Artikel

“Berkawan” dengan Pers (Bagian 1)

Muhammad Ludfan Nasution
Muhammad Ludfan Nasution

(Belajar dari Kasus Malintang Pos)

Oleh : Muhammad Ludfan Nasution, S.Sos*

Pers (press) adalah bagian integral dari dinamika masyarakat sehingga penerbitan pers diangap sebagai institusi sosial (UU Pokok Pers, Pasal 1). Dari cakupan isinya, atau luasan magnitude-nya, ada perbedaan yang khas antara pers global, nasional, regional dan lokal. Di sisi lain, ada kategori pembaca media massa yang membutuhkan berita/pendapat global, nasional, regional dan lokal. Dari sisi redaksionalnya, pers lokal bisa juga dibedakan berdasarkan persentase isi: 1) beragam dan 2) murni atau sebagian besar berita/pendapat lokal.

Berbicara tentang geliat pers di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) juga muncul variasi volume isi 1) yang sekilas saja memberitakan peristiwa dan pendapat tentang Madina dan 2) yang menyuguhkan fakta tentang Madina dalam ruang yang luas, hingga isu yang mungkin tercover kemudian termasuk rapat desa atau “kampanye” kecil calon kepala desa dan laporan eksklusif atau khusus tentang kesungguhan Pemkab Madina dan DPRD Madina dalam membahas sebuah Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Mandailing Natal.

Sejumlah media massa cetak teridentifikasi sebagai koran yang mempunyai perhatian sangat besar terhadap dinamika ke-Madina-an. Namun hanya beberapa saja yang eksis dan terus berprogres. Sebut saja 1) Harian Metro Tabagsel dengan halaman dan rubrik khusus tentang Madina; 2) Malintang Pos dengan suguhan berita/pendapat skup desa dan kecamatan, bahkan iklan lokal seperti konter HP atau pulsa; dan 3) BonaBulu News dengan independensi isi yang jelas-jelas menjadi sejenis corong  Pemkab Madina.

Untuk pers yang memilih jenis media online tercatat juga beberapa nama yang secara khusus melancarkan pemberitaan dan opini tentang Madina, antara lain: 1) Mandailing Online; 2) Pantai Barat Mandailing News; 3) Madina Dalam Berita News; dan 4) Mandala News. Portal berita jenis ini juga mengedepankan pemberitaan yang relatif independen, setidaknya bukan hanya mengapresiasi kegiatan pembangunan yang positif, tapi juga tidak melewatkan penyimpangan, termasuk cerita suap (gratifikasi).

Sebut saja semua media yang memiliki konsentrasi agenda setting untuk Madina yang lebih baik, tentu saja punya kecenderungan dan karakter pemberitaan tersendiri. Jelas, terlihat media mana yang melancarkan kritik secara terbuka. Bahkan, tak terbantahkan juga, hingga mencakup perkembangan kasus secara terus-menerus (follow up news) sampai tuntas dengan melibatkan pihak penegak hukum dan lembaga pemberantasan korupsi. Memang betul, dengan sedikit siasat, kecenderungan dan karakteristik isi media massa seperti itu dapat “bergeser” ke arah lebih kompromis atau antagonis (oposisi).

Hanya saja, untuk mendapatkan gambaran tentang itu, dibutuhkan kemampuan untuk membaca dinamika pers lokal sehingga dapat menyikapinya dengan relatif konstruktif dan produktif. Dari segi kajian kehumasan (public relation – PR), pembacaan itu seyogianya dapat menekan kerugian di sisi Pemkab Madina selaku lembaga yang memiliki kewenangan dalam eksekusi. Jika memungkinkan, siasat humas itu harus mampu menginisiasi, memotivasi dan melakukan transformasi pemberitaan hingga betul-betul menguntungkan Pemkab Madina dan masyarakat secara keseluruhan.

Pers di Madina

Saya tidak membawa tema ini hingga jadi debat semantik tentang pers di Madina (pers Madina). Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa sejumlah media menegaskan dirinya sebagai pers. Dalam aktivitas pemberitaannya, pers Madina juga menjadi satu subjek kajian menarik. Jika memang tidak bisa mengatakan bahwa Madina berbeda dengan kabupaten/kota yang lain, setidaknya Madina sangat khas jika ditinjau dari sisi persnya.

Bebeapa hal yang Membuat Madina memiliki karakterisitik pers yang khas adalah: 1) letak geografisnya subjek/objek pemberitaan; 2) kecenderungan sikap dan tingkah laku masyarakat sebagai pembaca; dan 3) SDM para jurnalisnya. Masing-masing faktor ini kemudian membentuk seperti apa eksistensi (keberadaan) dan dinamika pers Madina.

Jika kajiannya lebih spesifik pada soal dinamika pers Madina, secara sederhana bisa dibedakan menjadi tiga, yakni: 1) pers kompromis, 2) independen dan 3) pers oposan (bukan oplosan ba!). Sekalipun tampak berbeda, jelas punya persamaan orientasi. Ketiganya sama-sama punya 1) kebutuhan operasioanl; 2) kebutuhan reward; 3) kebutuhan bonaviditas.

