(Belajar dari Kasus Malintang Pos)
Oleh : Muhammad Ludfan Nasution, S.Sos*
Bedah “Kasus” Malintang Pos
Apakah Malintang Pos termasuk pers oposan bagi Pemkab Madina? Ukuran kuantitatifnya bisa saja mengacu pada perbandingan antara jumlah berita yang mengkritik menggunakan bahasa sarkastis atau sensasional dengan berita yang sekedar informatif (promotif). Namun sejatinya, sekalipun kategori “pers oposan” itu ada, secara teori dan kaidah hukumnya pers harus menjalankan keempat fungsinya (informasi, edukasi, kontrol sosial dan penyegaran (hiburan/entertaint). Dinamikanya bisa tampak pada pemberitaan tentang Pemkab Madina yang bersifat 1) sering oposan, 2) jarang oposan, atau 3) tidak pernah oposan.
Dalam penilaian saya selaku penulis, Malintang Pos tidaklah dapat dikategorikan sebagai pers oposan. Selain karena tidak selalu memberitakan hal buruk sebagai kritik, Malitang Pos juga bukan koran partisan milik PDI Perjuangan Mandailing Natal. Memang sulit dibedakan karena, sama-sama dipimpin orang yang sama, yaitu Iskandar Hasibuan. Sesungguhnya, Malintang Pos dan PDI Perjuangan Madina sangat berbeda. Tidak serta merta kepentingan PDI Perjuangan otomatis (mutlak) muncul dalam pemberitaan atau menjadi bagian dari agenda setting Malintang Pos. Lagi pula, dua pimpinan redaksinya lainnya punya latar belakang yang sangat berbeda. Saya sendiri selaku Wakil Pemimpin Redaksi adalah kader Partai Kebangkitan Bangsa dan Dahlan Batubara justru tidak menjadi anggota partai politik mana pun.
Singkatnya, berapa kali pun Malintang Pos mengkritisi kebijakan Pemkab Madina, tidaklah menjadi indikator untuk menyebut koran ini sebagai pers oposan. Ketika Malintang Pos menyuguhkan judul yang mungkin dinilai “provokatif”: “Pembangunan Tapian Sirisiri Syariah Lukai Hati Rakyat”, tetap merupakan pemberitaan yang mencerminkan fungsi pengawasan (kritis), serta tidaklah berarti pancaran dari kebijakan redaksi yang konfrontatif (oposan). Soal judul yang “provokatif” itu pun, dapat saja dinilai sebagai siasat sensasional ala “tabloid” untuk sekedar meningkatkan daya tarik pemberitaan.
Hanya saja, karena upaya konfirmasi Malintang Pos saat itu tidak menghasilkan keterangan yang sebanding atau berimbang, maka lengkaplah indikator “dugaan buruk” yang mungkin sudah muncul sebelum-sebelumnya, untuk menyebut pemberitaan Malintang Pos sebagai “musuh” yang harus “dilawan”. Bagi Pemkab Madina, pemberitaan tersebut termasuk kategori “sikap redaksi” yang frontal. Dengan konteks seperti itu, Bupati Madina Drs. H. Dahlan Hasan Nasution kontan bersikap dan bereaksi dengan mengeluarkan surat instruksi larangan kepada pimpinan SKPD untuk berlangganan Malintang Pos.
Kalau kita cermati materi beritanya, tidak bisa juga disebut sepihak, karena sudah konfirmasi. Namun, ketika sikap pejabat yang dikonfirmasi tidak memberikan jawaban saat itu, jelas kebijakan redaksi Malintang Pos tidak akan ketinggalan atao kecolongan dalam silang pendapat dan pro-kontra sekitar kegiatan Pemkab Madina di Tapian Sirisiri Syariah. Dan setelah pemberitaan itu, pun tidak muncul sikap protes dalam bentuk penggunaan “hak jawab” atau somasi sebagaimana ketentuan perundang-undangan.
Sebaliknya, sejumlah pejabat dan Bupati Madina mungkin saja merasa gerah dan emosional karena hubungan baik yang selama ini sudah terbina. Pertama, Pemred Malintang Pos adalah Anggota DPRD Madina periode 2019-2014. Hal yang lumah jika selama ini hubungan Pemred Malintang Pos dengan sejumlah pejabat sangat komunikatif. Kedua,, Pemred Malintang Pos adalah Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Mandailing Natal. Tak bisa dinisbikan, dalam Pilkada 2015 yang lalu, PDI Perjuangan Madina termasuk salah satu yang mengusung pencalonan Dahlan Hasan Nasution untuk yang kedua kalinya (inkamben). Ketiga faktor itu kemudian membentuk persepsi dan sikap tertentu, sehingga keluarlah surat instruksi itu, yang kemudian juga membuat ketersinggungan di sebahagian kalangan insan pers Madina lainnya.
