Seputar Madina

Diantara Kontaminasi Budaya Flexing dan Konten Negatif

Oleh: Radayu Irawan, S.Pt
Penulis, tinggal di Padang Sidimpuan

Di era ini, eksistensi diri menjadi prioritas bagi kebanyakan individu. Hal ini dibuktikan dari menjamurnya konten-konten negatif yang berlagak kaya hingga konten membahayakan jiwa bahkan berujung maut. Seperti yang baru-baru ini terjadi.

Seorang wanita inisial W (21) di Bogor, ditemukan tewas tergantung di rumah kontrakannya di Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Menurut keterangan temannya, W saat itu sedang bikin konten gantung diri melalui panggilan video atau video call.

Sebelumnya W sedang melakukan panggilan video dengan teman-temannya. Saat itu W sempat menyebut hendak membuat konten gantung diri. Seutas kain melilit di lehernya.

Nahas, saat itu kursi pijakannya meleset sehingga W benar-benar tergantung. Menyaksikan hal itu via panggilan video, teman-teman W langsung mendatangi kediaman korban di Cibeber 1, Leuwiliang, Kabupaten Bogor. (Detik, 03/03/23)

Memang miris, maksud hati ingin membuat konten, ternyata maut lebih dahulu menghampiri wanita tersebut. Banyak faktor yang melatar belakangi hal tersebut bisa terjadi. Salah satunya bisa jadi terkontaminasi dengan budaya flexing.

Tidak sedikit masyarakat di era ini,  juga terkontaminasi budaya flexing. Yaitu kebiasaan seseorang untuk memamerkan apa yang dimilikinya di media sosial demi mendapat pengakuan dari orang lain.

Budaya flexing membuat pengidapnya ingin terus memamerkan apapun yang ia punya dan aktivitas apapun yang dia kerjakan. Misalnya saat ia sedang makan di cafe ternama, atau sedang jalan-jalan ke tempat-tempat mewah, atau sedang berbuat baik, atau hal apapun yang dapat membuat eksistensinya menjadi tinggi. Tak jarang membuat orang-orang yang tak memiliki uang ingin melakukan hal tersebut. Maka, bagi yang tak memiliki uang demi mendapat pengakuan dari orang lain, mereka akan membuat hal-hal yang aneh, agar dapat dikenal banyak orang.

Budaya ini akan menjadi penyakit di tengah-tengah masyarakat. Sejatinya  perilaku yang demikian menunjukkan perilaku yang rendah dari muncul dari taraf berpikir yang rendah. Yaitu taraf berpikir layaknya hewan, yang hanya memikirkan diri sendiri untuk bisa berkuasa dan eksis di komunitasnya. Hal ini bisa muncul akibat dari cara hidup atau paradigma tentang kehidupan yang salah. Tidak dipungkiri bahwa masyarakat saat ini dipengaruhi oleh cara pandang kehidupan sekularisme kapitalisme.

Paham sekularisme adalah paham yang memisahkan kehidupan dari agama ketika paham ini diambil atau diadopsi oleh mayoritas masyarakat. Maka, masyarakat tersebut tidak akan lagi memikirkan perbuatan mereka apakah sesuai petunjuk agama ataupun bertentangan. Perilaku mereka hanya dikendalikan oleh keinginan ataupun ego mereka sendiri. Sekularisme yang melahirkan ideologi kapitalisme, menjadikan asas manfaat atau keuntungan materi menjadi dasar perbuatan dalam kehidupan.

Mereka berbuat sesuai dengan manfaat yang akan mereka peroleh. Jika sesuatu itu tidak bermanfaat secara materi, hal tersebut tidak akan dilakukan. Nilai-nilai agama pun tidak menjadi pertimbangan. Misalnya jika konten yang telah mereka buat viral mereka akan mendapatkan pundi-pundi uang yang membuat mereka lebih senang dan eksistensi mereka lebih tinggi. Dan bilamana mereka sudah mencapai apa yang diinginkan mereka akan terus-menerus seperti itu bahkan akan membuat yang lebih, agar senantiasa terkenal.

Media saat ini juga memang sengaja didesain demikian agar para kapitalis bisa memasarkan produk-produk mereka. Media banyak diisi dengan iklan-iklan hidup mewah. Agar budaya konsumtif terus merasuki jiwa masyarakat sehingga produk-produk yang mereka tawarkan semakin laku dan para kapitalis akan terus mendapatkan keuntungan yang besar.

