Seputar Madina

Apa yang Diharapkan dari Kedatangan Presiden Jokowi ke Madina? (bagian 1)

Jalan tol di Tabagsel ilustrasi

Hemat kita, persoalan Indonesia itu adalah infrastruktur. Jika pilihan menunggu tumbuh dulu indutri dan perdagangannya baru muncul jalan tol tentu itu adalah kebijakan klasik yang membuat kita begini-begini saja sejak berdiri RI. Sebaiknya pemerintah (indonesia atau sumut) harus keluar dari candu kebijakan klasik itu, sebab jalan tol dan pelabuhan merupakan poin penting menggenjot pertumbuhan industri dan perdagangan, dan jasa serta akan berrantai ke sektor-sektor lain.

————————————————————————————-

Presiden Republik Indonesia, Joko Wododo dijadwal berkunjung ke Mandailing Natal dan Barus di Tapanuli Tengah pada 24 hingga 25 Maret 2017.

Di Barus, Bupati akan meresmikan tugu titik nol atau awal mula masuknya agama Islam ke Nusantara (Indonesia sekarang).

Sedangkan di Mandailing Natal, Presiden Jokowi direncanai melakukan Silaturrahim Nasional dengan para ulama se Tapanuli Bagian Selatan bertempat di Pesantren Musthofawiyah Purbabaru; meresmikan pembangunan asrama santri di pesantren itu serta meresmikan pembangunan asrama haji di Panyabungan; juga kabarnya dijadwal minum kopi Mandailing (Mandheling Coffee) di Taman Raja Batu.

Moment kunjungan presiden ini merupakan kunjungan ke kawasan Tapanuli Bagian Selatan dan Tapanuli Bagian Tengah. Dua kawasan di Sumatera Bagian Tenggara yang memiiki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tinggi. Pun kunjungan ini memiliki kaitan harapan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di dua kawasan itu melalui sisi penggenjotan laju infrastruktur.  

Kabarnya Madina akan mengajukan percepatan pembangunan Bandara Bukit Malintang  yang terletak di Kecamatan Bukit Malintang serta percepatan pembangunan beberapa hal lain pelabuhan Palimbungan di Batahan.

Pelabuhan Palimbungan memang harus digenjot, tetapi apakah bandara Bukit Malintang akan berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi di kawasan ini?  Apakah akan disebut mimpi jika wacana jalan tol lebih baik diperjuangankan? Bukankah jalan tol telah diakui negara-negara di dunia sebagai infrastruktur maha penting sebagai pemicu pembangkit geliat industri, perdagangan dan jasa.

Hemat kita, persoalan Indonesia itu adalah infrastruktur. Jika pilihan menunggu tumbuh dulu indutri dan perdagangannya baru muncul jalan tol tentu itu adalah kebijakan klasik yang membuat kita begini-begini saja sejak berdiri RI. Sebaiknya pemerintah (indonesia atau sumut) harus keluar dari candu kebijakan klasik itu, sebab jalan tol dan pelabuhan merupakan poin penting menggenjot pertumbuhan industri dan perdagangan, dan jasa serta akan berrantai ke sektor-sektor lain.

Pemerintah-pemerintah daerah di kawasan Tabagsel (Madina, Palas, Paluta, Tapsel, Sidimpuan) dan Tapanuli Bagian Tengah selayaknya satu kata satu kesepakatan merancang pembukaan ruas-ruas jalan tol yang  menghubungkan akses jalur cepat dari titik-titik di Tabagsel ke Bandara Pinang Sori, dan koneksi jalur lebar antar kawasan di Tabagsel yang menghubungan sentra-sentra ekonomi se-Tabagsel dengan pelabuhan laut di pantai barat dan pantai timur.

Jalur-jalur itu meliputi lintasan Kotanopan-Panyabungan-Pinang Sori-pelabuhan laut di pantai timur-pantai barat; jalur Pinangsori-Angkola-Pinarik-Gunungtua-Sibuhuan-pantai barat-pantai timur. Pelabuhan laut di pantai barat sudah dimulai pembangunan Palimbungan; di Patai Timur ada Dumai maupun Tanjung Balai.

Jika selama ini waktu tempuh Panyabungan-Pinangsori sekitar 4 (dan pinggang seperti patah karna jalan buruk) akan terpangkas menjadi 1,5 jam saja (tak sakit lagi pinggang) kalau ada jalan tol.

 

***

Tulisan CEO Jawa Pos, Dahlan Iskan (2004, jauh sebelum dia diangkat menjadi Menteri BUMN) tentang perjalanan dua kali mengunjungi satu kebupaten di Provisni Xinjiang, Cina.

Bunyi tulisan itu kira-kira seperti ini : “Kabupaten itu sangat jauh masuk ke dalam, sekitar 400 Km jarak tempuhnya dari jalan provinsi. Tentu saya harus siapkan fisik saya di dalam bus…….dugaan saya meleset, jalan sepajang 400 Km itu ternyata sangat mulus dan lebar. Dua jalur. Dalam satu jalur muat 4 fuso jika disusun membentang”.

Lalu Dahlan Iskan tiba di kabupetan itu. Ibukotanya biasa saja. Hanya ada 1 pabrik besar, dan sebanyak 3 pabrik besar sedang dibangun. Uniknya, di pinggiran kota sudah dibangun jalan pemukiman di sana sini walau belum ada rumah. Jalan-jalan pemukiman itu dibangun sesuai Perencanaan Tata Ruang Kota.

Setelah kembali dari kabupaten itu, Dahlan Iskan menemui kepala “Bappeda” provinsi dan berkata : “Mengapa pemerintah Anda membangun jalan lebar sepanjang 400 Km ke satu kabupaten, padahal kabupaten itu tak menghasilkan apa-apa. Toh hanya ada 1 pabrik besar di sana. Di Indonesia pemerintah akan dituduh melakukan pembangunan mubazir”.

Si kepala Bappeda menjawab : “kita tunggu saja 3 tahun lagi apa yang akan terjadi”.

Tiga tahun kemudian, kunjungan kedua (dan tulisan itu ditulis di kunjungan kedua itu) Dahlan Iskan menulis kira-kira begini: “Ternyata, sudah ada 7 pabrik skala besar di kabupaten itu, dan 3 pabrik lagi sedang tahap membangun. Belum termasuk industri-industri kecil yang bertumbuhan. Lapangan kerja banyak. Bahkan banyak dari daerah lain berdatangan merantau ke kabupaten ini”. (bersambung)

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.