Rekomendasi
Selanjutnya, dalam enam (edisi) ini, hubungan Malintang Pos dengan Pemkab Madina masih saja tegang. Pertanyaannya, apakah hubungan seperti itu akan berlanjut sekalipun nyata sama-sama merugi? Betul, Pemred Malintang Pos tidak pernah mengeluarkan instruksi untuk memboikot berita tentang kegiatan atau kebijakan Pemkab Madina, sekalipun hampir tidak ada pemberitaan tentang Tapian Sirisiri Syariah. Sebaliknya, sejauh ini, tidak ada informasi yang menyebut bahwa Pemkab Madina atau Bupati Madina sudah merevisi atau mengubah instruksi.
Jelas, Pemkab Madina dan Malintang Pos sama-sama merugi. Dari sisi Pemkab Madina, tidak terbantahkan sikap di balik intruksi yang melarang seluruh pimpinan SKPD untuk berlangganan Malintang Pos memunculkan citra bahwa Pemkab Madina sangat emosional (arogan?) sehingga mengabaikan peraturan tentang pers di satu sisi dan di sisi lain “menyebar” kebencian terhadap Malintang Pos di kalangan pegawai Pemkab Madina. Selanjutnya, instruksi itu pun menimbulkan ketersinggungan di sebahagian kalangan insan pers. Hal terakhir ini tidak mustahil semakin menyulitkan Pemkab Madina dalam penyebaran informasi dan pesan-pesan pembangunan dari ke tengah-tengah masyarakat Madina, termasuk yang berada di perantauan.
Tentu bakal muncul juga runtunan kerugian lain yang terkait dengan kepentingan personal pejabat-pejabat di lingkungan Pemkab Madina, bagaimana menjaga kondisi kerja di lingkungan Pemkab Madina mana kala ada pejabat yang tersangkut kasus korupsi. Citra mungkin bukanlah fakta hukum, sekalipun bisa berujung pada melemahnya kepercayaan dan berkurangnya dukungan publik.
Di sisi lain, pers Madina adalah “lapangan kerja” alternatif dalam arti yang khas Madina. Artinya, karena keterbatasan lapangan kerja yang tersedia, banyak warga yang terdorong untuk menjadikan pers sebagai profesi alternatif. Maka dunai pers pun tidak bisa menjalankan seleksi secara ideal. Maka, fakta ini harus dipahami juga sebagai bagian dari kegagalan Pemkab Madina untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih baik. Sebaliknya, jika saja Pemkab Madina dapat menyediakan lapangan kerja dengan lebih luas, tentu kondisi pers Madina pun akan jauh lebih ideal dan pemberitaan pers itu pun akan lebih memenuhi kaidah keberimbangan, independensi dan pertanggungjawab sosialnya.
Selanjutnya, kerugian di sisi pers Madina (seperti halanya Malintang Pos), juga tidak sedikit. Selain harus berhadapan dengan keterbatasan akses informasi pers untuk mendapatkan bahan berita tentang program dan kegiatan Pemkab Madina, Malintang Pos juga jelas semakin kesulitan untuk memperbesar perolehan uang masuk dari iklan dan penjualan. Jika memang asumsinya tidak banyak potensi sumber keuangan bagi pers, salah satunya yang utama adalah Pemkab Madina, maka tidak terbantahan Malintang Pos sudah dan akan kehilangan pemasukan dalam jumlah yang lebih besar.
Maka, jika dapat dianggap sebagai rekomendasi, penulis berharap agar Pemkab Madina dapat mereviw (meninjau) kembali kebijakan berupa instruksi larangan berlangganan untuk kemudian mengeluarkan kebijakan baru yang lebih signifikan untuk kembali membangunan hubungan baik dengan pers Madina, termasuk Malintang Pos. Sebaliknya, Malintang Pos juga dapat melancarkan pemberitaan yang lebih mengedepankan sikap bertanggungjawab atas dampak pemberitaan. Jelas saja bagi Malintang Pos, kritik keras sekalipun pun, semestinya lebih menuntut sikap yang lebih konstruktif dari setiap pejabat di kalangan Pemkab Madina ketimbang dampak melemahnya dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap Pemkab Madina.***(selesai)
(Penulis alumni Jurusan Ilmu Jurnalistik – FIKOM — Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP d/h STP) Jakarta, Wakil Pemimpin Redaksi Malintang Pos)