Sejak kemarin, sorotan publik terhadap larangan buka bersama lebih karena alasan yang dinilai mengada-ada dan berubah-ubah. Semua alasan itu dinilai tak masuk akal.

Arahan Presiden yang melarang bukber itu disampaikan dalam Surat Sekretariat Kabinet Nomor R-38/Seskab/DKK/03/2023 tertanggal 21 Maret 2023. Surat ini ditujukan kepada menteri Kabinet Indonesia Maju, jaksa agung, panglima TNI, kapolri, kepala badan/lembaga pada 21 Maret 2023. Dalam surat tersebut, Presiden Jokowi memberikan tiga arahannya.

Adapun beragam alasan tersebut antara lain, pertama karena permasalahan dalam penanganan Covid-19 yang saat ini dikabarkan dalam masa transisi dari pandemi menuju endemi. Sehingga masih diperlukan kehati-hatian. Kedua, sehubungan dengan hal tersebut, pelaksanaan kegiatan buka puasa bersama pada bulan suci Ramadan 1444 H agar ditiadakan. Ketiga, menteri dalam negeri agar menindaklanjuti arahan tersebut di atas kepada para gubernur, bupati, dan wali kota.

Tak lama setelah itu atau pada Kamis (23/3) malam, Sekretaris Kabinet Pramono Anung berbicara menjelaskan terkait beredarnya surat larangan bukber selama bulan suci Ramadhan. Ia menegaskan, arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam surat tersebut hanya diperuntukkan para Menteri serta kepala lembaga pemerintah. Menurutnya, larangan berbuka puasa bersama ini tidak berlaku bagi masyarakat umum.

Pramono melanjutkan, saat ini pejabat pemerintah dan aparatur sipil negara (ASN) tengah mendapat sorotan tajam dari masyarakat terkait gaya hidupnya. Karena itu, Presiden Jokowi meminta jajaran pemerintahan dan ASN agar berbuka puasa dengan pola hidup yang sederhana.

Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana menyikapi persoalan tersebut? Jika dibandingkan dengan fenomena konser yang tidak ada sedikitpun larangan dari pemerintah untuk menghentikannya?

Pertama, dilihat dari sudut pandang alasan pelarangan bukber karena kehati-hatian terkait masa pandemi covid-19 yang akan beralik ke endemi, memang tidak salah untuk memberikan aturan pembatasan. Sebab dunia tahu, bahwa pandemi covid-19 telah mengurung manusia kurang lebih dua tahun dan beraktifitas secara virtual secara mayoritas.

Kedua, hanya saja alasan tersebut rasanya telat alias terlambat untuk disampaikan. Sebab, konser telah keburu diadakan dengan penonton ratusan ribu. GBK bak lautan manusia menghadiri konser band girl Korea. Nah, kenapa pemerintah tidak melarangnya kemarin? Dengan alasan yang sama, mungkin konser tidak akan semeriah itu.

Jika melihat fakta konser yang tentunya menciptakan kerumunan manusia dan berdesak-desakan, potensi penyebaran berbagai penyakit dan kerusakan secara alami jauh lebih besar.

Belum lagi, konser yang berlangsung adalah ajang maksiat dan tidak patut diadakan di Indonesia, negeri mayoritas Muslim yang memiliki su’ur Islam masih lumayan cukup besar. Kehadiran konser girl band Korea justru berpotensi merusak atau membajak su’ur Islam tersebut. Sebab, budaya hedon Barat yang diimpor melalui konser-konser begitu mudah, dan mulus tanpa halangan masuk ke negeri ini.

Padahal, band asal Indonesia baru saja terdengar ditolak kehadirannya di negara jiran Malaysia. Personilnya hanya lelaki dan tidak membawa erotisme panggung. Tetap saja dilarang. Karena tentu jika alasannya adalah mengundang mudarat, pemerintah wajib menolak. Kenapa Indonesia tidak mampu melakukan seperti itu untuk orang asing masuk yang mengundang murka Allah?

Ajang konser girl band, ajang fastabiul aurat alias umbar aurat setengah telanjang, bahkan hampir telanjang sempurna. Memancing syahwat dengan goyang erotis dan nyanyian bernada mengundang seseorang berhayal kotor.

Bayangkan jika mereka yang membawa pasangan tidak halal dengan kondisi bebas demikian, tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbuatan yang jauh lebih menjijikkan bukan? Seperti ciuman, meraba, bahkan yang lainnya di tengah kerumunan penonton. Pasangan halal saja tidak boleh melakukannya di muka umum.

Ketiga, seharusnya fakta konser yang demikian riuh dan tidak berjarak-jarak harus dilarang dan dihentikan. Jadi, selain mengundang maksiat pastinya jalan masuk virus apapun lebih cepat untuk menyebar.

Sementara untuk ajang bukber, bisa saja diatur tempat duduk, pemisahan laki-laki dan perempuan, menyajikan ceramah, dan tertib. Selain silaturahim yang bisa dieratkan, pahala bagi mereka yang memberikan makan orang yang puasa akan berlipat-ganda, bukan? Kapan lagi meraih pahala demikian jika bukan di bulan Ramadan?