Semuanya harus diperlakukan sebagai aset daerah. Semuanya bisa berbahaya sekaligus bisa menguntungan. Di sinilah menguat tuntutan agar praktisi humas seperti Bagian Humas dan Protokoler Setdakab Pemkab Madina harus jeli membaca, lincah bersiasat dan tepat sasaran dalam bertindak.

“Melawan” Pers Oposan

Sekalipun namanya oposan (asal kata oposisi: berlawanan), pengelompokan sifat isi media massa tidaklah melulu menentang kebijakan Pemkab Madina. Selagi masih dalam kerangka kerja pers, ketajaman liputannya tetap hanya sebatas kritik dengan menggunakan gaya bahasa sarkasme (sindiran kasar). Karena itu, menggunakan istilah “melawan” pun dalam berhubungan dengan pers oposan tetap tidak tepat. Tetap lebih tepat menggunakan istilah “berkawan”, sehingga tetap terbuka kemungkinan untuk berkomunikasi sebelum dan setelah pemberitaan sebuah peristiwa, pendapat dan/atau peristiwa dan pendapat.

Barangkali, perbedaan antara “melawan” dan “berkawan” juga tidaklah bersifat substansial. Perbedaan ini lebih menggambarkan strategi dan taktik. Setidaknya, berkomunkasi dengan kawan lebih mudah secara psikologis. Sebaliknya, dengan menyebut seseorang, misalnya, sebagai musuh bisa berarti dari awal sudah membangun jarak dan front (perlawanan).

Dari sisi media massa pun, ketika sebuah instansi pemerintah atau perusahaan bisnis membangun pola hubungan layaknya musuh, biasanya lebih mudah terkondisi pada hubungan yang emosional, setidaknya dalam melancarkan sebuah kritik  terhadap satu kebijakan yang bersifat publik atau bepotensi melanggar peraturan perundang-undangan.

Maka, jika diperlakukan sebagai kawan, pers pun biasanya merasa diajak untuk membangun hubungan yang konstruktif. Apabila muncul kasus berupa temuan pelanggaran atau penyimpangan proyek, niscaya pers tetap menggunakan hubungan itu untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap, lebih berimbang dan lebih kuat bobot faktanya.

“Berkawan” dengan Pers Madina

Betul, dalam hubungan profesional, termasuk antara Pemkab Madina dengan pers Madina, dasar hubungannya tentu bersifat rasional. Sekalipun kita menggunakan istilah “kawan”, tidaklah serta-merta menjadikan para jurnalis jadi sentimentil. Karena itu, penting untuk diingat, pola hubungan berkawan itu tidak saja hanya kepada media yang independen atau media yang menjadi corong Pemkab Madina. Semuanya harus dirangkul dalam satu hubungan perkawanan (good relationship).

Itulah salah satu yang utama dalam menyikapi pemberitaan pers Madina, yaitu melancarkan strategi yang menempatkan “lawan” (media independen ataupun media oposan) dalam satu iklim atau suasana perkawanan. Dalam teater, ini disebut teknik membuat blok (blocking) dimana kita berada pada posisi (peran/karakter) yang kita hendaki.

Dengan pem-blok-an seperti itu, kita memang memilih untuk berada pada posisi yang bisa membaca fenomena, termasuk isu yang sedang menjadi sorotan pers oposan. Dengan mengetahui isu atau topik yang bakal menjadi headline (berita utama) di media independen dan oposan, praktisi humas pun dapat memberi umpan terobosan kepada media yang dijadikan sebagai corong Pemkab Madina. Selanjutnya, humas pun dapat mencegah dampak negatif dan ekses negatif dari sebuah pemberitaan, termasuk yang menyangkut isu yang paling merugikan bagi Pemkab Madina.

Bahkan dengan pola hubungan “perkawanan” itu, seorang PR dapat menjalin komunikasi yang akrab dengan seorang atau sebuah penerbitan pers. Dengan kedekatan tersendiri, PR pun dapat menginisiasi sebuah media secara relatif agar melancarkan pemberitaan dengan orientasi yang setidaknya tidak merugikan instansi Pemkab Madina atau satu institusi bisnis sekalipun.

Bedah “Kasus” Malintang Pos

Apakah Malintang Pos termasuk pers oposan bagi Pemkab Madina? Ukuran kuantitatifnya bisa saja mengacu pada perbandingan antara jumlah berita yang mengkritik menggunakan bahasa sarkastis atau sensasional dengan berita yang sekedar informatif (promotif). Namun sejatinya, sekalipun kategori “pers oposan” itu ada, secara teori dan kaidah hukumnya pers harus menjalankan keempat fungsinya (informasi, edukasi, kontrol sosial dan penyegaran (hiburan/entertaint).

Dinamikanya bisa tampak pada pemberitaan tentang Pemkab Madina yang bersifat seorang PR dapat menjalin komunikasi yang akrab dengan seorang jurnalis atau sebuah penerbitan pers. Dengan kedekatan tersendiri, PR pun dapat menginisiasi sebuah media secara relatif agar melancarkan pemberitaan dengan orientasi yang setidaknya tidak merugikan instansi Pemkab Madina atau satu institusi bisnis sekalipun. (bersambung)

(Penulis alumni Jurusan Ilmu Jurnalistik – FIKOM — Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP d/h STP) Jakarta, Wakil Pemimpin Redaksi Malintang Pos)

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.