Karena itu budaya flexing terus dipelihara di tengah-tengah masyarakat dengan cara membuat mereka berperilaku hedon dan konsumtif. Inilah pangkal masalah muncul konten yang membahayakan nyawa dan atau budaya flexing yang semakin menggila. Maka dapat dikatakan bahwa sistem hari ini gagal menunjukkan kemuliaan manusia.

Akibat pengaruh sistem ini negara juga gagal menciptakan generasi yang memiliki karakter yang tinggi. Lembaga pendidikan saat ini justru semakin terkebak mengokohkan gaya hidup sekularisme kapitalisme. Pendidikan agama terus terminimalisir. Sedangkan pendidikan yang menunjang untuk meraih jabatan, kekuasaan, yang layak kerja sangat masif diberikan. Akibatnya para pemuda semakin terkikis rasa keimanannya dan orientasinya hanyalah materi semata.

Padahal dahulu, manusia pernah hidup dalam naungan yang memuliakan dan membuat mereka beradab. Sistem tersebut bernama Khilafah. Saat Khilafah pernah ada selama 1300 tahun, manusia hidup dalam peradaban yang mulia. Khilafah membuat warga negaranya memiliki taraf berpikir yang tinggi. Yang memiliki pemikiran bahwa dia adalah seorang Abdullah atau hamba Allah yang sudah sepantasnya beriman kepada Allah. Mindset seperti ini akan melahirkan kesadaran bahwa ia hidup  hanya untuk beribadah kepada Allah.

Sesuai dengan firman Allah SWT dalam Qs. Adz Dzariyat ayat 56 “Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada ku”.

Makna ibadah yakni taat kepada Allah, tunduk serta patuh kepada-nya serta terikat dengan aturan agama yang disyariatkan-nya. Sebagaimana tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa beribadah kepadanya yaitu menaatinya dengan cara melakukan apa yang diperintahkannya dan meninggalkan apa yang dilarang. Itulah hakikat ajaran agama Islam.

Sebab makna Islam yakni menyerahkan diri kepada Allah ta’ala yang mengandung puncak ketundukan, perendahan diri dan kepatuhan. Karenanya manusia khususnya yang hidup dalam sistem negara Khilafah akan menjadikan orientasi hidupnya hanya untuk meraih ridho Allah. Mereka akan mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki demi kemuliaan Islam dan kepentingan kaum muslimin.

Orientasi hidup yang demikian akan disuasanakan oleh Khilafah melalui sistem pendidikan sosial, masyarakat, media dan sistem lainnya.

Pendidikan Islam akan melahirkan generasi yang bersyaksiyah Islam, yaitu orang-orang yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Para pelajar atau generasi juga akan dibekali ilmu kehidupan agar mereka bisa menyelesaikan masalah diri mereka sendiri khususnya serta umat umumnya.

Melalui pendidikan islam, generasi akan sibuk melakukan inovasi dan pengembangan ilmu. Agar masyarakat semakin mudah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Diperkokoh dengan kehidupan sosial masyarakat Daulah Khilafah yang berorientasi pada amar ma’ruf nahi mungkar (saling memberikan nasehat) dan saling tolong menolong. Orientasi seperti ini tidak akan membuat generasi terkontaminasi budaya flexing, pamer harta dan membuat konten-konten negatif.

Media juga didesain untuk mengedukasi seluruh warganya agar memahami syariat Islam secara sempurna, menambah pengetahuan ilmu sains, politik dalam dan luar negeri, serta tayangan-tayangan yang berfaedah lainnya. Sehingga masyarakat akan tersuasanakan dalam hal kebaikan seperti ke tawadhu-an, tidak pamer ataupun terkontaminasi budaya flexing. Konsep kehidupan dalam Khilafah inilah yang membuat manusia hidup dengan taraf berfikir yang tinggi yakni hidup untuk kemuliaan Islam.

Sehingga jika dikaitkan dengan kondisi saat ini yakni saat daulah khilafah belum terwujud. Maka konsekuensi seseorang yang memahami hakikat berkehidupannya hanyalah untuk beribadah kepada Allah maka dia akan berjuang untuk mengembalikan kembali kehidupan Islam dalam naungan khilafah. Wallahu A’lam Bishowab

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.