Keempat, meskipun pelarangan yang dimaksud adalah pejabat negara atau ASN, harusnya tidak dibedakan. Apalagi selain penyebaran covid-19. Kalau pejabat atau Menteri tidak boleh, harusnya masyarakat umum juga demikian.

Alasan lain yang dikemukakan seperti untuk mengantisipasi penampilan para pejabat yang sekarang jadi sorotan publik, semakin ngawur sebenarnya. Tanpa acara bukber pun, masyarakat sering melihat penampilan sehari-hari para pejabat maupun ASN yang berjabatan itu mencolok dari segai pakaian, mobil, gaya hidup seperti tempat makan (nongkrong), juga rumah.

Sangat terlihat perbedaannya dengan masyarakat biasa. Tidak perlu ditutup-tutupi. Publik tidak buta. Meskipun pemerintah mengajak para pejabat untuk berpenampilan sederhana, pemaknaan kata sederhana sendiri kan bisa multitafsir.

Jadi, yang utama diubah itu seharusnya adalah mindset para penguasa dan pejabat. Agar amanah, qanaa’ah dan wara’ dalam menjalankan tugas dan berinteaksi dengan rakyat. Bukan adu gaya dan kaya, padahal dari hasil yang tidak halal. Meskipun tetap ada yang dari hartanya sendiri bukan penyelewengan harta negara.

Kelima, bagaimana jika ada yang menafsirkan larangan bukber di kalangan ASN atau pejabat negara adalah secara larangan politik untuk membatasi gerak tokoh nasional yang kemungkinan akan mengambil perbincangan menuju 2024?

Atau sebut saja perbincangan arah Indonesia baru ke depan, akan seperti apa. Namanya manusia yang memiliki fitrah (naluri) baqo‘ yang ingin memimpin atau berkuasa, juga harus melakukan perubahan. Tentu semua ingin ke arah yang lebih baik.

Tidak terlalu berlebihan bukan? Jika ada yang sampai berpikir demikian? Sehingga larangan bukber dijadikan alasan untuk menjauhkan para pejabat dan ASN untuk saling berbincang politik.

Di sisi lain,  para pejabat yang menghadiri konser atau politisi yang ketangkap media, datang ke GBK  dengan semewah dan seheboh penampilan mereka. Bahkan outfit yang dipakai harganya mencapai puluhan juta rupiah hanya beberapa jam nonton konser. Kenapa tidak dilarang?

Atau memang karena bukber juga ada hubungannya dengan Islam? Hingga semaraknya bulan Ramadan dikebiri dengan covid-19. Ketika konser, covid-19 tidur atau takut menghadirinya. Sementara bukber, karena umat Islam, covid-19 nya mengganas. Seolah-olah covid-10 mengidap penyakit Islamophobia juga.

Begitulah kenyataan dalam pengaruh sekuler-kapitalisme. Segala sesuatu perhitungan utamanya adalah untung-rugi pihak tertentu. Bukan mashalat atau mudarat bagi umat. Apalagi halal-haram, jauh sekali. Konser yang mendatangkan keuntungan kepada pihak-pihak tertentu disambut meriah dan difasilitasi serba mudah. Padahal, konser sedemikain rupa adalah salah satu trik pengrusakan generasi bangsa dan umat Islam agar pemikirannya hedon dan selfish.

Sisi lain, pengusaha hotel dan bahkan pemerintah pun dapat keuntungan dari visa atau sewa GBK. Berapa pemasukan dari konser tersebut? Meskipun sebenarnya, yang diberikan untung paling besar adalah pihak penyelenggara konser dan para artisnya.

Sementara untuk acara bukber, siapa yang diuntungkan dari sudut pandang kapitalisme? Tentunya bukan pemerintah atau penguasa negara. Justru bisa mendekati kerugian secara hitung-hitungan politik menjelang masa depan posisi atau jabatan pihak-pihak tertentu.

Oleh karena itu, perlu pengaturan kembali negeri ini dengan kebijakan yang shahih dan tidak berat sebelah. Apalagi mengkambinghitamkan pandemi untuk suatu tujuan di balik satu kebijakan. Pastinya, aturan yang dibutuhkan adalah aturan yang jelas, tidak plin-plan dan bisa menyelesaikan persoalan masyarakat ecara totalitas.

Sehingga tidak perlu ada rakyat yang mempertanyakan kebijakan antara konser dan bukber, mana yang seharusnya dilarang. Sebab, jika aturannya berasal dari sumber yang jelas, maka kebijakan yang muncul juga adil. Tentu saja sumber yang dimaksud adalah Al-Qur’an dan Sunnah atau syariat Islam.

Sebab, syariat Islam jelas mengatur bukber agar tidak terjadi ikhtilat dan khalwat  atau mubazir misalnya. Tetapi tentu tidak akan dikambinghitamkan atas nama pandemi.

Demikian juga konser, akan dilarang sepenuhnya karena bukan budaya Islam dan juga hanya aktifitas unfaedah. Dan yang utamanya adalah merusak atau membajak potensi generasi Muslim di Indonesia. Allahu a’lam bissawab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.